Dalam catatan sejarah Nusantara, Kerajaan Pajang sering kali tenggelam di bawah bayang-bayang kerajaan-kerajaan besar lainnya seperti Majapahit atau Mataram Islam. Namun, keberadaan Pajang, meskipun singkat, memainkan peran krusial dalam transisi kekuasaan di Jawa bagian tengah dan utara pada abad ke-16. Babad Pajang, sebagai naskah kuno yang merekam sejarah kerajaan ini, menawarkan jendela unik untuk memahami dinamika politik, sosial, dan budaya pada masa itu. Naskah ini bukan sekadar daftar raja dan peristiwa, melainkan narasi yang kaya akan detail, intrik, dan perjuangan mempertahankan legitimasi kekuasaan.
Kerajaan Pajang didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan, seorang bangsawan yang konon memiliki garis keturunan dari Raja Brawijaya V dari Majapahit. Setelah berhasil membunuh Aryo Penangsang, musuh besar Sultan Hadiwijaya (Raden Perkasa), Ki Ageng Pemanahan dianugerahi tanah di daerah Pajang, yang kemudian menjadi pusat kekuasaannya. Keberhasilan ini menjadi fondasi bagi berdirinya sebuah kerajaan baru yang diharapkan dapat mengisi kekosongan kekuasaan setelah keruntuhan Majapahit yang semakin melemah. Pajang mewarisi sebagian tradisi dan struktur birokrasi Majapahit, namun juga beradaptasi dengan kondisi sosial politik yang baru.
Masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya adalah periode emas bagi Kerajaan Pajang. Di bawah kepemimpinannya, Pajang berhasil memperluas pengaruhnya dan membangun hubungan diplomatik dengan berbagai wilayah di sekitarnya. Sultan Hadiwijaya dikenal sebagai raja yang bijaksana dan cakap, mampu menstabilkan keadaan pasca-konflik dengan Aryo Penangsang. Ia juga memegang teguh ajaran Islam, yang semakin mengakar kuat di Jawa pada masa itu. Hubungan Pajang dengan para ulama dan santri menjadi salah satu pilar kekuasaannya.
Namun, seperti kerajaan-kerajaan lainnya di era tersebut, Pajang tidak luput dari intrik perebutan kekuasaan. Setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya, takhta beralih kepada putranya, Pangeran Benawa. Sayangnya, Pangeran Benawa harus berhadapan dengan perlawanan dari sepupunya, Pangeran Prangwedanan, yang didukung oleh kekuatan dari luar. Konflik ini melemahkan Pajang secara signifikan dan membuka celah bagi kerajaan lain untuk bangkit. Naskah babad mencatat dengan detail pertempuran, persekutuan, dan pengkhianatan yang terjadi selama periode ini.
Puncak dari keruntuhan Pajang terjadi ketika Sultan hadiwijaya berhadapan dengan Raden Mas, yang kemudian dikenal sebagai Panembahan Senopati, pendiri Dinasti Mataram Islam. Dalam banyak catatan, Pangeran Benawa akhirnya harus mengakui keunggulan Panembahan Senopati. Beberapa babad bahkan menggambarkan bagaimana Pangeran Benawa kemudian menjadi bawahan atau sekutu setia Panembahan Senopati, menunjukkan pergeseran pusat kekuasaan yang tak terhindarkan. Kerajaan Pajang akhirnya tidak mampu bertahan sebagai entitas politik yang mandiri dan perlahan-lahan terserap ke dalam wilayah kekuasaan Mataram Islam.
Meskipun eksistensinya terbilang singkat, warisan Kerajaan Pajang tidak bisa dianggap remeh. Ia menjadi jembatan penting antara era Majapahit yang memudar dan bangkitnya Mataram Islam yang kelak mendominasi sebagian besar Pulau Jawa. Babad Pajang memberikan bukti bahwa sejarah Jawa tidaklah linear, melainkan merupakan serangkaian perjuangan, adaptasi, dan perubahan dinamis yang membentuk lanskap politik dan budaya hingga kini. Mempelajari babad ini berarti menggali lebih dalam akar peradaban Jawa, memahami kompleksitas kekuasaan, serta menghargai jejak-jejak sejarah yang mungkin terlupakan namun tetap relevan.
Analisis terhadap babad Pajang memungkinkan kita untuk melihat bagaimana identitas kerajaan dibentuk, bagaimana legitimasi kekuasaan dicari dan dipertahankan, serta bagaimana narasi sejarah ditulis oleh para pemenang. Babad ini sering kali ditulis dengan gaya puitis dan simbolis, mencerminkan cara pandang masyarakat Jawa pada masa itu terhadap peristiwa dan tokoh sejarah. Ia adalah rekaman otentik dari gejolak peradaban, persaingan elit, dan pertumbuhan pengaruh Islam di wilayah yang dulunya merupakan jantung kekuasaan Jawa.
Kajian lebih lanjut terhadap naskah-naskah babad Pajang, baik yang asli maupun salinannya, sangat penting untuk merekonstruksi sejarah yang lebih akurat. Para sejarawan seringkali harus membandingkan berbagai versi babad dan mencocokkannya dengan bukti-bukti arkeologis atau catatan sejarah dari luar untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif. Babad Pajang, dengan segala keterbatasannya, tetap menjadi sumber primer yang tak ternilai bagi siapa pun yang ingin memahami periode transisi yang krusial dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa.