Menggali Makna Surah Az-Zumar Ayat 68

Pengantar: Mengapa Surah Az-Zumar Ayat 68 Begitu Penting?

Al-Quran adalah pedoman hidup bagi umat manusia, dan setiap ayat di dalamnya mengandung hikmah serta pelajaran yang mendalam. Di antara ayat-ayat yang memiliki kekuatan luar biasa dalam menggambarkan realitas kehidupan dan akhirat adalah Surah Az-Zumar ayat 68. Ayat ini berbicara tentang sebuah peristiwa kosmik yang akan mengguncang seluruh eksistensi, yakni tiupan sangkakala yang akan menyebabkan semua makhluk di langit dan di bumi pingsan atau mati, kecuali yang dikehendaki Allah, kemudian tiupan kedua yang membangkitkan mereka kembali. Penggambaran yang lugas dan tegas ini bukan sekadar narasi, melainkan sebuah peringatan dan penegasan tentang kekuasaan Allah yang mutlak, kefanaan semua ciptaan, dan kepastian hari kebangkitan.

Kandungan Surah Az-Zumar ayat 68 begitu kaya sehingga menuntut perhatian dan perenungan yang mendalam. Ayat ini merangkum esensi dari akidah Islam mengenai Hari Kiamat, sebuah pilar keimanan yang tidak dapat ditawar. Tanpa pemahaman yang benar tentang Hari Akhir, termasuk kehancuran dunia dan kebangkitan kembali, maka motivasi untuk beribadah dan beramal saleh akan luntur. Ayat ini menyajikan sebuah realitas yang tak terhindarkan, sebuah titik balik yang akan dialami oleh setiap makhluk.

Memahami Surah Az-Zumar ayat 68 bukan hanya menambah wawasan keislaman, tetapi juga membentuk pandangan hidup seorang Muslim secara fundamental. Ayat ini menanamkan kesadaran akan betapa rapuhnya kehidupan dunia ini dan betapa pasti serta dahsyatnya kehidupan akhirat. Dengan merenungkan makna ayat ini, seorang hamba diajak untuk senantiasa mempersiapkan diri, menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab, dan memperkuat keimanan kepada takdir Allah serta Hari Pembalasan. Ini adalah sebuah cerminan tentang betapa kecilnya kita di hadapan keagungan Sang Pencipta, dan betapa pentingnya setiap detik kehidupan yang diberikan.

Kematian adalah realitas yang pasti, namun kebangkitan seringkali menjadi titik keraguan bagi sebagian orang. Surah Az-Zumar ayat 68 secara tegas menghilangkan keraguan tersebut, memberikan gambaran yang jelas tentang tahapan-tahapan yang akan terjadi. Ini adalah janji Allah yang pasti akan terwujud, sebuah kebenaran universal yang tidak bisa ditolak oleh akal sehat yang mau merenung. Keteraturan alam semesta yang kita saksikan saat ini, dari putaran planet hingga siklus kehidupan, adalah bukti-bukti kecil dari kekuasaan Allah yang jauh lebih besar.

Dalam artikel ini, kita akan menyelami Surah Az-Zumar ayat 68 secara komprehensif. Kita akan mengkaji teks aslinya, transliterasinya, berbagai terjemahannya, konteks surah secara keseluruhan, tafsir mendalam dari para ulama terkemuka, implikasi teologisnya, serta pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik untuk kehidupan sehari-hari. Kita akan melihat bagaimana ayat ini terkait dengan ayat-ayat lain dalam Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad ﷺ, serta bagaimana ia menegaskan pilar-pilar keimanan Islam. Persiapkan diri Anda untuk sebuah perjalanan spiritual yang akan membuka mata hati terhadap keagungan penciptaan dan kepastian takdir ilahi, sebuah perenungan yang diharapkan dapat meningkatkan ketakwaan dan kesiapan kita menghadapi hari yang pasti datang.

Teks Asli, Transliterasi, dan Terjemahan Surah Az-Zumar Ayat 68

Untuk memahami inti dari pembahasan ini, marilah kita terlebih dahulu menelaah lafal ayat Surah Az-Zumar ayat 68 dalam bahasa Arab, kemudian transliterasinya, dan berbagai terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Membaca ayat ini dalam bentuk aslinya akan membantu kita merasakan kekuatan dan keindahan bahasanya yang tiada tara.

وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَن شَاءَ اللَّهُ ۖ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَىٰ فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنظُرُونَ
"Wa nufikha fis-soori fa sa'iqa man fis-samāwāti wa man fil-arḍi illā man shā'allāh; thumma nufikha fīhi ukhrā fa iżā hum qiyāmun yaṇẓurūn." "Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)."

Terjemahan ini, yang diambil dari Kementerian Agama Republik Indonesia, secara jelas menggambarkan dua fase penting yang akan terjadi: tiupan pertama yang menyebabkan kematian universal, dan tiupan kedua yang mengawali kebangkitan. Beberapa terjemahan lain mungkin menggunakan kata "pingsan" atau "terkejut dan jatuh tak sadarkan diri" untuk "fa sa'iqa", namun esensinya tetap merujuk pada kondisi tidak berdaya atau kematian yang menimpa semua makhluk. Perbedaan nuansa terjemahan ini tidak mengurangi makna pokok dari ayat tersebut, yaitu kepastian kematian dan kebangkitan.

