Pengantar Hari Asyura: Kedalaman Sejarah dan Makna Spiritual
Hari Asyura, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriyah, merupakan salah satu hari yang memiliki keutamaan dan sejarah panjang dalam tradisi Islam. Kata "Asyura" sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti "kesepuluh". Namun, maknanya jauh melampaui sekadar penanda angka. Ia adalah hari yang dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa penting, pengampunan dosa, dan kesempatan besar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bagi umat Muslim, Hari Asyura bukan hanya sekadar tanggal dalam kalender, melainkan sebuah momen untuk merenungkan kebesaran Allah, mengambil pelajaran dari sejarah para nabi, serta memperbanyak amal ibadah. Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, hari ini telah dianggap istimewa, bahkan sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, puasa Asyura adalah puasa yang sangat ditekankan. Keistimewaan ini menjadikan Asyura sebagai salah satu titik penting dalam perjalanan spiritual seorang Muslim setiap tahunnya.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami lebih dalam mengenai Hari Asyura, mulai dari sejarahnya yang kaya, keutamaan-keutamaan luar biasa yang terkandung di dalamnya, panduan ibadah yang dianjurkan sesuai sunnah Nabi, doa-doa yang bisa dipanjatkan untuk meraih keberkahan, hingga hikmah dan pelajaran mendalam yang dapat kita ambil untuk kehidupan sehari-hari. Pemahaman yang komprehensif tentang Hari Asyura diharapkan dapat meningkatkan semangat kita dalam menyambut dan mengisinya dengan amal shalih, meraih keberkahan, serta ampunan dari Allah SWT. Kita akan mengupas tuntas setiap aspek, memastikan bahwa setiap Muslim dapat menjalankan ibadah di hari ini dengan ilmu yang benar dan hati yang ikhlas.
Asal Mula dan Sejarah Hari Asyura yang Mendalam
Sejarah Hari Asyura memiliki akar yang panjang dan beragam, bahkan sebelum kedatangan Islam secara formal. Sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, Hari Asyura sudah dikenal dan dihormati oleh masyarakat Arab, termasuk kaum Quraisy di Mekkah. Pada masa itu, mereka memiliki kebiasaan berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk penghormatan atau ritual adat. Namun, signifikansi Hari Asyura semakin mendalam dan mendapatkan landasan ilahi dengan hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah.
Setibanya di Madinah, Nabi Muhammad SAW mendapati bahwa kaum Yahudi di sana juga berpuasa pada Hari Asyura. Ketika beliau bertanya alasannya, mereka menjawab dengan penuh keyakinan, "Ini adalah hari yang agung. Pada hari ini Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta menenggelamkan Firaun dan bala tentaranya. Maka Nabi Musa berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah, dan kami pun mengikutinya sebagai penghormatan terhadap mukjizat tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim). Penjelasan ini memberikan konteks historis yang kuat terhadap puasa Asyura.
Mendengar hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian." Sejak saat itu, beliau memerintahkan umat Muslim untuk berpuasa pada Hari Asyura. Ini menunjukkan bahwa meskipun tradisi puasa sudah ada, Islam memberikan dimensi baru, pemurnian makna, dan landasan syariat yang kokoh di baliknya. Puasa tersebut menjadi salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah atas pertolongan-Nya yang agung kepada Nabi Musa AS dan Bani Israil dari kekejaman Firaun, sebuah peristiwa yang sarat akan pelajaran tentang keadilan dan kekuasaan ilahi.
Kemudian, ketika puasa Ramadhan diwajibkan sebagai rukun Islam, puasa Asyura tidak lagi menjadi wajib, namun statusnya berubah menjadi sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Nabi Muhammad SAW tetap melaksanakannya secara konsisten dan mendorong para sahabat untuk melakukannya. Bahkan, beliau menganjurkan untuk berpuasa sehari sebelumnya, yaitu pada tanggal 9 Muharram (Tasu'a), sebagai pembeda dari puasa kaum Yahudi. Anjuran ini menunjukkan keinginan Islam untuk memiliki identitas yang khas dalam setiap ibadahnya, menjauhkan diri dari penyerupaan dengan umat lain dalam hal ritual keagamaan.
Kedudukan Hari Asyura dalam Islam: Simbol Rahmat dan Ampunan
Kedudukan Hari Asyura dalam Islam sangatlah istimewa dan memiliki tempat yang mulia di hati umat Muslim. Meskipun tidak sepopuler hari raya Idul Fitri atau Idul Adha, hari ini membawa berkah yang luar biasa dan kesempatan besar untuk meraih pahala serta ampunan. Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW banyak yang menyebutkan tentang keutamaan berpuasa pada hari ini, menjadikannya salah satu amalan sunnah yang paling ditekankan.
Salah satu yang paling masyhur dan menjadi dalil utama anjuran puasa ini adalah sabda beliau:
"Puasa Hari Asyura itu dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim).
Hadits yang agung ini menunjukkan betapa besar ampunan yang bisa didapatkan melalui puasa Asyura. Tentu saja, para ulama menjelaskan bahwa dosa yang dimaksud di sini adalah dosa-dosa kecil (saghairul dzunub), sementara dosa besar (kabairul dzunub) memerlukan taubat nashuha (taubat yang sungguh-sungguh) yang memenuhi syarat-syaratnya, seperti menyesali perbuatan dosa, bertekad tidak mengulanginya, dan jika terkait hak orang lain, harus dikembalikan atau dimohonkan maaf. Namun, penjelasan ini tidak sedikit pun mengurangi urgensi dan keutamaan hari tersebut sebagai pintu ampunan dari Allah.
Selain puasa, Hari Asyura juga merupakan momentum yang sangat tepat untuk memperbanyak amalan shalih lainnya, seperti bersedekah, berdzikir, membaca Al-Qur'an, dan mempererat tali silaturahmi. Ini adalah waktu yang ideal untuk merefleksikan diri, memperbaiki hubungan dengan Allah (habluminallah), dan meningkatkan kepedulian sosial (habluminannas) terhadap sesama. Hari Asyura adalah panggilan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih taat, dan lebih bermanfaat.
Signifikansi historis dan spiritual Hari Asyura menjadikannya waktu yang berharga bagi setiap Muslim untuk mencari keridaan Allah dan memohon ampunan-Nya, sekaligus mengambil inspirasi dan pelajaran berharga dari perjuangan para nabi di masa lalu. Dengan demikian, Hari Asyura bukan sekadar ritual tahunan, melainkan sebuah kesempatan untuk transformasi spiritual dan peningkatan kualitas diri.
Keutamaan Puasa Asyura: Penghapus Dosa dan Pintu Keberkahan
Inti dari amalan di Hari Asyura yang paling banyak ditekankan oleh Nabi Muhammad SAW adalah puasa. Puasa Asyura bukan sekadar ibadah fisik yang menahan lapar dan dahaga, melainkan sebuah sarana spiritual yang sangat efektif untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keutamaannya yang luar biasa seringkali membuat umat Muslim antusias menyambut hari ini dengan penuh harap dan semangat.
Hadits-hadits tentang Keutamaan Puasa Asyura yang Menggugah
Banyak sekali hadits shahih yang menjelaskan tentang keutamaan puasa Hari Asyura, menegaskan posisinya sebagai amalan sunnah yang sangat dianjurkan. Salah satu yang paling dikenal dan menjadi dasar utama anjuran puasa ini adalah dari Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Puasa pada hari Arafah, aku berharap kepada Allah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Dan puasa pada hari Asyura, aku berharap kepada Allah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim No. 1162).
Hadits yang mulia ini secara eksplisit menyebutkan bahwa puasa Asyura berpotensi besar untuk menghapuskan dosa-dosa yang telah berlalu selama satu tahun. Ini adalah anugerah yang sangat besar dari Allah bagi hamba-hamba-Nya yang ingin mensucikan diri dan kembali kepada fitrah. Kesempatan untuk memulai lembaran baru dengan catatan amal yang lebih bersih adalah motivasi yang tak ternilai harganya.
Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "dosa setahun yang lalu" dalam hadits ini adalah dosa-dosa kecil (saghair). Adapun dosa-dosa besar (kabair), ia memerlukan taubat nashuha (taubat yang tulus dan sungguh-sungguh) yang memenuhi syarat-syaratnya, seperti menyesali perbuatan dosa, bertekad tidak mengulanginya di masa depan, dan jika terkait hak orang lain, harus dikembalikan atau dimohonkan maaf secara langsung. Meskipun demikian, keutamaan puasa Asyura ini tetap sangat besar, karena dosa-dosa kecil yang terakumulasi pun dapat menjadi beban yang berat.
Selain hadits di atas, terdapat pula riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sangat memperhatikan puasa Asyura dan tidak pernah meninggalkan anjuran ini, menunjukkan betapa pentingnya hari ini di mata beliau:
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW begitu semangat dalam berpuasa pada suatu hari yang lebih utama dari hari lainnya, kecuali hari ini, yaitu hari Asyura, dan bulan ini, yaitu bulan Ramadhan." (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua hadits ini menggarisbawahi pentingnya puasa Asyura dalam ajaran Islam, menjadikannya salah satu amalan sunnah yang sangat ditekankan dan memiliki nilai spiritual yang tinggi. Ini adalah kesempatan berharga yang diberikan Allah kepada umat-Nya untuk meraih ampunan dan pahala.
