Dalam upaya mengurangi asupan gula, banyak dari kita beralih pada pemanis buatan. Di antara berbagai pilihan yang tersedia, aspartam dan sakarin adalah dua nama yang paling sering muncul. Keduanya menawarkan rasa manis tanpa kalori atau kalori yang sangat rendah, menjadikannya alternatif menarik bagi penderita diabetes, individu yang sedang menurunkan berat badan, atau siapa saja yang ingin membatasi konsumsi gula. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah: mana di antara aspartam dan sakarin yang lebih baik? Artikel ini akan mengupas tuntas kedua pemanis ini, menyoroti perbedaan, potensi manfaat, serta kekhawatiran yang menyertainya.
Aspartam pertama kali disintesis pada tahun 1965 dan disetujui untuk digunakan sebagai pemanis makanan pada awal tahun 1980-an. Pemanis ini terbuat dari dua asam amino: asam aspartat dan fenilalanin. Karena strukturnya yang berbasis protein, aspartam dapat terurai saat dipanaskan dalam waktu lama, sehingga tidak ideal untuk bahan makanan yang dipanggang atau dimasak. Tingkat kemanisannya sekitar 200 kali lebih manis dari sukrosa (gula pasir), yang berarti hanya dibutuhkan sedikit saja untuk mencapai tingkat kemanisan yang diinginkan. Aspartam sering ditemukan dalam minuman ringan diet, permen karet, produk susu rendah lemak, dan sebagai topping makanan penutup.
Salah satu poin penting terkait aspartam adalah kandungan fenilalaninnya. Individu dengan kondisi genetik langka yang disebut fenilketonuria (PKU) tidak dapat memetabolisme fenilalanin dengan baik, sehingga penumpukan zat ini dalam tubuh dapat berbahaya. Oleh karena itu, produk yang mengandung aspartam biasanya mencantumkan peringatan khusus untuk penderita PKU.
Sakarin adalah salah satu pemanis buatan tertua yang dikenal manusia, ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 1879. Pemanis ini tidak mengandung kalori sama sekali dan sekitar 200-700 kali lebih manis dari gula, tergantung konsentrasinya. Berbeda dengan aspartam, sakarin relatif stabil terhadap panas, sehingga dapat digunakan dalam berbagai aplikasi kuliner, termasuk produk yang dipanggang. Sakarin sering ditemukan dalam permen, minuman, selai, permen karet, dan sebagai pemanis meja.
Sakarin pernah menjadi subjek kontroversi besar di masa lalu. Studi pada hewan di tahun 1970-an menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi sakarin dosis tinggi dengan peningkatan risiko kanker kandung kemih pada tikus. Hal ini menyebabkan pelabelan peringatan pada produk yang mengandung sakarin. Namun, penelitian lanjutan pada manusia tidak menemukan bukti yang kuat untuk mendukung kaitan ini. Badan pengawas makanan dan obat-obatan di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, kini mengklasifikasikan sakarin sebagai aman untuk dikonsumsi manusia. Meskipun demikian, beberapa orang melaporkan rasa "pahit" atau "logam" setelah mengonsumsi sakarin, yang mungkin menjadi alasan mengapa penggunaannya tidak sepopuler beberapa pemanis lain saat ini.
Ketika membandingkan aspartam dan sakarin, perbedaan utama terletak pada stabilitas panas, rasa, dan profil keamanan jangka panjang. Aspartam lebih disukai dalam aplikasi minuman dingin dan makanan ringan yang tidak memerlukan pemanasan, sementara sakarin menawarkan fleksibilitas lebih dalam penggunaan kuliner.
Mengenai keamanan, kedua pemanis ini telah melalui tinjauan ekstensif oleh badan pengawas kesehatan global. Meskipun aspartam dianggap aman untuk sebagian besar populasi, kewaspadaan tetap diperlukan bagi penderita PKU. Sakarin, meskipun pernah dikaitkan dengan risiko kanker, kini dianggap aman berdasarkan bukti ilmiah yang ada, meskipun kepekaan individu terhadap rasa mungkin menjadi pertimbangan.
Penting untuk dicatat bahwa respons tubuh terhadap pemanis buatan bisa bervariasi antar individu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemanis buatan dapat memengaruhi mikrobioma usus atau respons insulin, meskipun bukti ilmiahnya masih terus berkembang dan seringkali bertentangan. Konsumsi berlebihan dari makanan atau minuman apa pun, termasuk yang menggunakan pemanis buatan, umumnya tidak disarankan. Pendekatan yang paling sehat adalah mengonsumsi berbagai macam makanan, membatasi asupan gula tambahan, dan jika menggunakan pemanis buatan, lakukan dengan bijak dan pertimbangkan rekomendasi dari profesional kesehatan.
Pada akhirnya, pilihan antara aspartam dan sakarin—atau pemanis buatan lainnya—seringkali bergantung pada preferensi rasa pribadi, kebutuhan diet spesifik, dan bagaimana produk tersebut akan digunakan. Keduanya menawarkan cara untuk menikmati rasa manis tanpa dampak signifikan dari kalori gula, namun penting untuk tetap terinformasi dan mengonsumsinya secara moderat sebagai bagian dari pola makan yang seimbang.