Ayat ini adalah salah satu ayat paling gamblang dalam Al-Quran yang menjelaskan secara berurutan peristiwa-peristiwa kunci di Hari Kiamat. Kekuatan dan ketegasan bahasanya meninggalkan kesan mendalam bagi siapa pun yang merenungkannya. Ia membuka tabir tentang apa yang akan terjadi di akhir zaman, sebuah momen di mana kekuasaan Allah SWT akan terlihat dengan jelas dan mutlak. Penggunaan kata "tiba-tiba" (فَإِذَا) dalam menggambarkan kebangkitan memberikan kesan dramatis tentang kecepatan dan kemudahan bagi Allah untuk menghidupkan kembali miliaran makhluk yang telah mati.

Penting untuk dicatat bahwa teks Al-Quran yang asli dalam bahasa Arab memiliki kedalaman makna yang terkadang sulit ditangkap sepenuhnya oleh terjemahan. Oleh karena itu, tafsir dan penjelasan mendalam menjadi sangat krusial. Kata demi kata dalam ayat ini dipilih dengan sangat cermat oleh Allah SWT untuk menyampaikan pesan yang paling tepat dan paling kuat. Membaca dan merenungkan lafal aslinya adalah jembatan menuju pemahaman yang lebih otentik.

Konteks Surah Az-Zumar: Rangkaian Ayat Peringatan dan Penegasan Tauhid

Surah Az-Zumar, yang berarti "Rombongan-rombongan", adalah surah ke-39 dalam Al-Quran, terdiri dari 75 ayat. Surah Makkiyah ini diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ, pada masa-masa sulit ketika kaum Muslimin menghadapi penindasan dan permusuhan dari kaum musyrikin Quraisy. Oleh karena itu, tema-tema utama surah ini sangat kuat dalam menegaskan tauhid (keesaan Allah), menolak syirik (menyekutukan Allah), serta memberikan peringatan keras tentang Hari Kiamat dan balasan bagi orang-orang yang beriman dan ingkar.

Surah Az-Zumar secara keseluruhan adalah seruan kepada keikhlasan dalam beribadah kepada Allah semata. Allah SWT berfirman di awal surah:

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
"Innā anzalnā ilaikal-kitāba bil-ḥaqqi fa'budillāha mukhliṣal lahud-dīn." "Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya." (QS. Az-Zumar: 2)

Ayat ini menjadi dasar dari seluruh pesan surah, menekankan pentingnya tauhid yang murni dalam setiap aspek kehidupan. Surah ini berulang kali menyajikan perumpamaan-perumpamaan tentang kekuasaan Allah di alam semesta, seperti penciptaan langit dan bumi, peredaran matahari dan bulan, serta siklus hujan dan tumbuh-tumbuhan, untuk membuktikan bahwa hanya Dia yang layak disembah. Ini adalah upaya untuk menyadarkan kaum musyrikin yang menyembah berhala dan mempersekutukan Allah, bahwa perbuatan mereka adalah sebuah kesesatan yang nyata.

Konteks ayat 68 berada dalam rangkaian ayat-ayat yang menggambarkan kengerian Hari Kiamat dan kebesaran Allah. Sebelum ayat 68, Allah SWT telah berbicara tentang kekuasaan-Nya dalam menciptakan langit dan bumi, perumpamaan tentang kehidupan dunia yang fana, serta perdebatan antara orang-orang musyrik dan mukmin. Ayat-ayat sebelumnya menyinggung bagaimana manusia tidak mampu menolak mudarat atau mendatangkan manfaat tanpa kehendak Allah. Misalnya, ayat 38 dan 39 menantang orang-orang musyrik untuk merenungkan siapa yang akan menyelamatkan mereka jika Allah menghendaki keburukan. Ayat 42 berbicara tentang Allah yang menggenggam jiwa-jiwa pada waktu kematian. Ayat 53-61 adalah seruan tobat dan peringatan tentang datangnya azab secara tiba-tiba.

Ayat 68 datang sebagai puncak dari peringatan tersebut, sebuah demonstrasi nyata akan kekuasaan Allah yang tak terbatas atas hidup dan mati, dan sebagai penutup dari babak kehidupan duniawi. Ia adalah gambaran klimaks dari peringatan Allah akan Hari Kiamat, sebuah hari di mana semua kekuasaan makhluk akan sirna dan hanya kekuasaan Allah yang mutlak akan tampak. Ini adalah transisi dari kehidupan dunia yang penuh ujian menuju kehidupan akhirat yang penuh pertanggungjawaban.

Setelah ayat 68, surah ini melanjutkan dengan deskripsi pengumpulan manusia di padang mahsyar, pembentangan catatan amal, dan pengelompokan manusia ke dalam rombongan-rombongan (zumar) yang akan digiring ke surga atau neraka. Penamaan surah "Az-Zumar" sangat relevan dengan gambaran ini, di mana manusia akan dikumpulkan berdasarkan golongan mereka: golongan yang beriman dan bertakwa menuju surga, dan golongan yang ingkar menuju neraka. Jadi, ayat 68 bukan ayat yang berdiri sendiri, melainkan bagian integral dari narasi besar yang bertujuan untuk memperkuat iman, menumbuhkan ketakwaan, dan mengingatkan manusia akan tujuan akhir keberadaan mereka. Ia adalah penggalan yang sangat kuat dalam alur cerita Surah Az-Zumar yang berpusat pada penegasan tauhid dan persiapan menghadapi akhirat.

