Puasa Asyura adalah salah satu ibadah sunnah yang memiliki keutamaan luar biasa dalam Islam. Dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram dalam kalender Hijriah, puasa ini telah menjadi tradisi yang dijaga oleh umat Muslim selama berabad-abad, jauh sebelum kewajiban puasa Ramadhan ditetapkan. Keistimewaan hari Asyura dan puasa di dalamnya tidak hanya terletak pada pahala yang berlimpah, tetapi juga pada sejarah panjang yang menyertainya, yang mengukir banyak peristiwa penting dalam peradaban manusia dan perjalanan para nabi.
Artikel ini akan mengupas tuntas segala hal mengenai Puasa Asyura, mulai dari sejarah, dalil-dalil syar'i, keutamaan, tata cara pelaksanaan, hingga niat dan doa yang relevan. Kami akan menyelami makna mendalam di balik ibadah ini, mengapa ia begitu dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ, dan bagaimana kita dapat memaksimalkan setiap detiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pemahaman yang komprehensif diharapkan dapat meningkatkan semangat dan kesadaran kita dalam menghidupkan salah satu sunnah Rasulullah yang sangat ditekankan ini.
Sejarah dan Asal-usul Puasa Asyura
Memahami sejarah Puasa Asyura adalah kunci untuk menghargai kedudukannya yang mulia dalam syariat Islam. Kisah di balik penetapan puasa ini tidak hanya terkait dengan ajaran Nabi Muhammad ﷺ, tetapi juga merentang jauh ke masa para nabi terdahulu, menunjukkan kesinambungan risalah ilahi dalam mengajarkan umat manusia untuk bersyukur dan tunduk kepada kehendak Allah SWT.
Peristiwa Nabi Musa dan Fir'aun
Pilar utama di balik anjuran Puasa Asyura adalah peristiwa besar yang dialami oleh Nabi Musa عليه السلام dan kaumnya, Bani Israil, ketika mereka diselamatkan dari kekejaman Fir'aun dan bala tentaranya. Kisah ini diceritakan dalam banyak ayat Al-Qur'an dan menjadi salah satu mukjizat terbesar yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT atas segala sesuatu. Fir'aun, seorang penguasa Mesir yang zalim, telah menindas Bani Israil selama bertahun-tahun, memperbudak mereka dan membunuh bayi-bayi laki-laki mereka.
Pada hari Asyura, Allah SWT memerintahkan Nabi Musa untuk membawa Bani Israil keluar dari Mesir. Fir'aun yang murka segera mengejar mereka dengan pasukan yang besar dan kuat. Bani Israil terperangkap di antara Fir'aun dan Laut Merah, dalam situasi yang tampak tanpa harapan. Namun, Allah SWT dengan rahmat-Nya yang tak terbatas, memerintahkan Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya ke laut. Seketika itu pula, laut terbelah menjadi dua belas jalur, memungkinkan Bani Israil menyeberang dengan selamat. Ketika Fir'aun dan pasukannya mencoba mengikuti, laut kembali menyatu dan menenggelamkan mereka semua, memusnahkan kesombongan dan kezaliman mereka.
Sebagai bentuk rasa syukur yang mendalam atas penyelamatan yang agung ini, Nabi Musa dan kaumnya berpuasa pada hari Asyura. Praktik puasa ini kemudian diteruskan dan diwarisi dari generasi ke generasi di kalangan Bani Israil. Ketika Nabi Muhammad ﷺ tiba di Madinah setelah hijrah, beliau mendapati orang-orang Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya kepada mereka tentang alasan puasa tersebut. Mereka menjawab, "Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari Fir'aun. Maka kami berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah." Mendengar hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda, "Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian," lalu beliau pun berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa pula.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Rasulullah ﷺ datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya: 'Puasa apa ini?' Mereka menjawab: 'Ini adalah hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa padanya.' Nabi ﷺ bersabda: 'Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.' Maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan (para sahabat) untuk berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini secara jelas menunjukkan akar sejarah puasa Asyura yang berkaitan erat dengan peristiwa heroik Nabi Musa dan menjadi simbol rasa syukur universal kepada Allah atas kemenangan kebenaran dan keadilan.
Sebelum Kedatangan Nabi Muhammad ﷺ
Menariknya, sebelum kedatangan Nabi Muhammad ﷺ dan bahkan sebelum beliau berhijrah ke Madinah, puasa Asyura sudah dikenal dan dipraktikkan oleh sebagian masyarakat Arab Quraisy di Mekah. Mereka berpuasa pada hari ini sebagai bagian dari tradisi mereka, meskipun mungkin dengan alasan yang berbeda atau tidak sejelas kaum Yahudi yang mengaitkannya dengan Nabi Musa. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa puasa ini pada awalnya adalah bagian dari ajaran Nabi Ibrahim عليه السلام yang masih dipertahankan secara sporadis di kalangan masyarakat jahiliah.
