Di era modern ini, kesadaran akan kesehatan semakin meningkat. Banyak orang berusaha mengurangi asupan gula karena berbagai alasan, mulai dari manajemen berat badan hingga pencegahan penyakit seperti diabetes. Hal ini mendorong popularitas pemanis buatan sebagai alternatif gula. Di antara berbagai jenis pemanis buatan yang beredar di pasaran, aspartam dan sakarin adalah dua nama yang paling sering kita temui. Keduanya menawarkan rasa manis tanpa kalori atau kalori yang sangat rendah, namun memiliki profil dan sejarah yang berbeda.
Aspartam adalah pemanis buatan rendah kalori yang sekitar 200 kali lebih manis dari sukrosa (gula pasir). Ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 1965 oleh James M. Schlatter, seorang kimiawan di G.D. Searle and Company, aspartam terbuat dari dua asam amino: asam aspartat dan fenilalanin. Ketika dicerna, aspartam terurai menjadi senyawa-senyawa ini, serta sejumlah kecil metanol. Karena kandungan fenilalaninnya, aspartam harus dihindari oleh individu dengan kelainan genetik langka yang disebut fenilketonuria (PKU), yang membuat tubuh mereka tidak dapat memetabolisme fenilalanin dengan baik. Namun, bagi mayoritas populasi, aspartam dianggap aman dan telah disetujui oleh badan pengawas makanan di berbagai negara, termasuk Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) dan Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA).
Produk-produk yang sering mengandung aspartam antara lain minuman diet, permen karet bebas gula, yogurt rendah kalori, dan beberapa jenis obat-obatan serta suplemen. Rasa manisnya yang bersih dan tidak meninggalkan residu pahit membuatnya menjadi pilihan populer di industri makanan dan minuman.
Sakarin adalah pemanis buatan tertua yang pertama kali disintesis pada tahun 1879 oleh Constantin Fahlberg di Universitas Johns Hopkins. Sakarin memiliki tingkat kemanisan sekitar 200 hingga 700 kali lebih manis dari gula, tergantung pada konsentrasinya. Tidak seperti aspartam, sakarin tidak terurai menjadi asam amino atau metanol. Sakarin juga tidak mengandung kalori, sehingga cocok untuk diet rendah kalori dan penderita diabetes.
Namun, sejarah sakarin sedikit lebih kontroversial. Pada tahun 1970-an, penelitian pada hewan menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi sakarin dalam dosis sangat tinggi dengan peningkatan risiko kanker kandung kemih pada tikus. Hal ini menyebabkan pelabelan peringatan pada produk yang mengandung sakarin di Amerika Serikat. Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut pada manusia tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa sakarin bersifat karsinogenik bagi manusia. Pada tahun 2000, Sakarin secara resmi dihapus dari daftar zat karsinogenik potensial oleh badan ilmiah di Amerika Serikat. Saat ini, sakarin diizinkan untuk digunakan dalam berbagai produk makanan dan minuman di seluruh dunia, seringkali ditemukan dalam minuman diet, tablet pemanis, dan produk bebas gula lainnya.
Baik aspartam maupun sakarin menawarkan alternatif manis tanpa kalori yang signifikan. Namun, perbedaan utama terletak pada komposisi kimia dan potensi efek samping yang jarang terjadi. Aspartam terurai menjadi asam amino, sehingga perlu dihindari oleh penderita PKU. Sementara itu, sakarin, meskipun sempat dikaitkan dengan risiko kanker pada hewan, kini dianggap aman untuk manusia berdasarkan bukti ilmiah yang ada.
"Penting untuk diingat bahwa semua pemanis buatan telah melalui pengujian keamanan yang ketat sebelum diizinkan beredar. Namun, moderasi adalah kunci dalam konsumsi segala jenis makanan dan minuman, termasuk yang mengandung pemanis buatan."
Beberapa orang mungkin melaporkan sensitivitas terhadap salah satu pemanis ini, seperti sakit kepala atau masalah pencernaan, meskipun ini tidak umum dan seringkali bersifat anekdotal. Studi ilmiah yang komprehensif terus dilakukan untuk memastikan keamanan jangka panjang dari pemanis buatan.
Memilih antara aspartam dan sakarin seringkali bergantung pada preferensi rasa, kebutuhan diet spesifik, dan toleransi individu. Keduanya telah terbukti menjadi alat yang berguna bagi mereka yang ingin mengurangi asupan gula tanpa mengorbankan rasa manis. Namun, seperti halnya produk makanan lainnya, konsumsi yang bijak dan pemahaman tentang komposisi serta potensi dampaknya adalah hal yang paling penting. Selalu perhatikan label kemasan dan, jika ragu, konsultasikan dengan profesional kesehatan atau ahli gizi untuk panduan yang dipersonalisasi.