Puasa Tasu'a dan Asyura (9 dan 10 Muharram): Kesempurnaan Ibadah
Selain puasa pada tanggal 10 Muharram, Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, yang dikenal sebagai Hari Tasu'a. Anjuran ini memiliki tujuan mulia, yaitu untuk membedakan amalan umat Islam dari kebiasaan kaum Yahudi yang pada masa itu hanya berpuasa pada Hari Asyura.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Ketika Rasulullah SAW berpuasa pada Hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, 'Ya Rasulullah, itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.' Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Apabila tahun depan (kita masih hidup), insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal sembilan (Muharram).' Akan tetapi, Rasulullah SAW wafat sebelum tiba tahun depan itu." (HR. Muslim).
Meskipun Nabi SAW wafat sebelum sempat melaksanakannya secara langsung, anjuran beliau ini menjadi sunnah bagi umatnya. Oleh karena itu, para ulama menyimpulkan bahwa puasa yang paling sempurna di Hari Asyura adalah dengan berpuasa dua hari, yaitu pada tanggal 9 (Tasu'a) dan 10 (Asyura) Muharram. Berpuasa pada kedua hari ini akan memberikan pahala yang lebih besar dan sempurna, sekaligus mengukuhkan identitas Muslim yang khas dalam ibadahnya. Ini adalah bentuk ketaatan terhadap sunnah Nabi dan pembeda dari praktik agama lain.
Jika seseorang tidak mampu berpuasa dua hari karena alasan tertentu, maka puasa pada Hari Asyura saja (tanggal 10 Muharram) tetap sangat dianjurkan dan akan mendapatkan keutamaan penghapusan dosa setahun yang lalu. Namun, jika ada kesempatan, sangat dianjurkan untuk menggabungkannya dengan puasa Tasu'a.
Niat Puasa Asyura: Kunci Keikhlasan
Sebagaimana ibadah lainnya, niat adalah bagian fundamental dan syarat sahnya dalam puasa Asyura. Niat puasa sunnah, termasuk Asyura, dapat dilakukan sejak malam hari sebelum terbit fajar hingga sebelum tergelincir matahari (waktu Dzuhur) pada hari tersebut, selama belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa (seperti makan atau minum).
Niat puasa Asyura dalam hati adalah yang paling utama, yaitu dengan tekad yang kuat dan sadar untuk berpuasa sunnah Asyura karena Allah SWT semata. Secara lisan, niat bisa diucapkan untuk menguatkan niat dalam hati, meskipun pengucapan lisan bukanlah syarat wajib:
"Nawaitu shauma ghadin 'an ada'i sunnati Asyura lillahi ta'ala."
(Saya niat puasa sunnah Asyura esok hari karena Allah Ta'ala.)
Jika niat baru diucapkan di pagi hari (sebelum waktu Dzuhur), dapat diucapkan:
"Nawaitu shauma hadzal yaumi 'an ada'i sunnati Asyura lillahi ta'ala."
(Saya niat puasa sunnah Asyura hari ini karena Allah Ta'ala.)
Penting untuk diingat bahwa niat dalam hati sudah cukup, dan pengucapan lisan adalah sunnah untuk menguatkan niat tersebut. Yang terpenting adalah keikhlasan dan kesungguhan dalam menjalankan ibadah, serta kesadaran akan tujuan puasa ini, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dan mengharap ridha-Nya.
Hikmah di Balik Keutamaan Puasa Asyura: Lebih dari Sekadar Pengampunan
Keutamaan puasa Asyura bukan hanya terbatas pada aspek penghapusan dosa, melainkan juga mengandung berbagai hikmah mendalam yang dapat membentuk pribadi Muslim yang lebih baik:
- Rasa Syukur yang Mendalam: Dengan berpuasa, kita mengenang kembali pertolongan Allah kepada Nabi Musa AS dan Bani Israil. Ini adalah bentuk rasa syukur yang konkret atas kekuasaan, kasih sayang, dan keadilan Allah SWT yang senantiasa menolong hamba-hamba-Nya yang beriman.
- Pengampunan dan Pembersihan Diri: Kesempatan besar untuk membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan kecil yang telah lalu, dan memulai lembaran baru dengan Allah. Ini memberikan dorongan spiritual untuk terus beristighfar dan bertaubat.
- Peningkatan Takwa dan Disiplin Diri: Setiap ibadah puasa melatih kesabaran, pengendalian diri dari hawa nafsu, dan meningkatkan kesadaran akan kehadiran Allah (muraqabatullah). Ini adalah latihan spiritual yang membangun ketakwaan.
- Menghidupkan Sunnah Nabi: Dengan berpuasa Asyura, kita menghidupkan salah satu sunnah Nabi Muhammad SAW yang sangat dianjurkan. Mengikuti jejak Nabi adalah bentuk cinta dan ketaatan kepada beliau.
- Solidaritas Umat dan Identitas Muslim: Meskipun memiliki akar sejarah yang berbeda, puasa ini menjadi pengingat persatuan umat Muslim dalam mengamalkan ajaran agama, serta sebagai penanda identitas Muslim yang khas, berbeda dari umat agama lain.
- Pelajaran dari Sejarah: Kisah-kisah yang terjadi di Hari Asyura mengajarkan tentang perjuangan melawan kezaliman, pentingnya kesabaran, dan keyakinan akan pertolongan Allah, bahkan dalam kondisi terdesak sekalipun.
Dengan memahami keutamaan dan hikmah yang terkandung dalam puasa Asyura, diharapkan kita semakin termotivasi untuk tidak melewatkan kesempatan emas di Hari Asyura ini, dan menjadikannya sebagai momentum untuk meningkatkan kualitas spiritual kita secara menyeluruh.
Doa-doa dan Dzikir di Hari Asyura: Memperbanyak Munajat Kepada Allah
Selain puasa yang merupakan amalan utama, Hari Asyura juga merupakan momen yang sangat tepat untuk memperbanyak doa, dzikir, dan istighfar. Meskipun tidak ada doa khusus yang secara spesifik diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW untuk dibaca pada Hari Asyura, umat Islam sangat dianjurkan untuk memperbanyak munajat kepada Allah SWT dengan doa-doa kebaikan secara umum, memohon ampunan, rahmat, dan keberkahan untuk diri sendiri, keluarga, serta seluruh umat Muslim.
Tidak Ada Doa Khusus yang Shahih dari Nabi SAW
Penting untuk ditekankan dan dipahami bahwa tidak ada doa atau bacaan dzikir khusus yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW atau para sahabat secara spesifik untuk dibaca pada Hari Asyura. Riwayat-riwayat tentang doa-doa tertentu yang diklaim sebagai 'doa Asyura' yang shahih tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits mu'tabar (terpercaya) yang menjadi rujukan utama umat Islam.
Beberapa kalangan mungkin mengenal "Doa Asyura" yang panjang dan berisi permintaan-permintaan spesifik, yang kerap beredar di masyarakat. Namun, doa tersebut umumnya bukan berasal dari Nabi SAW, melainkan merupakan kumpulan doa yang disusun oleh ulama atau orang shalih pada masa-masa kemudian yang kemudian populer di masyarakat. Meskipun niatnya baik dan doa-doa tersebut mungkin berisi permohonan yang mulia, seorang Muslim lebih dianjurkan untuk fokus pada doa-doa yang diajarkan Nabi SAW dalam berbagai kesempatan, atau berdoa dengan bahasa sendiri yang tulus dan ikhlas, memohon segala kebaikan dunia dan akhirat yang ia butuhkan.
Menghindari pengkhususan doa tanpa dalil yang shahih adalah bentuk kehati-hatian dalam beragama, agar tidak terjebak dalam bid'ah (inovasi dalam agama) yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW. Berdoa dengan hati yang tulus adalah inti dari ibadah doa.
Doa-doa Umum yang Dianjurkan dan Penuh Berkah
Meskipun tidak ada doa khusus, Hari Asyura adalah waktu yang mustajab untuk berdoa. Setiap Muslim dapat memanjatkan doa-doa terbaiknya, baik yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah maupun doa-doa personal yang keluar dari lubuk hati. Berikut adalah beberapa contoh doa yang sangat baik untuk dipanjatkan, yang mencakup berbagai aspek kehidupan:
1. Doa Mohon Ampunan dan Rahmat Allah
Mengingat puasa Asyura menghapuskan dosa setahun yang lalu, memperbanyak doa memohon ampunan adalah sangat relevan dan dianjurkan:
"Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni."
(Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Engkau menyukai pemaafan, maka maafkanlah aku.)
"Rabbana dzalamna anfusana wa in lam taghfir lana wa tarhamna lanakunanna minal khosirin."
(Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.) – QS. Al-A'raf: 23
Doa-doa ini mengungkapkan kerendahan hati seorang hamba di hadapan Rabb-nya, mengakui kelemahan dan kesalahan, serta memohon ampunan dari Dzat yang Maha Pengampun.