Aisyah radhiyallahu 'anha menceritakan: "Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari Asyura pada masa Jahiliah, kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk berpuasa padanya sampai diwajibkannya puasa Ramadhan. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: 'Barangsiapa yang mau berpuasa padanya, maka berpuasalah. Dan barangsiapa yang mau meninggalkannya, maka tinggalkanlah.'" (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menunjukkan bahwa puasa Asyura memiliki sejarah yang panjang dan terinstitusi bahkan sebelum Islam datang dalam bentuknya yang final, kemudian diakui dan ditegaskan kembali oleh Rasulullah ﷺ sebagai sunnah yang sangat dianjurkan.
Transformasi Setelah Kewajiban Puasa Ramadhan
Pada awalnya, puasa Asyura adalah puasa yang wajib bagi umat Muslim, atau setidaknya sangat ditekankan sampai pada level kewajiban, sebelum datangnya perintah puasa Ramadhan. Namun, setelah turunnya ayat-ayat Al-Qur'an yang mewajibkan puasa di bulan Ramadhan (QS. Al-Baqarah: 183-185), status puasa Asyura berubah dari wajib menjadi sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Rasulullah ﷺ memberikan pilihan kepada umatnya untuk berpuasa atau tidak, namun tetap menekankan keutamaan dan pahalanya.
Perubahan status ini menunjukkan fleksibilitas dan kebijaksanaan syariat Islam. Kewajiban yang lebih berat (Ramadhan) menggantikan kewajiban yang lebih ringan (Asyura), sementara puasa Asyura tetap dipertahankan sebagai ibadah sunnah yang sangat besar ganjarannya, mendorong umat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT di luar ibadah wajib.
Keutamaan dan Manfaat Puasa Asyura
Puasa Asyura bukan sekadar rutinitas ibadah, melainkan sebuah kesempatan emas untuk meraih pahala yang besar dan keberkahan yang melimpah dari Allah SWT. Rasulullah ﷺ sendiri sangat menekankan keutamaan puasa ini, menjadikannya salah satu ibadah sunnah yang paling dianjurkan setelah puasa Ramadhan. Ada beberapa aspek keutamaan yang patut kita pahami secara mendalam.
Penghapus Dosa Setahun yang Lalu
Keutamaan yang paling dikenal dan sering disebut-sebut mengenai Puasa Asyura adalah kemampuannya untuk menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu. Ini adalah hadiah yang sangat besar dari Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Dosa-dosa yang dimaksud di sini adalah dosa-dosa kecil, karena dosa besar memerlukan taubat nasuha (taubat yang sungguh-sungguh) dan pengembalian hak kepada pihak yang dizalimi.
Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah ﷺ ditanya tentang puasa hari Asyura, maka beliau menjawab: 'Ia menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.'" (HR. Muslim)
Hadis ini memberikan motivasi yang luar biasa bagi setiap Muslim untuk tidak melewatkan kesempatan berharga ini. Bayangkan, dengan hanya berpuasa satu hari, seorang hamba bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kecil yang mungkin telah diperbuat selama satu tahun penuh. Ini adalah manifestasi dari luasnya rahmat dan ampunan Allah SWT kepada umat-Nya yang berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Ampunan ini adalah dorongan untuk terus berbenah diri dan menjauhi dosa di masa mendatang.
Konsep penghapusan dosa ini bukan berarti kita bisa berbuat dosa sesuka hati lalu mengandalkan puasa Asyura. Sebaliknya, ia harus dipahami sebagai anugerah Ilahi yang diberikan kepada mereka yang sudah berusaha menjaga diri dan bertaubat, sebagai pelengkap ampunan atas kesalahan-kesalahan yang luput dari perhatian atau yang tidak disengaja. Ini adalah bentuk motivasi spiritual untuk selalu beristiqamah dalam kebaikan dan taat kepada perintah Allah.
Puasa Terbaik Setelah Ramadhan
Selain penghapusan dosa, Puasa Asyura juga memiliki kedudukan istimewa sebagai puasa sunnah terbaik setelah puasa wajib Ramadhan. Ini menunjukkan betapa tinggi derajat puasa Asyura di mata Rasulullah ﷺ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah ﷺ bersabda: "Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam." (HR. Muslim)
Hadis ini secara eksplisit menyebutkan bahwa bulan Muharram secara keseluruhan adalah bulan yang sangat mulia untuk berpuasa, dan Puasa Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram adalah puncak dari keutamaan puasa di bulan tersebut. Ini menggarisbawahi bahwa Muharram adalah "Bulan Allah," sebuah penamaan yang menunjukkan kemuliaannya dan kaitan langsungnya dengan keagungan Allah SWT.
Penekanan ini juga memberikan pelajaran bahwa seorang Muslim tidak hanya terfokus pada ibadah wajib, tetapi juga senantiasa mencari peluang untuk meningkatkan ketakwaan melalui ibadah-ibadah sunnah. Puasa Asyura adalah salah satu jalan paling efektif untuk mencapai tujuan tersebut, memperkuat ikatan spiritual dengan Sang Pencipta, dan mengisi waktu dengan amalan yang penuh berkah.