Tafsir Mendalam Surah Az-Zumar Ayat 68: Setiap Kata Membuka Makna

Ayat ini, meskipun singkat, sarat dengan makna dan mengandung beberapa poin krusial yang perlu kita bahas secara mendalam. Setiap frasa dan pilihan kata dalam ayat ini memiliki kedalaman tafsir yang luar biasa, membuka tabir tentang peristiwa-peristiwa dahsyat di Hari Kiamat. Mari kita bedah setiap bagian dalam ayat ini berdasarkan penafsiran para ulama terkemuka seperti Imam Ibnu Katsir, Imam At-Thabari, dan lainnya.

1. "وَنُفِخَ فِي الصُّورِ" (Dan ditiuplah sangkakala)

Frasa ini mengawali narasi dengan peristiwa besar, yaitu tiupan sangkakala (Ash-Shur). Sangkakala digambarkan dalam banyak riwayat sebagai tanduk raksasa atau terompet kolosal yang dimensinya tak terbayangkan oleh akal manusia, yang akan ditiup oleh Malaikat Israfil atas perintah Allah SWT. Ini bukan tiupan biasa, melainkan sebuah manifestasi dari kekuasaan ilahi yang akan mengubah total tatanan alam semesta, menandai dimulainya babak akhir kehidupan duniawi dan awal kehidupan akhirat.

  • Siapa yang meniup? Konsensus ulama menyebutkan bahwa yang meniup sangkakala adalah Malaikat Israfil, salah satu dari empat malaikat utama bersama Jibril, Mikail, dan Izrail. Israfil adalah malaikat yang dipercayakan tugas agung ini, ia senantiasa siaga dengan sangkakala di bibirnya, menanti instruksi dari Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah ﷺ bersabda, "Bagaimana aku bisa bersenang-senang, padahal pemilik sangkakala (Malaikat Israfil) telah memegangnya, keningnya telah siap (untuk meniupnya), dan ia menanti kapan ia diperintahkan?" Hal ini menunjukkan betapa besar dan menakutkannya tugas Israfil, dan betapa dekatnya peristiwa tersebut.
  • Berapa kali tiupan? Para ulama umumnya sepakat akan adanya dua tiupan sangkakala yang disebutkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadits, meskipun ada pandangan yang menyebutkan lebih:
    1. Tiupan pertama (Nafkhatush Sha'iq): Tiupan yang menyebabkan kematian atau pingsan massal seluruh makhluk hidup. Inilah yang disebutkan dalam awal ayat 68 ini, yang akan membinasakan semua yang di langit dan di bumi. Tujuan dari tiupan ini adalah untuk mengakhiri eksistensi duniawi dan menghancurkan semua makhluk, sebagai tanda kebesaran dan kekuasaan Allah yang mutlak. Alam semesta akan mengalami kehancuran total, langit akan terbelah, gunung-gunung hancur lebur, dan lautan meluap.
    2. Tiupan kedua (Nafkhatul Ba'th): Tiupan yang membangkitkan kembali semua makhluk dari kematian untuk dihisab. Inilah yang disebutkan dalam akhir ayat 68 ini. Tiupan ini akan mengembalikan ruh ke jasad yang telah hancur, mempersiapkan mereka untuk berdiri di hadapan Allah SWT. Jeda antara dua tiupan ini, sebagaimana disebutkan dalam hadits, adalah "empat puluh" (tidak jelas apakah hari, bulan, atau tahun, hanya Allah yang tahu), di mana bumi akan mengalami perubahan dan persiapan untuk kebangkitan.
    Beberapa ulama, seperti Imam At-Thabari dan Ibnu Katsir, mengemukakan kemungkinan adanya tiupan ketiga atau bahkan keempat berdasarkan penafsiran ayat-ayat lain. Tiupan ketiga yang kadang disebut adalah Nafkhatul Faza' (tiupan yang mengejutkan dan membuat takut) yang mungkin mendahului tiupan pertama. Namun, untuk konteks ayat ini, dua tiupan utama sudah cukup jelas dan merupakan inti dari peristiwa Hari Kiamat. Keterangan-keterangan ini menambah dimensi pemahaman kita tentang peristiwa dahsyat yang akan datang.
Terompet Sangkakala
Ilustrasi terompet sangkakala, simbol peristiwa besar Hari Kiamat yang akan mengakhiri dan mengawali kehidupan.

2. "فَصَعِقَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْضِ" (Maka matilah siapa yang di langit dan di bumi)

Kata kunci di sini adalah "fa sa'iqa" (فَصَعِقَ). Kata ini memiliki beberapa makna dalam bahasa Arab, antara lain: jatuh pingsan, terkejut hingga tak sadarkan diri, atau mati. Dalam konteks Hari Kiamat dan peristiwa besar seperti tiupan sangkakala, makna yang paling dominan dan disepakati oleh mayoritas mufassir adalah "mati" atau "binasa". Artinya, tiupan pertama ini akan mengakhiri seluruh kehidupan di alam semesta, sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak akan terulang lagi hingga tiupan kedua.