2. Doa Kebaikan Dunia dan Akhirat (Doa Sapu Jagat)
Ini adalah doa yang sangat komprehensif, mencakup seluruh aspek kebaikan hidup, dan merupakan doa yang paling sering dipanjatkan oleh Nabi Muhammad SAW:
"Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina 'adzaban nar."
(Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa api neraka.) – QS. Al-Baqarah: 201
Doa ini memohon kebaikan yang menyeluruh, baik di kehidupan dunia yang fana maupun di kehidupan akhirat yang abadi, serta perlindungan dari siksa neraka.
3. Doa Memohon Keteguhan Iman dan Petunjuk
Di tengah berbagai fitnah dan cobaan zaman, memohon keteguhan iman adalah kebutuhan mendasar bagi setiap Muslim:
"Ya muqallibal qulub tsabbit qalbi 'ala dinik."
(Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.)
"Allahumma inni as'alukal huda wat tuqa wal 'afafa wal ghina."
(Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, sifat iffah (menjaga diri dari yang haram), dan kecukupan.)
Doa ini menunjukkan kesadaran akan kerapuhan hati manusia dan kebutuhan akan bimbingan serta perlindungan ilahi.
4. Doa untuk Orang Tua, Keluarga, dan Kaum Muslimin
Berdoa untuk orang lain, terutama orang tua, juga merupakan amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala:
"Rabbighfir li wa li walidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira."
(Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.) – QS. Al-Isra': 24
"Allahummaghfir lil muslimina wal muslimat wal mu'minina wal mu'minat al-ahya'i minhum wal amwat."
(Ya Allah, ampunilah kaum Muslimin dan Muslimat, kaum Mukminin dan Mukminat, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia.)
Doa ini mencerminkan kepedulian sosial dan spiritual seorang Muslim terhadap sesama, menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam.
Pentingnya Dzikir dan Istighfar: Makanan Ruhani
Selain berdoa, Hari Asyura juga merupakan kesempatan emas untuk memperbanyak dzikir (mengingat Allah) dan istighfar (memohon ampunan). Dzikir dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik dengan lisan maupun hati. Memperbanyak dzikir adalah salah satu cara terbaik untuk mengisi waktu luang dan mendekatkan diri kepada Allah:
- Tasbih: Mengucapkan "Subhanallah" (Maha Suci Allah).
- Tahmid: Mengucapkan "Alhamdulillah" (Segala puji bagi Allah).
- Tahlil: Mengucapkan "La ilaha illallah" (Tiada Tuhan selain Allah).
- Takbir: Mengucapkan "Allahu Akbar" (Allah Maha Besar).
- Istighfar: Mengucapkan "Astaghfirullah" (Aku memohon ampun kepada Allah) atau "Astaghfirullahal 'adzim".
- Shalawat kepada Nabi: Mengucapkan "Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad" (Ya Allah, berikan shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad).
Perbanyaklah membaca kalimat-kalimat thayyibah ini sepanjang hari, terutama saat menunggu waktu berbuka puasa, setelah menunaikan shalat fardhu, atau di waktu luang lainnya. Setiap dzikir adalah ladang pahala, penenang hati, dan sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Mengisi hari dengan dzikir akan membuat hati menjadi lebih tenang dan hidup terasa lebih berkah.
Waktu-waktu Mustajab untuk Berdoa di Hari Asyura
Meskipun kita bisa berdoa kapan saja, ada beberapa waktu yang dianggap lebih mustajab untuk berdoa, yang insya Allah akan meningkatkan kemungkinan dikabulkannya doa, termasuk di Hari Asyura:
- Saat Berpuasa: Doa orang yang berpuasa termasuk salah satu doa yang tidak ditolak oleh Allah. Oleh karena itu, manfaatkan setiap momen puasa di Hari Asyura untuk memperbanyak doa dan munajat.
- Menjelang Berbuka Puasa: Momen-momen terakhir sebelum berbuka adalah waktu yang sangat mustajab, karena pada saat itu orang yang berpuasa berada dalam keadaan puncak pengorbanan dan pengharapan. Panjatkan doa-doa terbaik Anda saat itu.
- Setelah Shalat Fardhu: Setelah menunaikan shalat wajib, bacalah dzikir dan berdoalah dengan sungguh-sungguh. Ini adalah waktu yang penuh berkah untuk memanjatkan permohonan.
- Sepertiga Malam Terakhir: Waktu ini adalah waktu terbaik untuk bermunajat kepada Allah, di mana Dia turun ke langit dunia dan bertanya, "Adakah yang memohon ampunan, akan Kuampuni. Adakah yang meminta, akan Kukabulkan." Manfaatkan waktu ini untuk shalat tahajud dan berdoa.
- Antara Adzan dan Iqamah: Doa yang dipanjatkan di antara adzan dan iqamah tidak akan ditolak.
Dengan memanfaatkan waktu-waktu mustajab ini, diharapkan doa-doa kita lebih mudah dikabulkan oleh Allah SWT. Kunci utama dalam berdoa adalah keikhlasan, keyakinan penuh bahwa Allah akan mengabulkan, dan pengharapan yang tulus kepada-Nya. Jangan pernah merasa putus asa dalam berdoa, karena Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan.
Amalan Lain di Hari Asyura: Memperkaya Ibadah dan Kebaikan Sosial
Selain puasa yang menjadi amalan sentral dan memperbanyak doa serta dzikir, Hari Asyura juga menjadi momentum yang baik untuk memperkaya ibadah kita dengan berbagai amalan shalih lainnya. Meskipun tidak ada dalil khusus yang mewajibkan amalan-amalan tertentu selain puasa, namun secara umum, setiap kebaikan yang dilakukan pada hari yang mulia akan mendapatkan pahala berlipat ganda dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mengisi hari ini dengan beragam kebaikan adalah bentuk syukur dan pengagungan terhadap hari yang istimewa ini.
1. Memperbanyak Shalat Sunnah
Tidak ada shalat sunnah khusus yang secara spesifik dikaitkan dengan Hari Asyura melalui dalil yang shahih. Namun, seorang Muslim selalu dianjurkan untuk memperbanyak shalat sunnah secara umum, kapan pun, dan terlebih lagi di hari-hari yang mulia seperti Asyura. Shalat sunnah adalah penambah pahala dan penyempurna kekurangan shalat wajib. Beberapa shalat sunnah yang sangat dianjurkan untuk diperbanyak adalah:
- Shalat Dhuha: Dilakukan di pagi hari setelah matahari terbit sekitar satu tombak hingga sebelum waktu Dzuhur. Shalat ini memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah sebagai pengganti sedekah seluruh persendian tubuh, dan membuka pintu rezeki.
- Shalat Rawatib: Shalat sunnah yang mengiringi shalat fardhu (sebelum atau sesudah). Shalat ini adalah amalan yang senantiasa dijaga oleh Nabi SAW, dan pahalanya dapat menyempurnakan shalat wajib yang mungkin ada kekurangannya.
- Shalat Tahajud: Dilakukan di sepertiga malam terakhir. Ini adalah salah satu shalat terbaik setelah shalat wajib, yang mengangkat derajat seorang hamba di sisi Allah, dan doa-doa pada waktu ini sangat mustajab.
- Shalat Taubat: Jika merasa ada dosa yang belum diampuni dan ingin bertaubat dengan sungguh-sungguh, shalat taubat dapat menjadi sarana untuk memohon ampunan Allah.
- Shalat Hajat: Jika memiliki hajat atau keinginan tertentu yang ingin dikabulkan, shalat hajat bisa dipanjatkan untuk memohon pertolongan dan kemudahan dari Allah.
Memperbanyak shalat sunnah di Hari Asyura akan menambah kedekatan kita kepada Allah dan mengisi hari yang berkah ini dengan ibadah yang bernilai tinggi, menunjukkan kesungguhan kita dalam beribadah.
2. Bersedekah dan Berbagi
Bersedekah adalah amalan yang sangat dicintai Allah dan memiliki keutamaan besar kapanpun, apalagi di hari-hari yang dimuliakan seperti Asyura. Meskipun hadits-hadits yang mengkhususkan keutamaan sedekah di Hari Asyura sebagian besar dinilai dhaif (lemah) atau maudhu' (palsu) oleh para muhaddits, namun prinsip umum dalam Islam adalah setiap sedekah mendatangkan pahala yang berlimpah. Memberi makan orang yang berpuasa (saat berbuka) atau membantu sesama yang membutuhkan adalah amalan yang sangat dianjurkan dan tidak terikat waktu.
Manfaat sedekah tidak hanya dirasakan oleh penerima, tetapi juga oleh pemberi. Sedekah dapat menghapus dosa, melipatgandakan rezeki, menolak bala, dan menjadi bukti keimanan seseorang. Di Hari Asyura, niatkan sedekah kita sebagai bentuk syukur atas nikmat Allah dan harapan akan keridaan-Nya, serta sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama. Ini adalah kesempatan untuk membersihkan harta dan jiwa.
3. Menyambung Silaturahmi
Menyambung tali silaturahmi adalah amalan yang sangat ditekankan dalam Islam, yang dapat memanjangkan umur dan meluaskan rezeki. Hari Asyura bisa menjadi momentum yang tepat untuk menghubungi sanak saudara, teman, atau kerabat yang mungkin sudah lama tidak bersua. Mengunjungi mereka, bertanya kabar, atau sekadar mengirim pesan kebaikan dapat mempererat ukhuwah Islamiyah dan menjaga tali persaudaraan.