Meneladani Para Nabi dan Rasa Syukur
Berpuasa Asyura juga merupakan bentuk peneladanan terhadap para nabi Allah, khususnya Nabi Musa عليه السلام, yang berpuasa sebagai ungkapan syukur atas penyelamatan dari Fir'aun. Dengan berpuasa, kita tidak hanya mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ, tetapi juga turut serta dalam tradisi kesyukuran yang telah berlangsung sejak masa lampau.
Rasa syukur adalah inti dari setiap ibadah. Puasa Asyura mengingatkan kita akan nikmat-nikmat Allah yang tak terhingga, terutama nikmat keselamatan dan kebebasan dari kezaliman. Ini adalah kesempatan untuk merenungkan bahwa Allah senantiasa melindungi hamba-hamba-Nya yang beriman dan memberikan kemenangan kepada kebenaran, meskipun dalam keadaan yang paling sulit sekalipun. Dengan meneladani syukur Nabi Musa, kita juga menginternalisasi nilai-nilai kesabaran, keteguhan iman, dan kepercayaan penuh kepada pertolongan Allah.
Dengan demikian, puasa Asyura bukan hanya tentang mendapatkan pahala, tetapi juga tentang membentuk karakter Muslim yang bersyukur, sabar, dan senantiasa meneladani jejak para nabi dalam setiap aspek kehidupan.
Hukum, Waktu, dan Tata Cara Puasa Asyura
Untuk melaksanakan Puasa Asyura dengan benar dan mendapatkan keutamaan penuh, penting bagi kita untuk memahami hukum, waktu pelaksanaan, serta tata cara yang dianjurkan dalam Islam. Aspek-aspek ini telah dijelaskan dengan gamblang dalam sunnah Rasulullah ﷺ dan kajian para ulama.
Hukum Puasa Asyura: Sunnah Muakkadah
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, hukum Puasa Asyura saat ini adalah sunnah muakkadah, yakni sunnah yang sangat ditekankan dan dianjurkan. Artinya, bagi yang melaksanakannya akan mendapatkan pahala yang besar, dan bagi yang tidak melaksanakannya tidak berdosa. Namun, mengingat besarnya keutamaan yang terkandung di dalamnya, sangat disayangkan jika seorang Muslim melewatkannya tanpa alasan yang syar'i.
Perlu diingat bahwa pada masa awal Islam, Puasa Asyura pernah diwajibkan, atau setidaknya diperlakukan seperti kewajiban, sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan. Setelah kewajiban puasa Ramadhan ditetapkan, Nabi Muhammad ﷺ memberikan keleluasaan. Beliau bersabda: "Barangsiapa yang mau berpuasa padanya, maka berpuasalah. Dan barangsiapa yang mau meninggalkannya, maka tinggalkanlah." (HR. Bukhari dan Muslim). Pernyataan ini menegaskan statusnya sebagai sunnah, bukan wajib.
Status sunnah muakkadah ini menunjukkan bahwa Puasa Asyura bukanlah sekadar sunnah biasa, melainkan memiliki bobot dan rekomendasi yang kuat dari Rasulullah ﷺ. Ini adalah ibadah yang sangat dicintai oleh Nabi dan memiliki tempat istimewa dalam hati umat Muslim yang ingin meneladani beliau.
Waktu Pelaksanaan: 9 dan 10 Muharram (Tasu'a dan Asyura)
Puasa Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Namun, Rasulullah ﷺ menganjurkan agar kita juga berpuasa pada hari sebelumnya, yaitu tanggal 9 Muharram, yang dikenal sebagai Puasa Tasu'a. Anjuran ini bertujuan untuk membedakan praktik puasa Muslim dari kebiasaan orang Yahudi yang hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Ketika Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan (para sahabat) untuk berpuasa padanya, mereka berkata: 'Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.' Maka Rasulullah ﷺ bersabda: 'Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu'a).' Namun, Rasulullah ﷺ wafat sebelum tahun depan itu tiba." (HR. Muslim)
Berdasarkan hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa puasa yang paling sempurna adalah berpuasa dua hari, yaitu pada tanggal 9 (Tasu'a) dan 10 (Asyura) Muharram. Jika seseorang hanya mampu berpuasa satu hari, maka puasa pada tanggal 10 Muharram (Asyura) saja sudah cukup dan tetap mendapatkan keutamaannya, meskipun puasa dua hari lebih afdal (utama).
Beberapa ulama bahkan menganjurkan untuk berpuasa tiga hari, yaitu 9, 10, dan 11 Muharram. Puasa pada tanggal 11 Muharram ini dimaksudkan untuk lebih memastikan perbedaan dengan Yahudi dan juga sebagai tindakan preventif jika terjadi kesalahan dalam penentuan awal bulan Muharram. Namun, dalil untuk puasa tanggal 11 Muharram tidak sekuat dalil puasa Tasu'a (9 Muharram).