  • Cakupan "man fis-samāwāti wa man fil-arḍi": Frasa ini secara harfiah berarti "siapa saja yang di langit dan siapa saja yang di bumi". Ini mencakup seluruh makhluk hidup berakal maupun tidak berakal, di langit maupun di bumi. Manusia, jin, hewan, dan bahkan mayoritas malaikat akan mengalami kematian. Kekuasaan Allah begitu mutlak sehingga tidak ada satu pun makhluk yang dapat bertahan di hadapan keagungan-Nya pada momen tersebut. Ini adalah bukti bahwa semua ciptaan, betapapun besar atau kecilnya, mulia atau hinanya, tunduk pada kehendak Allah. Tidak ada yang kekal kecuali Dia.
  • Kehancuran Universal: Ayat ini menggambarkan kehancuran total dan universal. Bukan hanya manusia yang akan mati, tetapi seluruh tatanan kosmos akan hancur dan mengalami kematian. Gunung-gunung akan hancur seperti bulu yang dihamburkan, lautan akan meluap dan bercampur menjadi satu, bintang-bintang akan berjatuhan dan cahaya matahari akan digulung, langit akan terbelah. Ini adalah tanda-tanda kebesaran Allah dan akhir dari masa uji coba di dunia. Peristiwa ini melambangkan akhir dari segala kemegahan dan keindahan duniawi, menunjukkan betapa fana dan sementaranya semua yang ada.
  • Tidak Ada yang Bisa Lari: Pada saat tiupan sangkakala pertama, tidak ada tempat berlindung, tidak ada yang dapat melarikan diri, dan tidak ada yang dapat menolak kematian. Ini adalah demonstrasi paling agung dari kekuasaan Allah dan kelemahan mutlak semua makhluk di hadapan-Nya. Bahkan gunung-gunung yang kokoh pun akan hancur, apalagi manusia yang begitu lemah.

3. "إِلَّا مَن شَاءَ اللَّهُ" (Kecuali siapa yang dikehendaki Allah)

Bagian ini adalah frasa pengecualian yang menarik dan telah menjadi objek perdebatan serta pembahasan mendalam di kalangan ulama. Siapakah yang dikecualikan oleh Allah dari kematian universal ini? Pengecualian ini menunjukkan bahwa meskipun kehancuran bersifat universal, masih ada pengecualian yang sepenuhnya berada di bawah kehendak dan kebijaksanaan Allah.

  • Pendapat Mayoritas: Banyak ulama berpendapat bahwa yang dikecualikan adalah sekelompok malaikat tertentu. Di antaranya adalah Jibril, Mikail, Israfil (yang meniup sangkakala itu sendiri), Izrail (malaikat maut), dan malaikat-malaikat pemikul Arasy. Mereka adalah malaikat-malaikat yang memiliki kedudukan istimewa dan tugas-tugas agung yang harus diselesaikan hingga akhir. Setelah semua makhluk mati, Allah akan memerintahkan Izrail untuk mencabut nyawa malaikat-malaikat yang tersisa, termasuk dirinya sendiri, hingga tidak ada yang tersisa kecuali Allah Yang Maha Hidup dan tidak mati. Ini menunjukkan bahwa bahkan malaikat yang paling mulia sekalipun tidak luput dari kematian jika Allah menghendaki, kecuali mereka yang Allah kehendaki untuk tetap hidup hingga waktu yang ditentukan-Nya.
  • Pendapat Lain: Beberapa ulama menafsirkan bahwa pengecualian ini merujuk kepada orang-orang tertentu yang Allah lindungi dari ketakutan atau pingsan saat tiupan sangkakala, tetapi mereka tetap akan mati. Misalnya, orang-orang yang mati syahid, atau mungkin mereka yang berada di surga atau neraka (jika telah berada di sana). Namun, pandangan yang lebih kuat adalah pengecualian ini dari kematian itu sendiri, yaitu mereka yang tetap hidup untuk menjalankan kehendak Allah sebelum akhirnya mereka pun akan mati. Ada juga yang menafsirkan bahwa pengecualian ini adalah para syuhada', namun ini kurang tepat karena kematian syuhada’ telah terjadi sebelum tiupan sangkakala. Intinya, hanya Allah yang mengetahui secara pasti siapa saja yang termasuk dalam pengecualian ini, dan detailnya tidak perlu kita perdebatkan secara berlebihan, melainkan kita meyakini kebenaran frasa tersebut apa adanya.
  • Hikmah Pengecualian: Pengecualian ini menunjukkan bahwa meskipun kekuasaan Allah bersifat mutlak, Dia memiliki kehendak dan kebijaksanaan untuk memilih siapa saja yang akan tetap hidup untuk tujuan tertentu, sebelum akhirnya mereka pun akan menghadapi kematian. Ini menegaskan bahwa segala sesuatu adalah di bawah kendali-Nya, dan tidak ada yang dapat melampaui kehendak-Nya. Ini juga menunjukkan hierarki dan tugas-tugas di antara malaikat, di mana beberapa di antara mereka memiliki peran khusus dalam tahapan kiamat ini. Pengecualian ini tidak mengurangi keuniversalan kehancuran, melainkan menegaskan kemutlakan kehendak Allah.