Islam sangat menjunjung tinggi hubungan kekerabatan, dan memutuskan silaturahmi adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu, manfaatkan hari ini untuk memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan sesama, karena pahalanya sangat besar di sisi Allah.
4. Berbuat Baik kepada Keluarga dan Anak Yatim
Ada beberapa riwayat yang meskipun tidak sampai derajat shahih secara mutlak, namun populer di kalangan ulama tentang anjuran meluaskan nafkah (memberi kelapangan rezeki) kepada keluarga di Hari Asyura. Salah satu riwayat yang dinilai hasan oleh beberapa ulama adalah:
"Barangsiapa meluaskan nafkah bagi keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan meluaskan rezekinya sepanjang tahun itu." (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman).
Meskipun ada perbedaan pendapat ulama mengenai derajat hadits ini, namun mengambil pelajaran dari maknanya untuk berbuat baik kepada keluarga dan memberi mereka kegembiraan adalah hal yang positif dan sesuai dengan ajaran Islam secara umum. Ini bisa berupa memberikan makanan yang lebih baik dari biasanya, hadiah kecil, atau menghabiskan waktu berkualitas bersama mereka, menciptakan suasana harmonis dan penuh kasih sayang.
Selain itu, menyantuni anak yatim juga merupakan amalan yang sangat mulia dan dianjurkan. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Aku dan pengasuh anak yatim akan berada di surga seperti dua jari ini," sambil beliau menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Hari Asyura adalah kesempatan baik untuk menunjukkan kepedulian kita kepada mereka yang membutuhkan, karena kasih sayang terhadap anak yatim adalah cerminan keimanan yang kuat.
5. Membaca Al-Qur'an dan Tadabbur
Membaca Al-Qur'an adalah ibadah yang setiap hurufnya diganjar dengan pahala yang berlipat ganda. Memperbanyak tilawah Al-Qur'an di Hari Asyura akan menambah keberkahan dan pahala bagi kita. Selain membaca, merenungi makna ayat-ayatnya (tadabbur) juga sangat dianjurkan untuk meningkatkan pemahaman, keimanan, dan mengambil pelajaran dari petunjuk-petunjuk Allah.
Secara keseluruhan, Hari Asyura adalah hari untuk meningkatkan seluruh aspek ibadah dan kebaikan. Ini adalah pengingat untuk senantiasa taat kepada Allah, peduli terhadap sesama, dan berupaya menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya. Setiap amalan baik yang dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah akan mendapatkan ganjaran yang berlimpah, insya Allah, dan menjadi bekal berharga di akhirat kelak.
Kisah-kisah Penting Terkait Hari Asyura: Pelajaran dari Sejarah Para Nabi
Hari Asyura tidak hanya istimewa karena anjuran puasa dan keutamaannya, tetapi juga karena berbagai peristiwa bersejarah yang terjadi pada hari ini, terutama yang berkaitan dengan para nabi Allah. Kisah-kisah ini bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan menjadi bukti nyata kekuasaan Allah, hikmah-Nya yang tak terbatas, dan pelajaran berharga yang abadi bagi umat manusia sepanjang masa. Merenungi kisah-kisah ini akan memperkaya pemahaman kita tentang kebesaran Sang Pencipta dan perjuangan para utusan-Nya.
Kisah Nabi Musa AS dan Firaun: Mukjizat di Laut Merah
Peristiwa paling fundamental yang mengaitkan Hari Asyura dengan sejarah adalah penyelamatan Nabi Musa AS dan kaumnya (Bani Israil) dari kejaran Firaun dan bala tentaranya. Kisah heroik ini adalah alasan utama mengapa Nabi Muhammad SAW menganjurkan puasa Asyura sebagai bentuk syukur kepada Allah.
Firaun adalah seorang penguasa Mesir yang zalim, kejam, dan angkuh, bahkan sampai mengaku sebagai Tuhan. Ia menindas Bani Israil dengan sangat berat, menjadikan mereka budak, dan melakukan kekejaman dengan membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dari mereka karena takut akan ramalan. Allah SWT kemudian mengutus Nabi Musa AS untuk memimpin Bani Israil keluar dari Mesir menuju tanah yang dijanjikan, membebaskan mereka dari perbudakan.
Ketika Nabi Musa AS dan kaumnya melarikan diri, Firaun dan pasukannya yang berjumlah sangat besar mengejar mereka hingga ke tepian Laut Merah. Bani Israil merasa putus asa dan panik karena di depan mereka ada lautan luas yang menghalangi jalan, dan di belakang ada musuh yang siap membantai mereka. Namun, Nabi Musa AS tetap tenang dan percaya sepenuhnya kepada Allah. Atas perintah Allah, Nabi Musa AS memukulkan tongkatnya ke laut, dan dengan mukjizat yang agung, laut itu pun terbelah, membentuk jalan kering yang bisa dilalui dengan aman.
Bani Israil berhasil menyeberang dengan selamat ke seberang. Firaun dan bala tentaranya yang sombong, dengan keyakinan mereka akan kemenangan, mencoba mengikuti melalui jalan yang sama. Namun, ketika mereka berada di tengah-tengah laut yang terbelah, Allah memerintahkan laut untuk kembali menyatu. Firaun dan seluruh pasukannya tenggelam, binasa di hadapan kekuasaan Allah yang Maha Dahsyat. Jasad Firaun kemudian dijadikan pelajaran bagi generasi sesudahnya.
Peristiwa dahsyat ini, yang merupakan salah satu mukjizat terbesar Nabi Musa AS, terjadi pada Hari Asyura. Nabi Musa AS kemudian berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur yang tak terhingga kepada Allah atas penyelamatan besar tersebut. Inilah yang kemudian diikuti dan ditegaskan kembali oleh Nabi Muhammad SAW, menjadikan puasa Asyura sebagai sunnah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam.
Pelajaran dari kisah ini sangatlah mendalam: Kesabaran, keteguhan iman, dan keyakinan penuh kepada Allah dalam menghadapi kesulitan yang paling mustahil sekalipun akan selalu berbuah pertolongan dari-Nya. Sebaliknya, kekuasaan zalim, kesombongan, dan keangkuhan akan hancur di hadapan kebesaran Allah, yang Maha Perkasa dan Maha Adil.
Kisah Nabi Nuh AS dan Bahteranya: Keselamatan dari Air Bah
Beberapa riwayat, meskipun tidak sekuat riwayat Nabi Musa AS, juga menyebutkan bahwa pada Hari Asyura, bahtera Nabi Nuh AS berlabuh dengan selamat di Gunung Judi setelah banjir besar yang melanda seluruh bumi. Kisah ini adalah bukti lain dari kekuasaan Allah dan konsekuensi dari kekafiran.
Nabi Nuh AS adalah seorang nabi yang berdakwah kepada kaumnya selama ratusan tahun, mengajak mereka untuk menyembah Allah semata dan meninggalkan penyembahan berhala. Namun, kaumnya menolak ajakan tersebut dengan keras, bahkan mencemooh dan terus berbuat maksiat serta menyekutukan Allah. Setelah sekian lama berdakwah dan hanya sedikit yang beriman, Allah kemudian memerintahkan Nabi Nuh AS untuk membangun sebuah bahtera besar.
Bahtera itu dibangun di atas daratan, yang semakin membuat kaumnya mengejek. Nabi Nuh AS diperintahkan untuk membawa serta setiap jenis makhluk hidup berpasangan, serta keluarganya yang beriman. Setelah bahtera selesai dibangun dan semua yang diperintahkan telah masuk ke dalamnya, banjir besar pun datang dari langit dan bumi, menenggelamkan seluruh bumi kecuali mereka yang berada di dalam bahtera Nabi Nuh AS.
Setelah berhari-hari terapung di tengah lautan banjir yang dahsyat, bahtera Nabi Nuh AS akhirnya berlabuh dengan selamat di puncak Gunung Judi. Hari berlabuhnya bahtera ini diyakini terjadi pada Hari Asyura. Nabi Nuh AS dan orang-orang yang bersamanya kemudian berpuasa sebagai tanda syukur yang mendalam atas keselamatan yang telah diberikan Allah kepada mereka.
Pelajaran dari kisah ini: Ketaatan yang mutlak kepada perintah Allah akan membawa keselamatan dan keberkahan, meskipun di tengah bencana yang dahsyat yang menghancurkan segalanya. Kisah ini juga mengajarkan pentingnya dakwah yang sabar dan gigih, serta konsekuensi dari penolakan terhadap kebenaran yang membawa kepada azab ilahi.