Secara ringkas, ada tiga tingkatan dalam melaksanakan Puasa Asyura, dari yang paling utama hingga minimal:
- Puasa tiga hari: 9, 10, dan 11 Muharram.
- Puasa dua hari: 9 dan 10 Muharram (ini yang paling ditekankan).
- Puasa satu hari: 10 Muharram saja.
Disarankan untuk memilih opsi kedua atau pertama jika memungkinkan, untuk mendapatkan pahala yang lebih sempurna dan mengikuti sunnah Nabi secara maksimal.
Niat Puasa Asyura dan Tasu'a
Sebagaimana ibadah puasa lainnya, niat adalah rukun yang tidak boleh ditinggalkan. Niat puasa Asyura atau Tasu'a harus dilakukan pada malam hari sebelum fajar menyingsing, yaitu sebelum waktu imsak. Niat dalam hati sudah mencukupi, tidak harus dilafazkan. Namun, melafazkan niat dapat membantu menguatkan niat di dalam hati.
Contoh lafaz niat (bisa diucapkan dalam hati atau lisan):
Niat Puasa Tasu'a (9 Muharram):
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ تَاسُوعَاءَ لِلّٰهِ تَعَالَى
"Nawaitu shauma ghadin 'an adâ'i sunnati Tâsû'â' lillâhi ta'âlâ."
Artinya: "Aku berniat puasa sunnah Tasu'a esok hari karena Allah ta'ala."
Niat Puasa Asyura (10 Muharram):
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ عَاشُورَاءَ لِلّٰهِ تَعَالَى
"Nawaitu shauma ghadin 'an adâ'i sunnati 'Âsyûrâ' lillâhi ta'âlâ."
Artinya: "Aku berniat puasa sunnah Asyura esok hari karena Allah ta'ala."
Jika seseorang lupa berniat di malam hari untuk puasa sunnah, ia masih boleh berniat pada pagi harinya (sebelum tergelincir matahari/sebelum dzuhur) dengan syarat belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak fajar. Namun, akan lebih baik dan lebih afdal jika niat sudah dilakukan pada malam hari.
Hal-hal yang Dianjurkan Selama Puasa
Selain menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa dari fajar hingga terbenam matahari, ada beberapa amalan yang dianjurkan untuk dilakukan selama hari-hari puasa Tasu'a dan Asyura untuk mendapatkan pahala yang lebih sempurna:
- Memperbanyak Dzikir dan Membaca Al-Qur'an: Mengisi waktu puasa dengan mengingat Allah, membaca tasbih, tahmid, tahlil, takbir, serta melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an akan menambah keberkahan hari tersebut.
- Memperbanyak Doa: Hari-hari puasa adalah waktu-waktu mustajab untuk berdoa. Manfaatkan momen ini untuk memohon ampunan, hidayah, rezeki, dan segala kebaikan dunia akhirat. Tidak ada doa khusus untuk Asyura selain doa-doa umum kebaikan.
- Menjaga Lisan dan Perbuatan: Hindari ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), berkata dusta, dan segala bentuk maksiat. Jaga perilaku agar tidak mengurangi pahala puasa.
- Bersedekah: Mengeluarkan sedekah pada hari Asyura juga memiliki keutamaan tersendiri, meskipun dalilnya tidak sekuat puasa itu sendiri. Namun, bersedekah selalu dianjurkan dalam Islam.
- Berusaha Mandiri dan Produktif: Puasa tidak berarti bermalas-malasan. Tetaplah beraktivitas dan produktif dalam pekerjaan atau belajar, asalkan tidak menimbulkan mudarat bagi diri sendiri.
- Berbuka dengan yang Manis dan Segar: Saat berbuka puasa, dianjurkan untuk menyegerakan dan mengonsumsi makanan serta minuman yang manis dan menyegarkan, sebagaimana sunnah Rasulullah ﷺ.
Doa-doa Terkait Puasa Asyura (Niat, Berbuka, Umum)
Sebagaimana telah dijelaskan, tidak ada doa khusus yang ma'tsur (diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ secara spesifik) untuk dibaca pada hari Asyura saat berpuasa. Namun, doa secara umum, niat puasa, dan doa berbuka puasa adalah bagian integral dari ibadah puasa yang perlu kita ketahui dan amalkan. Mengingat hari Asyura adalah hari yang mulia, memperbanyak doa dan dzikir sangat dianjurkan.
Niat Puasa (Tasu'a dan Asyura)
Niat adalah fondasi dari setiap ibadah. Tanpa niat, suatu amalan tidak akan sah di sisi Allah. Niat puasa sunnah, termasuk Tasu'a dan Asyura, boleh dilakukan sejak malam hari hingga sebelum tergelincir matahari (sebelum waktu dzuhur), asalkan belum makan atau minum atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak fajar.