4. "ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَىٰ" (Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi)

Setelah periode waktu yang hanya diketahui oleh Allah (beberapa hadits menyebutkan 40, yang bisa berarti 40 hari, bulan, atau tahun, atau periode yang tidak terhingga bagi manusia), tiupan sangkakala yang kedua akan terjadi. Jeda waktu ini adalah periode di mana alam semesta berada dalam keheningan total, hanya Allah yang Maha Hidup dan Maha Kekal yang ada. Tiupan ini adalah Nafkhatul Ba'th, tiupan kebangkitan, yang akan memulai babak baru dalam eksistensi.

  • Membangkitkan dari Kematian: Tiupan kedua ini bukan lagi untuk mematikan, melainkan untuk menghidupkan kembali semua yang telah mati. Ini adalah bukti nyata kekuasaan Allah untuk mengembalikan kehidupan dari ketiadaan, bahkan dari tulang belulang yang telah hancur dan bercampur dengan tanah. Allah SWT menjelaskan dalam banyak ayat bahwa Dia akan menurunkan hujan setelah tiupan pertama, dan dari tanah yang basah itu, jasad manusia akan tumbuh kembali. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, "Kemudian Allah menurunkan hujan dari langit, seperti hujan gerimis, dan darinya tubuh manusia tumbuh seperti tumbuhnya sayuran." Ini adalah gambaran ilmiah dan spiritual yang luar biasa, menunjukkan bagaimana Allah Maha Mampu atas segala sesuatu.
  • Janji Allah Terwujud: Kebangkitan ini adalah janji Allah yang telah disampaikan melalui para nabi dan kitab-kitab suci-Nya. Ini adalah puncak dari keimanan pada Hari Akhir, bahwa setelah kematian yang pasti, akan ada kehidupan kembali untuk dihisab. Tiupan kedua ini adalah manifestasi dari keadilan Allah, di mana setiap jiwa akan diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya di dunia.
  • Kemudahan bagi Allah: Bagi Allah, membangkitkan miliaran makhluk hidup semudah menciptakan mereka pertama kali. Al-Quran seringkali menegaskan bahwa menciptakan kembali adalah lebih mudah bagi Allah daripada menciptakan pertama kali, padahal keduanya adalah sama-sama mudah bagi-Nya. Ini adalah pengingat bahwa kekuasaan Allah tidak terbatas oleh pemahaman atau kapasitas manusia.

5. "فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنظُرُونَ" (Maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu)

Frasa penutup ini menggambarkan hasil dari tiupan kedua. Kata "fa idza hum" (tiba-tiba mereka) menunjukkan kecepatan dan kemudahan proses kebangkitan bagi Allah. Makhluk-makhluk yang tadinya mati, kini bangkit dan berdiri, seolah-olah baru terbangun dari tidur. Mereka tidak lagi berada dalam kondisi pingsan atau mati, melainkan telah sadar sepenuhnya untuk menghadapi realitas baru.

  • "Qiyamun" (Berdiri): Mereka bangkit dari kubur mereka, dari tanah, berdiri tegak, seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa kebangkitan itu adalah kebangkitan fisik, bukan hanya spiritual. Jasad dan ruh akan disatukan kembali, dalam bentuk yang Allah kehendaki, untuk menerima balasan atas amal perbuatan mereka. Tidak ada yang terlewatkan, tidak ada yang terlupakan. Setiap individu akan berdiri sendiri-sendiri, merasakan kebangkitan yang sama.
  • "Yanzhurun" (Melihat/Menunggu): Mereka berdiri sambil melihat ke sekeliling, bingung namun sadar, mencari tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang akan menimpa mereka. Ini adalah awal dari Hari Penghisaban, di mana semua akan berdiri di hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri kebesaran Allah dan janji-Nya yang telah terpenuhi. Rasa kebingungan dan ketakutan akan menyelimuti mereka, karena realitas Hari Akhir jauh lebih dahsyat dari apa yang pernah mereka bayangkan di dunia. Mereka menunggu putusan Allah, penuh harap dan cemas.
  • Kesadaran Penuh: Mereka tidak bangkit dalam keadaan linglung atau tidak sadar, melainkan dengan kesadaran penuh akan apa yang telah menimpa mereka. Mereka akan mengingat kehidupan dunia mereka, amal perbuatan mereka, dan tujuan kebangkitan ini. Ini adalah kesaksian atas keadilan Allah yang tidak akan mengadili hamba-Nya dalam keadaan tidak sadar.

Dari bedah tafsir ini, kita melihat betapa ayat 68 Surah Az-Zumar adalah sebuah rangkuman yang padat dan sangat powerful tentang peristiwa-peristiwa kunci di Hari Kiamat. Ia mencakup tiga aspek penting: kehancuran total, pengecualian yang terbatas, dan kebangkitan universal. Pemahaman yang mendalam tentang setiap bagian ayat ini memperkuat keyakinan kita akan Hari Kiamat dan segala detailnya sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah SWT.

Analisis Linguistik dan Keindahan Bahasa Al-Quran dalam Az-Zumar 68

Al-Quran dikenal dengan keindahan bahasanya (i'jaz al-Quran) yang tak tertandingi, dan Surah Az-Zumar ayat 68 adalah contoh yang sangat baik dari kemukjizatan linguistik ini. Setiap pilihan kata, struktur kalimat, dan susunan frasa memiliki makna dan dampak yang mendalam yang tidak dapat ditiru oleh bahasa manusia. Kekuatan bahasa Arab dalam Al-Quran adalah salah satu bukti terbesar keilahian kitab suci ini.