Peristiwa Penting Lainnya yang Dikaitkan dengan Asyura (Dalam Beberapa Riwayat)
Selain kisah Nabi Musa dan Nabi Nuh, beberapa tradisi dan riwayat populer juga mengaitkan Hari Asyura dengan peristiwa-peristiwa penting lain dalam sejarah para nabi, meskipun sebagian riwayat ini perlu ditinjau ulang validitasnya secara hadits, dan banyak yang dinilai dhaif oleh para ulama muhaddits. Namun, keberadaan riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa Hari Asyura telah lama dianggap sebagai hari yang penuh berkah dan pertolongan ilahi dalam berbagai tradisi keagamaan. Beberapa di antaranya adalah:
- Taubat Nabi Adam AS Diterima: Dikatakan bahwa pada Hari Asyura, Allah menerima taubat Nabi Adam AS setelah ia dan Hawa dikeluarkan dari surga karena memakan buah terlarang. Ini adalah awal dari perjalanan hidup manusia di bumi.
- Nabi Ibrahim AS Diselamatkan dari Api: Konon, pada hari ini Nabi Ibrahim AS diselamatkan dari pembakaran oleh Raja Namrud, yang marah karena Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala kaumnya. Api itu menjadi dingin dan menyelamatkan Nabi Ibrahim.
- Nabi Yusuf AS Dikeluarkan dari Sumur: Ada yang menyebutkan bahwa Nabi Yusuf AS dikeluarkan dari sumur oleh para kafilah yang melintas, setelah ia dibuang oleh saudara-saudaranya.
- Nabi Ayyub AS Disembuhkan dari Penyakit: Beberapa riwayat menyatakan bahwa Nabi Ayyub AS, yang dikenal dengan kesabarannya yang luar biasa, disembuhkan dari penyakitnya yang parah pada hari ini.
- Nabi Yunus AS Keluar dari Perut Ikan: Dikatakan bahwa Nabi Yunus AS dikeluarkan dari perut ikan paus setelah ia bertaubat dan berdzikir di dalamnya.
- Kelahiran Nabi Isa AS: Bahkan ada pula yang mengaitkan Hari Asyura dengan kelahiran Nabi Isa AS.
Meskipun riwayat-riwayat tentang peristiwa-peristiwa ini mungkin tidak memiliki dasar yang sekuat kisah Nabi Musa AS dan Nabi Nuh AS dalam kitab-kitab hadits shahih, keberadaannya dalam tradisi umat Islam tetap memberikan nuansa spiritual bahwa Hari Asyura adalah hari yang istimewa, di mana pertolongan dan rahmat Allah seringkali tercurah. Yang terpenting adalah mengambil hikmah dari setiap kisah tentang perjuangan para nabi dan pertolongan Allah kepada mereka yang beriman dan bertakwa.
Pelajaran dan Hikmah dari Kisah-kisah Asyura: Bekal Kehidupan
Kisah-kisah yang terjadi di Hari Asyura memberikan pelajaran mendalam bagi kita semua, yang relevan untuk setiap zaman dan tempat:
- Kekuasaan Allah yang Tak Terbatas: Allah mampu melakukan segala sesuatu, menyelamatkan hamba-Nya dari situasi paling mustahil, dan menghancurkan kezaliman dengan cara yang tidak terduga. Ini menumbuhkan rasa takut sekaligus harapan kepada-Nya.
- Kesabaran dan Keteguhan Iman: Para nabi Allah menghadapi cobaan dan ujian yang sangat berat, namun mereka tetap sabar, teguh beriman, dan tidak putus asa dari rahmat Allah. Ini adalah teladan bagi kita dalam menghadapi kesulitan hidup.
- Pentingnya Syukur kepada Allah: Nabi Musa AS dan Nabi Nuh AS berpuasa sebagai bentuk syukur. Kita juga diajarkan untuk senantiasa bersyukur atas nikmat Allah, sekecil apapun itu, karena syukur akan menambah nikmat.
- Keadilan Ilahi yang Pasti: Allah tidak akan membiarkan kezaliman berlanjut tanpa balasan. Firaun dan kaumnya yang durhaka akhirnya menerima azab yang setimpal. Ini adalah pengingat bahwa keadilan Allah pasti ditegakkan.
- Harapan dan Pertolongan Allah: Bahkan dalam kondisi paling terdesak sekalipun, pertolongan Allah akan datang bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa dan berserah diri. Jangan pernah kehilangan harapan kepada Allah.
Memahami sejarah dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada Hari Asyura akan semakin memperkaya makna ibadah kita, terutama puasa, doa, dan dzikir. Ini bukan hanya sekadar ritual tahunan, tetapi juga refleksi atas perjalanan spiritual umat manusia dan pelajaran abadi dari kebesaran Allah SWT. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari setiap kisah ini untuk memperkuat iman dan amal shalih kita.
Fiqih dan Tinjauan Hukum Seputar Hari Asyura: Memahami Syariat
Untuk menjalankan ibadah di Hari Asyura dengan benar, sesuai dengan tuntunan syariat Islam, penting bagi kita untuk memahami aspek fiqih (hukum Islam) yang melingkupinya. Ini mencakup hukum puasa, niat yang benar, serta beberapa pengecualian dan kondisi khusus yang mungkin dihadapi oleh seorang Muslim.
Hukum Puasa Asyura: Sunnah Muakkadah yang Penuh Berkah
Hukum puasa Asyura adalah sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, bagi yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala yang besar dan keutamaan penghapusan dosa setahun yang lalu, sebagaimana disebutkan dalam hadits. Sementara itu, bagi yang tidak mengerjakannya tidak berdosa, namun ia kehilangan kesempatan besar untuk meraih pahala dan ampunan.
Puasa ini menjadi sunnah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan. Sebelum puasa Ramadhan diwajibkan, puasa Asyura adalah puasa wajib bagi umat Islam. Dengan turunnya perintah puasa Ramadhan, kedudukan puasa Asyura beralih menjadi sunnah, namun tetap dengan keutamaan yang tinggi.
Puasa Tasu'a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram): Tata Cara Terbaik
Sebagaimana telah dijelaskan di bagian sebelumnya, Nabi Muhammad SAW menganjurkan untuk berpuasa pada Hari Tasu'a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram). Tujuan utamanya adalah untuk menyelisihi atau membedakan diri dari kebiasaan kaum Yahudi yang pada masa itu hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja. Oleh karena itu, tingkat kesempurnaan puasa Asyura adalah sebagai berikut:
- Paling Utama dan Sempurna: Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram (Tasu'a dan Asyura). Ini adalah cara paling sempurna, paling dianjurkan, dan paling sesuai dengan sunnah Nabi SAW. Ini menggabungkan keutamaan puasa Asyura dengan anjuran untuk menyelisihi kaum Yahudi.
- Baik dan Tetap Berpahala: Berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja (Asyura). Puasa ini tetap sah dan akan mendapatkan keutamaan penghapusan dosa setahun yang lalu. Banyak ulama berpendapat bahwa meskipun tidak digabungkan dengan Tasu'a, pahala tetap didapat, asalkan niatnya tulus.
- Alternatif Lain: Berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram. Ini bisa menjadi pilihan jika seseorang terlewat puasa Tasu'a (tanggal 9 Muharram) karena alasan tertentu, namun ingin tetap berpuasa dua hari untuk menyelisihi kaum Yahudi.
- Makruh (Kurang Disukai) oleh Sebagian Ulama: Berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja tanpa didahului atau diiringi puasa lain, jika tujuannya adalah menyerupai kaum Yahudi. Namun, jika niatnya adalah berpuasa sunnah Asyura dan tidak ada tujuan menyerupai, maka sebagian ulama tidak menganggapnya makruh. Akan tetapi, untuk kehati-hatian, berpuasa dua hari (9 dan 10, atau 10 dan 11) lebih disukai.
Jadi, sangat dianjurkan untuk berpuasa dua hari untuk meraih pahala yang maksimal dan kesempurnaan ibadah.
Niat Puasa Asyura: Syarat Sah Ibadah
Niat adalah syarat sahnya setiap ibadah. Untuk puasa sunnah seperti Asyura, niat dapat dilakukan kapan saja, asalkan:
- Dilakukan dalam hati. Mengucapkan secara lisan adalah sunnah untuk menguatkan niat, namun bukan wajib.
- Dilakukan sebelum tergelincir matahari (sebelum waktu Dzuhur) pada hari tersebut.
- Belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa (seperti makan atau minum) sejak terbit fajar hingga niat itu diucapkan. Jika sudah makan atau minum, maka tidak sah berniat puasa sunnah di hari itu.
Contoh niat yang diucapkan dalam hati: "Saya niat puasa sunnah Asyura karena Allah Ta'ala." Jika ingin lebih spesifik untuk kedua hari: "Saya niat puasa sunnah Tasu'a esok hari karena Allah Ta'ala" dan "Saya niat puasa sunnah Asyura esok hari karena Allah Ta'ala."
Kondisi Khusus: Lupa, Sakit, atau Memiliki Hutang Puasa
- Lupa Niat atau Terlambat Mengetahui: Jika seseorang baru tahu bahwa hari itu adalah Hari Asyura setelah pagi hari, atau lupa berniat di malam hari, ia masih bisa berniat puasa sunnah Asyura sebelum Dzuhur, asalkan belum makan atau minum dan belum melakukan pembatal puasa lainnya sejak fajar.