Niat Puasa Tasu'a (9 Muharram)
Niat ini diucapkan di malam hari atau di pagi hari sebelum waktu dzuhur pada tanggal 9 Muharram.
اللّٰهُمَّ نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ تَاسُوعَاءَ لِلّٰهِ تَعَالَى
"Nawaitu shauma ghadin 'an adâ'i sunnati Tâsû'â' lillâhi ta'âlâ."
Artinya: "Aku berniat puasa sunnah Tasu'a esok hari karena Allah ta'ala."
Penting untuk memahami bahwa lafaz ini adalah anjuran untuk membantu menguatkan niat di hati. Niat yang sesungguhnya adalah kehendak dalam hati untuk berpuasa, bukan semata-mata ucapan lisan.
Niat Puasa Asyura (10 Muharram)
Niat ini diucapkan di malam hari atau di pagi hari sebelum waktu dzuhur pada tanggal 10 Muharram.
اللّٰهُمَّ نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ عَاشُورَاءَ لِلّٰهِ تَعَالَى
"Nawaitu shauma ghadin 'an adâ'i sunnati 'Âsyûrâ' lillâhi ta'âlâ."
Artinya: "Aku berniat puasa sunnah Asyura esok hari karena Allah ta'ala."
Jika seseorang lupa berniat di malam hari, dan ia bangun di pagi hari dalam keadaan belum makan/minum, maka ia boleh berniat puasa sunnah pada hari itu. Hal ini dikarenakan sifat puasa sunnah yang lebih longgar dibandingkan puasa wajib.
Doa Berbuka Puasa
Momen berbuka puasa adalah salah satu waktu yang paling mustajab untuk berdoa. Rasulullah ﷺ memiliki doa khusus yang beliau baca ketika berbuka puasa.
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللّٰهُ
"Dzahabazh zhama'u wabtallatil 'uruqu wa tsabatal ajru insyâ Allah."
Artinya: "Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah." (HR. Abu Daud)
Doa ini melambangkan rasa syukur atas nikmat berbuka dan harapan akan diterimanya pahala puasa. Selain itu, doa berbuka puasa yang umum juga bisa diamalkan:
اللّٰهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ
"Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa 'ala rizqika afthartu. Birahmatika yaa arhamar rahimin."
Artinya: "Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
Kedua doa ini bisa dibaca, atau memilih salah satu. Yang terpenting adalah hati yang hadir saat berdoa, merenungi makna di balik setiap lafaz, dan mengungkapkan rasa syukur yang tulus kepada Allah SWT.
Doa-doa Umum yang Dianjurkan pada Hari Asyura
Meskipun tidak ada doa khusus Asyura yang ma'tsur, hari Asyura adalah hari yang mulia, sehingga sangat dianjurkan untuk memperbanyak segala bentuk doa dan dzikir. Ini adalah kesempatan untuk memanjatkan segala hajat dan permohonan kepada Allah SWT.
1. Doa Memohon Ampunan Dosa
Mengingat keutamaan Asyura sebagai penghapus dosa setahun, memperbanyak istighfar (memohon ampunan) sangatlah tepat.
اللّٰهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni."
Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai maaf, maka maafkanlah aku." (Doa ini sangat ditekankan pada malam Lailatul Qadar, namun relevan untuk setiap momen memohon ampunan).
Atau membaca sayyidul istighfar:
اللّٰهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوءُ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
"Allahumma anta rabbi la ilaha illa anta, khalaqtani wa ana 'abduka, wa ana 'ala 'ahdika wa wa'dika mastatha'tu. A'udzu bika min syarri ma shana'tu, abu'u laka bi ni'matika 'alayya, wa abu'u bi dzanbi faghfirli fa innahu la yaghfirudz dzunuba illa anta."
Artinya: "Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau, Engkaulah yang menciptakan aku. Aku adalah hamba-Mu, dan aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang aku perbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau." (HR. Bukhari)
2. Doa Memohon Kebaikan Dunia dan Akhirat
Setiap Muslim senantiasa dianjurkan untuk memohon kebaikan di dunia dan akhirat.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"Rabbana atina fid dunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qina 'adzaban naar."
Artinya: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Al-Baqarah: 201)
3. Doa untuk Keistiqamahan dan Hidayah
Agar senantiasa berada di jalan yang lurus dan mendapatkan taufik dari Allah.
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
"Ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi 'ala dinika."
Artinya: "Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu." (HR. Tirmidzi)
4. Dzikir dan Shalawat
Memperbanyak dzikir seperti tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), tahlil (La ilaha illallah), dan takbir (Allahu Akbar) serta bershalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ juga merupakan amalan yang sangat dianjurkan pada hari-hari yang mulia seperti Asyura.
اللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
"Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad."
Artinya: "Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad."