  • Penggunaan Kata Pasif "Nufikha" (دُفِخَ - ditiup): Ayat dimulai dengan "Wa nufikha fis-soori", menggunakan bentuk kata kerja pasif (majḥūl). Ini adalah pilihan linguistik yang sangat cerdas. Dengan tidak menyebutkan secara eksplisit siapa pelakunya, Al-Quran secara implisit menunjukkan bahwa pelakunya (Allah SWT yang memerintahkan) tidak perlu disebutkan, karena kekuasaan-Nya sudah mafhum dan agung di benak setiap pendengar. Tiupan itu terjadi atas kehendak dan perintah-Nya yang mutlak, tidak ada yang dapat menghalanginya, dan tidak ada yang berani menolaknya. Ini juga menegaskan bahwa kekuatan tiupan itu berasal dari sumber yang Maha Kuat dan Maha Mengatur.
  • Partikel "Fa" (فَ - maka/lalu): Penggunaan partikel "fa" (فَ) yang berfungsi sebagai konjungsi penghubung (fa' at-ta'qib) dalam "fa sa'iqa" (maka matilah) dan "fa idza hum qiyamun" (maka tiba-tiba mereka berdiri) sangat krusial. Partikel ini menunjukkan urutan peristiwa yang cepat, langsung, dan logis, serta akibat langsung dari tiupan sangkakala. Tiupan pertama *langsung* diikuti oleh kematian massal, dan tiupan kedua *langsung* diikuti oleh kebangkitan. Ini menekankan kecepatan, ketepatan, dan kemudahan bagi Allah dalam melaksanakan kehendak-Nya. Tidak ada penundaan, tidak ada perlawanan, hanya kepatuhan mutlak dari seluruh alam semesta.
  • Kata "Sa'iqa" (صَعِقَ): Pemilihan kata ini sangat kuat dan kaya makna. Seperti yang telah dibahas, ini bisa berarti pingsan, terkejut, atau mati. Dalam konteks kehancuran global, makna "mati" atau "binasa" adalah yang paling tepat. Konotasi pingsan atau terkejut menunjukkan efek yang sangat mendadak, tak terduga, dan mengguncang jiwa, yang berujung pada kematian. Ini menggambarkan kepanikan dan kehancuran total yang terjadi, bukan kematian yang perlahan atau alami, melainkan kematian yang disebabkan oleh sebuah kekuatan dahsyat yang tak tertahankan. Akar kata ṣ-'-q (ص ع ق) dalam bahasa Arab seringkali terkait dengan petir, guntur, dan suara yang memekakkan, menunjukkan efek yang sangat dahsyat.
  • Gaya Bahasa Pengecualian "Illa man shaa'allah" (إِلَّا مَن شَاءَ اللَّهُ): Frasa pengecualian ini tidak menyebutkan secara spesifik siapa yang dikecualikan. Ini adalah bentuk i'jaz (kemukjizatan) Al-Quran yang seringkali meninggalkan ruang untuk tafsir dan menunjukkan bahwa pengetahuan mutlak hanya milik Allah. Ketidakspesifikan ini menambah kesan misteri dan keagungan Allah, bahwa Dia memiliki kehendak absolut dan tidak terikat oleh keharusan untuk memberitahukan detail kepada hamba-Nya. Ini juga menegaskan bahwa bahkan dalam kehancuran paling universal sekalipun, kehendak Allah tetap berkuasa penuh untuk membuat pengecualian.
  • Partikel "Tsumma" (ثُمَّ - kemudian): Penggunaan "tsumma" (ثُمَّ) sebagai konjungsi dalam "tsumma nufikha fīhi ukhrā" (kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi) menunjukkan adanya jeda waktu yang signifikan antara tiupan pertama dan kedua. Jeda ini, meskipun panjangnya hanya diketahui Allah, memberikan kesan tentang sebuah periode transisi antara akhir dunia dan awal kebangkitan. Ini membedakan dua peristiwa tiupan sangkakala sebagai dua kejadian terpisah dengan tujuan yang berbeda.
  • "Ukhrā" (أُخْرَىٰ - sekali lagi/lainnya): Penambahan kata "ukhrā" setelah "nufikha fīhi" (ditiup padanya) dengan jelas membedakan tiupan kedua dari yang pertama, menegaskan bahwa ini adalah peristiwa yang berbeda tujuannya. Kata ini secara eksplisit mengindikasikan pengulangan tindakan "meniup", namun dengan implikasi dan hasil yang berbeda secara total, yaitu dari kematian menuju kehidupan.
  • "Fa Idza Hum Qiyamun Yanzhurun" (فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنظُرُونَ - Maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu): Ungkapan "fa idza" (فَإِذَا) yang berarti "maka tiba-tiba" atau "sekonyong-konyong" sangat efektif dalam menggambarkan kecepatan, kesigapan, dan keterkejutan kebangkitan. Tidak ada penundaan, tidak ada persiapan panjang, mereka langsung berdiri dan melihat ke sekeliling. Kata "qiyamun" (berdiri) menunjukkan kesiapan untuk dihisab, sementara "yanzhurun" (melihat/menunggu) menggambarkan kebingungan, ketakutan, dan antisipasi terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka "melihat" dengan mata kepala sendiri realitas Hari Kiamat yang sebelumnya mereka ragukan atau ingkari. Ini adalah gambaran yang sangat dramatis dan penuh kekuatan.