- Sakit atau Berhalangan: Bagi yang sakit, sedang dalam perjalanan (musafir), atau wanita haid/nifas, mereka tidak diwajibkan berpuasa. Bahkan bagi wanita haid/nifas, berpuasa pada kondisi tersebut adalah haram dan tidak sah. Mereka tidak perlu mengqadha puasa sunnah Asyura, karena puasa sunnah tidak memiliki kewajiban qadha. Meskipun tidak dapat berpuasa, mereka masih bisa mendapatkan keberkahan hari Asyura dengan memperbanyak dzikir, doa, sedekah, dan amalan shalih lainnya.
- Qadha Puasa Ramadhan: Jika seseorang memiliki hutang puasa Ramadhan, mana yang lebih utama didahulukan? Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengqadha puasa Ramadhan lebih utama karena hukumnya wajib dan harus segera ditunaikan. Namun, ada juga pendapat yang membolehkan niat ganda (qadha dan sunnah) jika memungkinkan, atau niat puasa qadha Ramadhan di Hari Asyura yang diharapkan juga mendapatkan pahala Asyura secara tidak langsung. Akan tetapi, untuk kehati-hatian, menyelesaikan yang wajib (qadha Ramadhan) lebih diutamakan, dan pahala puasa Asyura dapat diganti dengan amalan lain.
Perbedaan Pendapat (Khilafiyah) dalam Fiqih Asyura
Dalam beberapa aspek fiqih, terkadang muncul perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan ulama, yang merupakan rahmat bagi umat. Misalnya, mengenai hukum berpuasa Asyura saja tanpa Tasu'a. Sebagian ulama menganggapnya makruh jika tujuannya menyerupai Yahudi, sebagian lain tidak. Contoh lain adalah mengenai status hadits meluaskan nafkah kepada keluarga di Hari Asyura. Yang terpenting adalah mengikuti pendapat yang paling menenangkan hati setelah melakukan kajian, berdasarkan dalil yang kuat, serta menjauhi sikap fanatik yang berlebihan terhadap satu pendapat.
Secara umum, konsensus ulama adalah bahwa puasa Asyura adalah sunnah yang sangat dianjurkan, dan lebih sempurna jika disertai puasa Tasu'a. Pemahaman fiqih yang benar ini membantu kita melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan syariat, meraih keberkahan maksimal di hari yang mulia ini, dan menjaga kemurnian ajaran Islam dari hal-hal yang tidak berdasar.
Kesalahan Umum dan Bid'ah Terkait Hari Asyura: Menjaga Kemurnian Ibadah
Dalam menyambut dan merayakan Hari Asyura, penting bagi umat Muslim untuk memastikan bahwa amalan yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan tidak jatuh ke dalam praktik-praktik yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Terkadang, karena kurangnya pemahaman, mengikuti tradisi yang keliru, atau terbawa emosi, muncul amalan-amalan yang tidak berdasar (bid'ah) atau bahkan bertentangan dengan ajaran Islam. Menjaga kemurnian ibadah adalah prioritas utama.
1. Keyakinan Berlebihan Terhadap Doa atau Amalan Tertentu yang Tidak Shahih
Seperti yang telah dijelaskan, tidak ada doa khusus yang shahih dari Nabi SAW untuk Hari Asyura. Oleh karena itu, keyakinan bahwa ada doa tertentu yang jika dibaca di Hari Asyura akan menjamin segala hajat dikabulkan, menghapus semua dosa (termasuk dosa besar) tanpa taubat yang sungguh-sungguh, atau memberikan keutamaan yang berlebihan, adalah keyakinan yang keliru dan tidak berdasar. Hal ini dapat mengarah pada kesyirikan kecil atau bid'ah.
Doa-doa yang disusun oleh ulama shalih memang boleh dibaca, karena pada dasarnya doa adalah ibadah. Tetapi, jangan sampai meyakini bahwa doa tersebut memiliki keutamaan khusus yang setara dengan dalil shahih dari Al-Qur'an atau Sunnah. Penting untuk berdoa dengan tulus, memohon ampunan, dan kebaikan dunia akhirat, tanpa mengkhususkan doa yang tidak diajarkan oleh Nabi SAW.
2. Mengkhususkan Shalat atau Dzikir dengan Tata Cara Khusus yang Tidak Ada Dalilnya
Sama halnya dengan doa, tidak ada shalat sunnah khusus yang ditetapkan untuk Hari Asyura, seperti "Shalat Asyura" dengan rakaat, surat, atau bacaan tertentu yang spesifik. Memperbanyak shalat sunnah secara umum seperti Dhuha, Tahajud, atau Rawatib adalah baik dan dianjurkan kapan saja, termasuk di Hari Asyura. Namun, menciptakan shalat baru dengan nama dan tata cara khusus untuk Hari Asyura adalah bid'ah yang harus dihindari.
Begitu pula dengan dzikir. Memperbanyak dzikir umum seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir, dan istighfar adalah amalan mulia. Namun, menentukan jumlah dzikir tertentu yang sangat banyak (misalnya membaca 'Hasbunallah Wa Ni'mal Wakil' 1000 kali atau 'Yaa Latif' 1000 kali) dengan keyakinan pahala yang terlampau dahsyat dan mengkhususkan dzikir tersebut hanya pada Hari Asyura tanpa dasar dalil yang shahih, bisa jadi mendekati bid'ah. Ibadah harus sesuai tuntunan.
3. Perayaan Berlebihan atau Bersedih Berlebihan
Di beberapa tradisi, Hari Asyura dirayakan dengan sangat meriah, menyerupai hari raya, dengan membuat makanan-makanan khusus yang berlebihan, pesta, dan hiburan. Ada pula tradisi yang justru menampilkan kesedihan berlebihan, ratapan, menyakiti diri sendiri, dan ritual-ritual duka yang tidak diajarkan Islam, terutama di kalangan sebagian Syiah yang memperingati wafatnya Sayyidina Husain bin Ali RA. Kedua ekstrem ini tidak sesuai dengan ajaran Islam yang moderat dan seimbang.
Hari Asyura adalah hari yang mulia untuk beribadah, bersyukur, dan mengambil pelajaran dari sejarah, bukan untuk perayaan hura-hura atau ratapan yang berlebihan yang dapat menjurus pada perbuatan tercela. Kesedihan atas wafatnya cucu Nabi SAW tentu wajar bagi setiap Muslim, namun tidak boleh berujung pada tindakan yang melanggar syariat atau menyakiti diri sendiri.
4. Keyakinan Mengusap Kepala Anak Yatim dengan Keutamaan Khusus
Ada keyakinan populer di sebagian masyarakat bahwa mengusap kepala anak yatim di Hari Asyura memiliki keutamaan khusus yang dapat menghapus dosa atau mendatangkan pahala tertentu. Meskipun menyantuni anak yatim, mengasihi mereka, dan berbuat baik kepada mereka adalah amalan yang sangat mulia dan dianjurkan setiap saat dalam Islam, mengkhususkan amalan ini hanya pada Hari Asyura dengan keyakinan ada keutamaan khusus yang tidak disebutkan dalam dalil shahih adalah berlebihan dan tidak berdasar.
Berbuat baiklah kepada anak yatim kapan saja, tanpa harus menunggu Hari Asyura atau mengaitkannya dengan keutamaan yang tidak ada dasarnya dalam syariat. Islam mendorong kepedulian terhadap anak yatim sebagai bagian dari akhlak mulia seorang Muslim di setiap waktu.
5. Menyebarkan Hadits-hadits Dhaif atau Maudhu' (Palsu)
Di era informasi saat ini, seringkali beredar pesan berantai atau artikel yang menyertakan hadits-hadits lemah (dhaif) atau bahkan palsu (maudhu') mengenai keutamaan Hari Asyura. Misalnya, hadits tentang keutamaan bersedekah di Hari Asyura yang disebutkan akan diluaskan rezekinya setahun penuh (walaupun hadits tentang ini dinilai hasan oleh sebagian ulama, tetapi banyak juga yang menilainya dhaif), atau hadits tentang shalat khusus. Meskipun niatnya baik untuk mengajak beramal, menyebarkan hadits palsu adalah dosa besar. Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka." Penting untuk selalu merujuk pada sumber-sumber yang sahih dan terpercaya sebelum menyebarkan informasi keagamaan.
Pentingnya Mengikuti Sunnah dan Menjauhi Bid'ah: Jalan Keselamatan
Nabi Muhammad SAW telah bersabda dengan tegas:
"Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (agama) yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)
"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (bid'ah), dan setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Muslim)
Hadits-hadits yang agung ini menekankan pentingnya berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah dalam setiap aspek ibadah. Menambahkan atau mengubah ajaran agama tanpa dasar yang shahih adalah perbuatan yang tercela dan dapat menyesatkan. Oleh karena itu, dalam menyambut Hari Asyura, fokuslah pada amalan yang jelas disunnahkan, yaitu puasa Tasu'a dan Asyura, serta memperbanyak doa dan dzikir secara umum, serta amalan kebaikan lainnya yang dianjurkan dalam Islam setiap waktu. Dengan demikian, kita dapat mengisi Hari Asyura dengan ibadah yang diterima di sisi Allah dan mendapatkan keberkahan yang hakiki, jauh dari kesesatan dan penyimpangan.