Dengan demikian, meskipun tidak ada 'doa khusus Asyura' yang baku, seorang Muslim didorong untuk memperbanyak doa-doa yang bersifat umum, memohon ampunan, kebaikan, dan keberkahan, serta bersyukur kepada Allah SWT. Inti dari doa adalah komunikasi tulus seorang hamba dengan Tuhannya, memanjatkan harapan dan permohonan dari lubuk hati yang paling dalam.
Hikmah dan Pelajaran dari Puasa Asyura
Lebih dari sekadar ibadah ritual, Puasa Asyura menyimpan hikmah dan pelajaran mendalam yang relevan untuk kehidupan seorang Muslim. Merenungi makna di balik sunnah ini akan memperkaya spiritualitas kita dan memperkuat pondasi keimanan.
1. Pentingnya Rasa Syukur
Puasa Asyura adalah perayaan syukur. Nabi Musa عليه السلام dan Bani Israil berpuasa sebagai ungkapan syukur atas penyelamatan mereka dari Fir'aun yang zalim. Demikian pula, Nabi Muhammad ﷺ meneruskan tradisi ini sebagai bentuk syukur kepada Allah atas kemenangan kebenaran dan keadilan.
Ini mengajarkan kita bahwa syukur bukan hanya dengan lisan ("Alhamdulillah"), tetapi juga dengan perbuatan. Berpuasa, dalam konteks ini, adalah bentuk syukur yang paling agung, menunjukkan ketaatan dan pengakuan akan nikmat Allah. Dalam hidup, kita harus senantiasa bersyukur atas segala karunia, baik besar maupun kecil. Ketika kita merasakan nikmat yang besar, seperti lepas dari kesulitan atau meraih kesuksesan, seyogyanya kita mengekspresikannya melalui ibadah dan ketaatan kepada Allah, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa dan Nabi Muhammad ﷺ.
Pelajaran ini sangat relevan di era modern, di mana banyak orang cenderung fokus pada apa yang kurang daripada apa yang telah dimiliki. Asyura mengingatkan kita untuk jeda sejenak, merenung, dan bersyukur atas segala kemudahan, perlindungan, dan rezeki yang Allah berikan.
2. Kontinuitas Risalah Kenabian
Fakta bahwa Rasulullah ﷺ mengadopsi dan melanjutkan puasa yang sudah ada sejak zaman Nabi Musa menunjukkan adanya kesinambungan dalam risalah kenabian. Meskipun syariat Islam membawa penyempurnaan, ia tetap mengakui dan menghormati ajaran-ajaran tauhid yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Ini mengajarkan kita tentang universalitas pesan Islam yang berakar pada penyembahan satu Tuhan.
Ini juga menegaskan bahwa Islam adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari agama-agama samawi terdahulu, bukan agama yang sama sekali baru. Para nabi, dari Adam hingga Muhammad, semuanya menyeru pada esensi yang sama: tauhid (mengesakan Allah) dan ketaatan kepada-Nya. Memahami kontinuitas ini memperkuat pemahaman kita tentang kebenaran Islam dan kedudukannya sebagai agama yang sempurna.
3. Pentingnya Pembedaan Diri (Takhalluf)
Anjuran untuk berpuasa Tasu'a (9 Muharram) bersama Asyura (10 Muharram) adalah pelajaran penting tentang identitas Muslim. Rasulullah ﷺ memerintahkan hal ini untuk membedakan diri dari orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ke-10. Ini bukan sekadar pembedaan ritual, tetapi juga mengandung makna menjaga keunikan dan kemurnian ajaran Islam dari pengaruh luar.
Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip takhalluf ini berarti seorang Muslim harus memiliki identitas yang jelas, tidak mudah terlarut dalam kebiasaan atau budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dan senantiasa berusaha menonjolkan akhlak serta perilaku yang sesuai dengan syariat. Ini adalah pengingat bahwa kita memiliki jalan hidup yang unik, yang berdasarkan wahyu ilahi, dan kita harus bangga dengan identitas tersebut.
4. Motivasi untuk Berlomba dalam Kebaikan
Janji penghapusan dosa setahun yang lalu adalah motivasi yang kuat untuk berlomba dalam melakukan kebaikan. Ini adalah insentif spiritual yang mendorong umat Muslim untuk tidak hanya menjalankan ibadah wajib, tetapi juga giat dalam ibadah sunnah.
Pelajaran ini mengajarkan kita untuk selalu mencari peluang kebaikan, tidak pernah puas dengan amalan yang ada, dan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas serta kuantitas ibadah kita. Setiap hari adalah kesempatan untuk berbuat baik, dan puasa Asyura adalah salah satu "bonus" kebaikan yang Allah tawarkan kepada hamba-Nya yang bersemangat.
5. Penguatan Disiplin Diri dan Kesabaran
Puasa, baik wajib maupun sunnah, melatih disiplin diri dan kesabaran. Menahan diri dari makan, minum, dan hawa nafsu dari fajar hingga senja mengajarkan kita untuk mengendalikan keinginan dan memprioritaskan ketaatan kepada Allah. Latihan ini sangat berharga dalam membentuk karakter yang kuat dan tahan uji.