Melalui pilihan kata yang presisi, struktur kalimat yang sempurna, dan penggunaan partikel yang kaya makna, Surah Az-Zumar ayat 68 mampu menyampaikan gambaran yang sangat jelas, dramatis, dan menggugah jiwa tentang hari akhir. Ini adalah salah satu bukti keindahan dan keagungan bahasa Al-Quran yang tak ada bandingannya, sebuah mukjizat yang terus memukau para ahli bahasa dan umat manusia sepanjang zaman.

Implikasi Teologis dan Akidah dari Surah Az-Zumar Ayat 68

Ayat ini memiliki implikasi yang sangat mendalam terhadap keyakinan (akidah) seorang Muslim. Ia memperkuat beberapa pilar keimanan yang esensial, membentuk fondasi keyakinan yang kokoh dan tak tergoyahkan tentang Allah, alam semesta, dan tujuan akhir kehidupan. Pemahaman yang benar tentang ayat ini akan membentuk worldview (pandangan dunia) seorang Muslim secara fundamental.

1. Penegasan Kekuasaan Allah yang Mutlak (Qudrah Ilahiyah)

Surah Az-Zumar ayat 68 adalah salah satu manifestasi paling nyata dari kekuasaan Allah SWT yang tak terbatas. Dia adalah Dzat Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Dengan satu perintah, seluruh makhluk di langit dan di bumi dapat mati atau pingsan, dan dengan perintah yang lain, mereka semua dapat dibangkitkan kembali dari ketiadaan. Tidak ada kekuatan lain yang dapat melakukan hal serupa, tidak ada makhluk yang dapat menentang atau menghalangi kehendak-Nya. Kekuasaan ini meniadakan segala bentuk syirik dan penyembahan selain kepada-Nya, karena hanya Dia yang memiliki kendali penuh atas alam semesta dan nasib seluruh ciptaan, dari awal hingga akhir. Kesadaran ini menumbuhkan rasa takut (khauf) dan harapan (raja') hanya kepada Allah.

"Kekuasaan Allah tidak mengenal batas, bahkan dalam hal yang paling mendasar sekalipun, yakni kehidupan dan kematian. Surah Az-Zumar 68 adalah pengingat keras akan realitas ini, menegaskan bahwa segala sesuatu berawal dan berakhir sesuai kehendak-Nya."

Ayat ini mengajarkan bahwa semua kekuatan yang kita lihat di dunia ini—kekuatan alam, kekuatan manusia, kekuatan teknologi—adalah semu dan terbatas. Pada akhirnya, semua itu akan hancur dan tunduk di hadapan kekuasaan Allah yang Mahabesar. Ini adalah pelajaran tentang tawakal (berserah diri) sepenuhnya kepada Allah, karena hanya Dia yang memiliki kekuatan sejati untuk melindungi dan mengatur.

2. Kepastian Hari Kiamat dan Kebangkitan (Al-Ba'th wal Nushur)

Salah satu pilar keimanan adalah percaya kepada Hari Akhir. Ayat 68 secara eksplisit menggambarkan terjadinya hari tersebut, dari awal kehancuran (tiupan pertama) hingga kebangkitan (tiupan kedua). Ini adalah penegasan bahwa kehidupan dunia ini fana, dan ada kehidupan lain yang kekal setelahnya, di mana setiap jiwa akan dimintai pertanggungjawaban. Keraguan terhadap kebangkitan adalah kekufuran, dan ayat ini menghapuskan segala keraguan tersebut dengan gambaran yang jelas dan meyakinkan. Kebangkitan ini adalah janji Allah yang pasti terwujud, sebuah kebenaran yang tidak bisa ditolak oleh siapa pun.

Konsep kebangkitan seringkali menjadi titik perdebatan bagi orang-orang yang ingkar. Mereka bertanya, "Bagaimana mungkin tulang-belulang yang telah hancur dapat dihidupkan kembali?" Al-Quran menjawab pertanyaan ini dengan menegaskan bahwa Allah yang menciptakan pertama kali pasti lebih mudah bagi-Nya untuk menghidupkan kembali. Ayat 68 adalah salah satu bukti tegas dari kebenaran ini, memberikan detail proses yang akan terjadi.

3. Kefanaan dan Keterbatasan Seluruh Ciptaan

Frasa "fa sa'iqa man fis-samāwāti wa man fil-arḍi" menegaskan bahwa semua makhluk adalah fana. Baik itu manusia, jin, hewan, bahkan malaikat yang memiliki kedudukan tinggi, semuanya akan merasakan kematian. Hanya Allah SWT yang Maha Kekal dan Abadi. Ini menumbuhkan kerendahan hati dalam diri seorang Muslim, menyadari bahwa kekuatan, harta, kedudukan, dan segala hal duniawi adalah sementara dan akan berakhir. Tidak ada yang perlu disombongkan, karena pada akhirnya semua akan kembali kepada debu, kecuali ruh yang akan dihisab.

Kesadaran akan kefanaan ini seharusnya membebaskan kita dari belenggu kecintaan berlebihan terhadap dunia. Kita diingatkan bahwa hidup ini hanyalah persinggahan singkat, dan tujuan utama kita adalah akhirat. Ini adalah panggilan untuk menggunakan waktu dan sumber daya kita di dunia ini untuk mempersiapkan kehidupan yang kekal, bukan untuk mengejar kenikmatan fana yang akan sirna.