Hikmah dan Pelajaran dari Hari Asyura: Membangun Pribadi Bertakwa Sejati
Hari Asyura, dengan segala sejarah, keutamaan, dan peristiwa penting di dalamnya, bukan hanya sekadar hari untuk berpuasa atau memanjatkan doa. Lebih dari itu, ia adalah cermin refleksi diri yang mendalam dan sumber pelajaran berharga yang dapat membimbing kita menuju kehidupan yang lebih baik, pribadi yang lebih bertakwa, dan umat yang lebih kokoh. Memahami hikmah di balik Hari Asyura akan memperdalam makna setiap ibadah kita dan memberikan inspirasi untuk kehidupan sehari-hari.
1. Mengingat Kekuasaan, Rahmat, dan Pertolongan Allah yang Maha Besar
Kisah Nabi Musa AS yang diselamatkan dari kekejaman dan keangkuhan Firaun adalah bukti nyata kekuasaan Allah yang tak terbatas. Bahkan ketika segala jalan seolah tertutup dan situasi tampak mustahil, Allah mampu membuka jalan keselamatan bagi hamba-Nya yang beriman. Ini mengajarkan kita untuk selalu berharap, bertawakkal (berserah diri) sepenuhnya kepada Allah, dan tidak berputus asa dalam menghadapi setiap masalah dan kesulitan hidup, sekecil apapun itu. Allah adalah penolong terbaik.
Pelajaran ini sangat relevan di zaman modern ini, di mana manusia seringkali merasa putus asa, tertekan, atau hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri semata, melupakan Dzat yang Maha Kuasa. Hari Asyura mengingatkan kita bahwa ada kekuatan yang Maha Besar di atas segalanya, yang siap menolong hamba-Nya yang bertakwa dan bertawakkal dengan tulus.
2. Pentingnya Rasa Syukur yang Tulus dalam Segala Kondisi
Nabi Musa AS berpuasa pada Hari Asyura sebagai bentuk syukur kepada Allah atas penyelamatan besar yang diberikan-Nya. Ini mengajarkan kita tentang pentingnya rasa syukur yang mendalam dan tulus. Setiap nikmat, besar maupun kecil, patut disyukuri. Rasa syukur bukan hanya diucapkan dengan lisan, tetapi juga diwujudkan dengan amal perbuatan, yaitu menggunakan nikmat tersebut di jalan Allah, menjauhi larangan-Nya, dan senantiasa mengingat-Nya.
Puasa Asyura adalah salah satu bentuk syukur yang konkret. Dengan menahan diri dari makan, minum, dan hawa nafsu, kita merasakan sedikit dari kesulitan, sehingga nikmat makanan dan minuman menjadi lebih berharga. Ini juga melatih kita untuk senantiasa bersyukur atas rezeki, kesehatan, dan segala karunia yang Allah berikan, karena dengan syukur, nikmat akan bertambah.
3. Kesempatan Menghapus Dosa dan Memperbaiki Diri Secara Spiritual
Keutamaan puasa Asyura sebagai penghapus dosa setahun yang lalu adalah anugerah besar dan bukti kasih sayang Allah yang luas kepada hamba-hamba-Nya. Kesempatan ini seharusnya memotivasi kita untuk tidak menunda taubat, senantiasa berintrospeksi diri, dan berusaha menjauhi dosa di masa mendatang.
Hari Asyura menjadi titik balik yang penting untuk mengevaluasi amal perbuatan yang lalu, memohon ampunan atas segala kesalahan dan kekhilafan, dan bertekad dengan sungguh-sungguh untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih taat, dan lebih bertakwa di masa depan. Ini adalah "cuci gudang" spiritual tahunan yang tidak boleh dilewatkan oleh setiap Muslim yang mendambakan kebersihan hati dan jiwa.
4. Membangun Identitas Muslim dan Menjaga Keaslian Ajaran Islam
Anjuran untuk berpuasa Tasu'a (9 Muharram) bersama Asyura (10 Muharram) adalah pelajaran tentang pentingnya menjaga identitas dan keaslian ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW ingin umatnya memiliki kekhasan dalam setiap ibadahnya dan tidak sekadar meniru kaum lain secara membabi buta tanpa dasar syariat.
Hikmah ini sangat relevan di setiap zaman, di mana umat Muslim dituntut untuk mempertahankan prinsip-prinsip agamanya di tengah arus globalisasi, pengaruh budaya asing, dan berbagai ideologi yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ini mengajarkan kita untuk kritis dan selektif dalam menerima tradisi atau praktik keagamaan, memastikan bahwa semuanya berlandaskan pada Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, serta tidak mudah terbawa arus tanpa ilmu.
5. Solidaritas dan Kepedulian Sosial: Membangun Masyarakat Madani
Meskipun beberapa riwayat tentang meluaskan nafkah atau menyantuni anak yatim di Hari Asyura memiliki perbedaan dalam kekuatan sanadnya, esensinya mengajarkan tentang pentingnya kepedulian sosial. Islam selalu menganjurkan umatnya untuk saling membantu, berbagi, dan peduli terhadap sesama, terutama yang membutuhkan, kapan pun dan di mana pun.
Hari Asyura dapat menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan sedekah, membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, atau mempererat tali silaturahmi. Ini adalah ajakan untuk tidak hanya fokus pada ibadah personal (habluminallah), tetapi juga pada aspek sosial kemasyarakatan (habluminannas), karena Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur kedua hubungan tersebut.
6. Mengambil Pelajaran dari Sejarah dan Kehidupan Para Nabi
Setiap kisah para nabi yang terjadi pada Hari Asyura adalah sumber pelajaran yang tak lekang oleh waktu. Kisah Nabi Musa mengajarkan tentang keberanian melawan kezaliman, kekuatan iman, dan pertolongan Allah bagi yang terzalimi. Kisah Nabi Nuh mengajarkan tentang kesabaran dalam berdakwah, keteguhan dalam menghadapi penolakan, dan konsekuensi bagi mereka yang ingkar.
Dengan mempelajari sejarah ini, kita dapat menarik ibrah (pelajaran) untuk menghadapi tantangan hidup, memperkuat iman, dan meneladani akhlak mulia para nabi dalam setiap sendi kehidupan kita. Sejarah adalah guru terbaik bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran.
Membangun Pribadi Bertakwa Melalui Asyura: Agenda Sepanjang Hayat
Secara keseluruhan, Hari Asyura adalah kesempatan emas untuk:
- Meningkatkan Ketakwaan: Melalui puasa, doa, dzikir, dan amalan shalih lainnya.
- Memperbaharui Komitmen: Untuk taat kepada Allah, menjauhi maksiat, dan istiqamah di jalan kebenaran.
- Memperkuat Hubungan: Baik dengan Allah (habluminallah) maupun dengan sesama manusia (habluminannas) sebagai wujud iman yang sempurna.
- Mempelajari Sejarah: Untuk mengambil hikmah dan teladan dari perjuangan para nabi dan umat terdahulu.
- Mensucikan Diri: Dari dosa-dosa kecil dan memulai lembaran baru yang lebih bersih dan penuh semangat.
Dengan memaknai Hari Asyura secara mendalam dan mengisinya dengan amalan yang sesuai syariat, kita berharap dapat menjadi hamba Allah yang lebih bertakwa, lebih bersyukur, dan lebih peduli terhadap sesama. Semoga setiap langkah kita dalam menyambut hari ini dicatat sebagai amal shalih yang diterima di sisi Allah SWT. Jadikan Hari Asyura sebagai titik tolak untuk menjadi pribadi Muslim yang lebih baik, senantiasa bertaqwa, dan menebarkan kebaikan di mana pun kita berada, sepanjang hidup kita.
Persiapan Menjelang Hari Asyura: Meraih Berkah Optimal dengan Perencanaan
Untuk dapat meraih keberkahan maksimal dari Hari Asyura, ada baiknya kita melakukan beberapa persiapan yang matang. Persiapan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga spiritual dan mental, agar setiap ibadah yang kita lakukan di hari mulia tersebut menjadi lebih khusyuk, lebih fokus, dan diterima di sisi Allah SWT. Perencanaan yang baik akan membantu kita memanfaatkan setiap momen berharga di Hari Asyura.
1. Menentukan Tanggal yang Tepat: Pentingnya Informasi Akurat
Hari Asyura jatuh pada tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriyah. Karena kalender Hijriyah adalah kalender bulan, penentuan awal bulan bisa sedikit berbeda tergantung metode rukyat (melihat hilal) atau hisab (perhitungan astronomi) yang digunakan oleh masing-masing negara atau lembaga keagamaan. Pastikan untuk mengetahui kapan tanggal 9 (Tasu'a) dan 10 (Asyura) Muharram jatuh di lokasi Anda, agar tidak salah dalam menentukan hari puasa yang dianjurkan.
Di Indonesia, Kementerian Agama biasanya mengeluarkan pengumuman resmi tentang awal bulan Hijriyah, yang dapat menjadi rujukan utama bagi umat Muslim. Mengikuti pengumuman resmi ini adalah cara terbaik untuk menghindari kebingungan dan memastikan kita berpuasa pada hari yang benar.