Kesabaran adalah separuh dari iman. Melalui puasa Asyura, kita melatih kesabaran dalam menghadapi rasa lapar dan haus, kesabaran dalam menjauhi maksiat, dan kesabaran dalam menunggu pahala dari Allah. Disiplin yang terbentuk dari puasa ini dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, membantu kita menjadi individu yang lebih bertanggung jawab dan terkontrol.
6. Pentingnya Muhasabah (Introspeksi Diri)
Jika puasa Asyura dapat menghapus dosa setahun yang lalu, maka momen ini adalah waktu yang tepat untuk muhasabah diri. Merenungkan kesalahan dan kekurangan yang telah kita lakukan selama setahun terakhir, bertaubat dengan sungguh-sungguh, dan bertekad untuk menjadi lebih baik di masa mendatang.
Muhasabah adalah praktik fundamental dalam Islam. Dengan evaluasi diri yang jujur, kita dapat mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki, memperkuat iman, dan menyusun rencana untuk tumbuh secara spiritual. Puasa Asyura menyediakan titik awal yang segar untuk memulai babak baru dalam perjalanan spiritual kita, dengan lembaran yang lebih bersih dari dosa-dosa kecil.
7. Mengingat Pertolongan Allah
Kisah Nabi Musa dan Fir'aun yang menjadi dasar puasa Asyura adalah pengingat akan pertolongan Allah yang selalu datang tepat pada waktunya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertawakal. Ketika segala pintu harapan tertutup, Allah membuka jalan yang tidak disangka-sangka. Ini menanamkan optimisme dan kepercayaan penuh kepada kekuasaan Allah.
Dalam menghadapi kesulitan hidup, kisah ini memberikan inspirasi dan kekuatan. Tidak peduli seberapa besar masalah yang kita hadapi, pertolongan Allah selalu lebih besar. Hikmah ini mengajarkan kita untuk tidak pernah putus asa dari rahmat Allah, senantiasa berdoa, dan bertawakal sepenuhnya kepada-Nya.
Kekeliruan dan Mitos Seputar Asyura
Meskipun Puasa Asyura adalah ibadah sunnah yang mulia dengan dalil yang kuat, seiring berjalannya waktu, muncul beberapa kekeliruan dan mitos di kalangan masyarakat yang perlu diluruskan agar ibadah kita tidak bercampur dengan bid'ah atau praktik yang tidak sesuai sunnah.
1. Mengaitkan Asyura dengan Kematian Husain bin Ali
Salah satu kekeliruan paling umum adalah mengaitkan Asyura, tanggal 10 Muharram, secara eksklusif dengan wafatnya cucu Rasulullah ﷺ, Husain bin Ali radhiyallahu 'anhu, dalam Tragedi Karbala. Memang, peristiwa tragis tersebut terjadi pada 10 Muharram, dan ini adalah peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh umat Islam.
Namun, perlu ditegaskan bahwa anjuran Puasa Asyura sudah ada jauh sebelum Tragedi Karbala, bahkan sejak zaman Nabi Musa عليه السلام. Rasulullah ﷺ sendiri sudah berpuasa dan menganjurkan puasa Asyura. Oleh karena itu, Puasa Asyura dilakukan bukan dalam rangka memperingati atau berkabung atas wafatnya Husain bin Ali, melainkan dalam rangka meneladani Rasulullah ﷺ dan bersyukur atas pertolongan Allah kepada Nabi Musa.
Mengkhususkan hari Asyura untuk berduka cita secara berlebihan, melakukan ritual-ritual berkabung yang tidak diajarkan Islam (seperti memukul diri, meratap, atau ziarah kubur khusus yang disertai ritual bid'ah), atau menjadikan puasa ini sebagai bentuk duka cita adalah penyimpangan dari ajaran Rasulullah ﷺ. Duka cita atas musibah adalah fitrah manusia, tetapi Islam mengajarkan kesabaran dan tidak menyukai ratapan yang berlebihan atau perbuatan yang melanggar syariat.
2. Keyakinan Doa Khusus Asyura yang Tidak Ada Dalilnya
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, tidak ada doa khusus yang ma'tsur dari Rasulullah ﷺ yang dikhususkan untuk dibaca pada hari Asyura. Beberapa masyarakat terkadang mengamalkan doa-doa panjang yang tidak memiliki sandaran dari Al-Qur'an maupun Hadis sahih, dengan keyakinan bahwa doa tersebut memiliki keutamaan khusus pada hari Asyura.
Praktik seperti ini harus dihindari. Seorang Muslim dianjurkan untuk memperbanyak doa secara umum, memohon apa saja kebaikan dunia dan akhirat, beristighfar, dan bershalawat kepada Nabi. Namun, mengkhususkan bacaan doa tertentu yang tidak diajarkan oleh Nabi dengan keyakinan memiliki keutamaan khusus pada hari Asyura bisa termasuk dalam kategori bid'ah (inovasi dalam agama).