2. Memperbaharui Niat dan Mempersiapkan Mental: Fondasi Ibadah
Niat adalah fondasi setiap ibadah. Perbaharuilah niat Anda untuk berpuasa Tasu'a dan Asyura ikhlas karena Allah SWT, semata-mata mengharap ridha, pahala, dan ampunan dari-Nya. Selain itu, persiapkan mental untuk menjalankan puasa dengan sabar, penuh kesadaran, dan tanpa keluh kesah. Ingatkan diri bahwa puasa ini adalah kesempatan emas.
Mengingat keutamaan puasa Asyura sebagai penghapus dosa setahun yang lalu, jadikan ini sebagai motivasi kuat untuk bersungguh-sungguh dan tidak menyia-nyiakan momen. Ingatkan hati dan pikiran bahwa puasa ini adalah kesempatan besar untuk membersihkan diri dari kesalahan masa lalu dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Niat yang kuat dan mental yang siap akan mempermudah jalannya ibadah.
3. Menyiapkan Kondisi Fisik: Kebugaran untuk Beribadah
Puasa, meskipun merupakan ibadah spiritual, tetap membutuhkan kondisi fisik yang prima. Pastikan Anda cukup istirahat sebelum Hari Tasu'a dan Asyura tiba. Konsumsi sahur yang bergizi seimbang, mengandung karbohidrat kompleks, protein, serat, dan cairan yang cukup agar tubuh memiliki energi yang stabil untuk berpuasa seharian. Hindari makanan yang terlalu manis, terlalu pedas, atau terlalu asin saat sahur karena dapat memicu rasa haus yang berlebihan.
Jika Anda memiliki masalah kesehatan tertentu, sangat penting untuk berkonsultasi dengan dokter apakah Anda sanggup berpuasa. Islam memberikan keringanan bagi mereka yang sakit, sedang dalam perjalanan (musafir), atau tidak mampu berpuasa, agar tidak membebani diri melebihi batas kemampuan.
4. Merencanakan Amalan Lain: Jadwal Kebaikan
Selain puasa, sangat dianjurkan untuk merencanakan amalan-amalan lain yang akan Anda lakukan di Hari Asyura agar tidak terlewatkan. Buatlah daftar atau jadwal sederhana:
- Dzikir dan Doa: Siapkan daftar doa-doa yang ingin dipanjatkan, baik doa yang diajarkan Nabi SAW maupun doa-doa pribadi Anda yang tulus. Tentukan waktu-waktu khusus untuk berdzikir, seperti setelah shalat, saat menunggu berbuka, atau di sepertiga malam terakhir.
- Membaca Al-Qur'an: Tentukan target berapa juz atau surat yang ingin dibaca selama dua hari tersebut. Mungkin membaca surat Al-Kahfi, Yasin, atau surat-surat pendek lainnya dengan perenungan.
- Sedekah: Siapkan infaq atau sedekah yang akan disalurkan. Anda bisa memilih lembaga amil terpercaya atau menyalurkan langsung kepada fakir miskin dan yang membutuhkan di sekitar Anda.
- Silaturahmi: Rencanakan untuk menghubungi kerabat, teman, atau mengunjungi orang tua (jika memungkinkan) untuk mempererat tali persaudaraan.
- Berbuat Baik kepada Keluarga: Pertimbangkan untuk meluaskan nafkah atau memberikan sedikit kebahagiaan tambahan kepada keluarga, seperti memasak hidangan istimewa saat berbuka atau memberikan perhatian ekstra.
- Mempelajari Ilmu Agama: Manfaatkan waktu luang untuk membaca buku-buku agama, mendengarkan ceramah, atau mengikuti kajian online tentang Asyura atau topik Islam lainnya.
5. Menjauhi Hal-hal yang Tidak Bermanfaat: Fokus pada Ibadah
Agar ibadah puasa dan amalan lainnya lebih fokus, khusyuk, dan berkualitas, usahakan untuk menjauhi hal-hal yang kurang bermanfaat atau membuang waktu, seperti terlalu banyak bermain media sosial, menonton hiburan yang tidak mendidik, atau terlibat dalam perdebatan dan ghibah. Gunakan waktu luang untuk mengingat Allah, membaca Al-Qur'an, mendengarkan ceramah agama, atau melakukan kegiatan positif lainnya yang mendukung peningkatan spiritual.
6. Menyebarkan Informasi Kebaikan dengan Hikmah
Berbagi informasi tentang keutamaan Hari Asyura dan anjuran puasanya kepada keluarga, teman, atau kolega adalah bentuk dakwah dan ajakan kepada kebaikan. Ingatlah hadits Nabi SAW:
"Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang melaksanakannya." (HR. Muslim)
Namun, pastikan informasi yang disebarkan adalah valid dan berdasarkan dalil yang shahih, agar tidak menyebarkan kesalahpahaman atau bid'ah yang dapat merugikan orang lain. Sampaikan dengan cara yang bijak dan santun.
7. Meminta Maaf dan Memaafkan: Membersihkan Hati
Sebagai bagian dari persiapan spiritual, ada baiknya kita membersihkan hati dari dendam, permusuhan, atau rasa benci. Jika ada kesalahan yang pernah dilakukan kepada orang lain, usahakan untuk meminta maaf dengan tulus. Jika ada orang lain yang berbuat salah kepada kita, berlapang dadalah untuk memaafkan. Hati yang bersih akan memudahkan diterimanya amal ibadah kita di sisi Allah, dan membawa ketenangan jiwa. Memulai Hari Asyura dengan hati yang suci adalah langkah yang sangat dianjurkan.
Dengan persiapan yang matang, baik secara fisik maupun spiritual, diharapkan kita dapat menyambut Hari Asyura dengan semangat yang tinggi, mengisi dengan amalan-amalan terbaik yang dicintai Allah, dan meraih keberkahan serta ampunan yang berlimpah dari Allah SWT. Semoga Allah menerima semua ibadah kita dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa bertakwa dan beramal shalih. Aamiin.
Penutup: Meraih Keberkahan Abadi dari Hari Asyura dan Sepanjang Hayat
Hari Asyura adalah sebuah pilar penting dalam kalender Islam, sebuah hari yang sarat dengan sejarah, keutamaan, dan pelajaran spiritual yang tak ternilai harganya. Dari penjelasan panjang lebar yang telah kita ulas di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Hari Asyura adalah anugerah ilahi yang patut disyukuri dan dimanfaatkan secara optimal oleh setiap Muslim yang mendambakan kedekatan dengan Sang Pencipta dan ampunan dosa.
Kita telah mengarungi jejak sejarahnya yang panjang dan penuh hikmah, mulai dari penyelamatan Nabi Musa AS dari tirani Firaun yang menjadi akar anjuran puasa Asyura, hingga berbagai peristiwa penting lain yang menunjukkan kekuasaan, keadilan, dan kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Keutamaan puasa Tasu'a dan Asyura sebagai penghapus dosa setahun yang lalu adalah motivasi terkuat bagi kita untuk tidak melewatkan kesempatan emas ini, sebuah peluang untuk membersihkan catatan amal dan memulai lembaran baru.
Penting untuk selalu diingat bahwa setiap ibadah yang kita lakukan di Hari Asyura, atau kapan pun, haruslah berlandaskan pada tuntunan syariat Islam yang murni, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang shahih. Puasa Tasu'a dan Asyura adalah amalan utama yang sangat ditekankan dan memiliki dalil yang kuat. Selain itu, memperbanyak doa dan dzikir secara umum, tanpa mengkhususkan doa atau tata cara yang tidak memiliki dasar shahih, adalah jalan terbaik untuk meraih keberkahan. Amalan-amalan kebaikan lain seperti sedekah, menyambung silaturahmi, berbuat baik kepada keluarga dan anak yatim juga sangat dianjurkan, bukan hanya di Hari Asyura, tetapi setiap saat sebagai bagian tak terpisahkan dari akhlak Muslim yang mulia.
Hari Asyura mengajarkan kita banyak hal: tentang kekuatan iman dan tawakkal kepada Allah dalam menghadapi cobaan, tentang pentingnya bersyukur atas nikmat dan pertolongan ilahi, tentang kesempatan yang diberikan Allah untuk membersihkan diri dari dosa dan memulai lembaran baru, serta tentang urgensi menjaga identitas keislaman dari penyerupaan dengan kaum lain. Ini adalah hari untuk merefleksikan diri secara mendalam, memperbarui niat, dan meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Allah (habluminallah) dan sesama manusia (habluminannas) sebagai dua pilar utama agama kita.
Marilah kita manfaatkan setiap Hari Asyura yang Allah berikan kepada kita dengan sebaik-baiknya, dengan niat yang tulus, amal yang ikhlas, dan pemahaman yang benar sesuai syariat. Dengan demikian, semoga kita semua termasuk hamba-hamba-Nya yang mendapatkan ampunan, rahmat, dan keberkahan yang berlimpah di dunia ini hingga di akhirat kelak. Jadikan Hari Asyura sebagai titik tolak untuk menjadi pribadi Muslim yang lebih baik, senantiasa bertaqwa, dan menebarkan kebaikan di mana pun kita berada, sepanjang hidup kita.
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam setiap langkah kehidupan, menerima amal ibadah kita, dan mengampuni segala dosa dan kekhilafan kita. Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan untuk istiqamah di jalan-Nya. Aamiin ya Rabbal 'alamin.