Fokuslah pada amalan yang jelas disunnahkan: puasa, memperbanyak dzikir, membaca Al-Qur'an, dan berdoa dengan doa-doa yang ma'tsur secara umum.
3. Tradisi Makanan atau Hidangan Khusus Asyura
Di beberapa daerah, terdapat tradisi membuat bubur Asyura atau hidangan khusus lainnya pada hari 10 Muharram, dengan keyakinan bahwa itu adalah bagian dari ibadah Asyura atau memiliki keutamaan khusus. Meskipun berbagi makanan dan bersedekah adalah perbuatan mulia dalam Islam, mengkhususkan hidangan tertentu pada hari Asyura dengan keyakinan syar'i bahwa itu adalah sunnah atau memiliki pahala khusus adalah kekeliruan.
Jika tradisi itu hanya sebatas kebiasaan budaya yang baik (misalnya, bersedekah atau berkumpul bersama keluarga), tanpa mengaitkannya dengan hukum syar'i khusus Asyura, maka tidak masalah. Namun, jika ada keyakinan bahwa itu adalah bagian dari syariat Islam atau wajib dilakukan, maka ini menjadi bid'ah. Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak pernah mengajarkan adanya makanan khusus pada hari Asyura.
4. Keyakinan tentang Keharusan Mandi, Memakai Celak, atau Memotong Kuku
Beberapa mitos yang berkembang di sebagian masyarakat adalah anjuran atau bahkan keharusan untuk mandi, memakai celak, atau memotong kuku pada hari Asyura, dengan keyakinan dapat mendatangkan keberkahan atau mencegah penyakit. Keyakinan semacam ini tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an maupun sunnah yang sahih. Semua hadis yang menyebutkan keutamaan amalan-amalan ini pada hari Asyura adalah hadis palsu (maudhu') atau sangat lemah (dha'if jiddan).
Para ulama telah sepakat bahwa hadis-hadis tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Amalan kebersihan seperti mandi atau memotong kuku adalah kebiasaan baik yang dianjurkan dalam Islam secara umum, tetapi mengkhususkannya pada hari Asyura dengan keyakinan khusus adalah sesuatu yang tidak benar.
5. Merasa Cukup dengan Berpuasa Tanpa Memperhatikan Aspek Lain
Meskipun puasa Asyura adalah amalan utama pada hari itu, jangan sampai kita merasa cukup hanya dengan berpuasa tanpa memperhatikan aspek-aspek ibadah lainnya. Hari yang mulia ini adalah kesempatan untuk meningkatkan seluruh amal kebaikan: shalat sunnah, membaca Al-Qur'an, dzikir, istighfar, bersedekah, dan menjaga akhlak mulia. Puasa seharusnya menjadi pendorong untuk lebih banyak beribadah, bukan justru mengurangi semangat ibadah lain.
Oleh karena itu, penting untuk memiliki pemahaman yang benar agar ibadah kita diterima oleh Allah SWT dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ. Menjauhi segala bentuk kekeliruan dan bid'ah adalah bentuk ketaatan dan kecintaan kita kepada sunnah Nabi.
Penutup dan Ajakan Beramal
Puasa Asyura adalah sebuah warisan spiritual yang tak ternilai dari Nabi Muhammad ﷺ, yang membawa serta sejarah panjang pengorbanan, syukur, dan pertolongan ilahi. Ia menawarkan kepada kita kesempatan emas untuk membersihkan diri dari dosa-dosa kecil setahun yang lalu dan meningkatkan derajat kita di sisi Allah SWT.
Memahami Puasa Asyura secara menyeluruh, mulai dari latar belakang historisnya yang agung, dalil-dalil syar'inya yang kuat, keutamaannya yang berlimpah, hingga tata cara pelaksanaannya yang benar, akan memperkaya ibadah kita dengan makna dan penghayatan yang lebih dalam. Dengan meneladani Nabi Musa dalam kesyukuran dan Nabi Muhammad dalam ketaatan, kita tidak hanya menjalankan sebuah ritual, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai keimanan yang kokoh.
Mari kita manfaatkan bulan Muharram, khususnya hari Tasu'a dan Asyura, sebagai momentum untuk introspeksi diri (muhasabah), memperbanyak amal shaleh, memperbarui taubat, dan menguatkan ikatan kita dengan Allah SWT. Jadikan puasa ini sebagai jembatan untuk meraih ampunan dan keberkahan, serta sebagai pendorong untuk senantiasa menjadi hamba yang lebih baik di setiap waktu.
Dengan niat yang tulus karena Allah, semoga setiap langkah dan setiap ibadah yang kita lakukan di hari-hari mulia ini dicatat sebagai timbangan kebaikan di akhirat kelak. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita taufik dan hidayah untuk istiqamah dalam menjalankan setiap sunnah Rasulullah ﷺ.
Aamiin ya Rabbal 'alamin.