4. Keadilan Ilahi (Al-Adl)

Kebangkitan setelah kematian bukan tanpa tujuan. Tujuannya adalah untuk menghadirkan keadilan sejati. Di dunia, mungkin ada ketidakadilan, kezaliman yang tidak terbalas, atau kebaikan yang tidak dihargai. Orang zalim mungkin hidup makmur, sementara orang yang tertindas menderita. Namun, Hari Kiamat adalah hari di mana setiap jiwa akan menerima balasan yang setimpal atas perbuatannya, sekecil apa pun itu. Ayat ini, sebagai pembuka gerbang kebangkitan, adalah janji Allah akan keadilan sempurna-Nya, di mana tidak ada satu pun kebaikan atau keburukan yang akan terlewatkan.

Keadilan Allah tidak hanya berlaku bagi manusia, tetapi juga bagi semua makhluk. Hewan-hewan akan dihisab, dan keadilan akan ditegakkan antara mereka, sebelum akhirnya mereka menjadi tanah. Ini menunjukkan betapa agung dan sempurna keadilan Allah, yang meliputi segala sesuatu.

5. Pembuktian Kebenaran Risalah Nabi Muhammad ﷺ

Penjelasan tentang Hari Kiamat, tiupan sangkakala, dan kebangkitan adalah bagian integral dari ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Ketika Al-Quran menceritakan detail-detail ini dengan sangat jelas dan akurat, sementara Nabi ﷺ sendiri menguatkannya dengan hadits-hadits beliau, ini menjadi bukti kebenaran kenabian beliau dan risalah Islam. Ini adalah informasi ghaib yang tidak mungkin diketahui oleh manusia biasa tanpa wahyu dari Allah. Detail-detail ini tidak bisa direka-reka oleh akal manusia, apalagi oleh seorang yang hidup di tengah gurun pasir 14 abad yang lalu.

Dengan demikian, Surah Az-Zumar ayat 68 tidak hanya sekadar cerita, tetapi sebuah fondasi kuat dalam membangun akidah seorang Muslim yang kokoh, berlandaskan keyakinan akan kekuasaan Allah, kepastian hari akhir, dan keadilan-Nya yang tak terbatas. Ayat ini menuntut kita untuk merenung dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.

Kaitan Surah Az-Zumar Ayat 68 dengan Ayat-ayat Al-Quran Lain dan Hadits

Ayat 68 dari Surah Az-Zumar bukanlah satu-satunya ayat yang membahas tentang tiupan sangkakala, kematian universal, dan kebangkitan. Al-Quran seringkali mengulang tema-tema penting ini dengan variasi penjelasan, untuk mengukuhkan keimanan dan memberikan gambaran yang lebih lengkap dan komprehensif. Selain itu, banyak hadits Nabi Muhammad ﷺ yang memperkuat dan merinci apa yang disebutkan dalam Al-Quran, memberikan detail yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam kitab suci.

1. Ayat-ayat Serupa tentang Tiupan Sangkakala

Beberapa ayat lain dalam Al-Quran juga berbicara tentang tiupan sangkakala dan dampaknya, menunjukkan konsistensi pesan ilahi tentang Hari Kiamat:

  • QS. An-Naml (27): 87:
    وَيَوْمَ يُنفَخُ فِي الصُّورِ فَفَزِعَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَن شَاءَ اللَّهُ ۚ وَكُلٌّ أَتَوْهُ دَاخِرِينَ
    "Dan (ingatlah) pada hari (ketika) sangkakala ditiup, maka terkejutlah (mati) siapa yang di langit dan siapa yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri."

    Ayat ini sangat mirip dengan Az-Zumar 68, namun menggunakan kata "fafazi'a" (فَفَزِعَ - terkejut/ketakutan) yang kemudian mengarah pada kematian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa tiupan pertama dapat menimbulkan ketakutan dan kepanikan yang hebat sebelum kematian terjadi. Ini bisa merujuk pada "Nafkhatul Faza'" (tiupan yang membuat takut) atau tiupan pertama yang dibahas dalam Az-Zumar. Penggunaan "fafazi'a" menekankan aspek psikologis dari peristiwa tersebut, yaitu betapa dahsyatnya efek suara sangkakala yang mampu membuat semua makhluk terkejut hingga jatuh pingsan atau mati. Akhiran ayat ini, "Dan semua mereka datang menghadap-Nya dengan merendahkan diri," menegaskan bahwa tidak ada yang dapat melarikan diri dari pengadilan Allah.

  • QS. Ya-Sin (36): 51-52:
    وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَإِذَا هُم مِّنَ الْأَجْدَاثِ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يَنسِلُونَ ۝ قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَن بَعَثَنَا مِن مَّرْقَدِنَا ۜ هَٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ
    "Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata: 'Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?' Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul(Nya)."

    Ayat ini secara spesifik menggambarkan tiupan kedua (Nafkhatul Ba'th) dan respons manusia terhadap kebangkitan. Frasa "min al-ajdaats" (dari kubur) secara jelas menunjukkan kebangkitan fisik. Reaksi manusia yang terkejut dan bertanya "Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami?" menunjukkan betapa luar biasanya peristiwa ini bagi mereka, yang kemudian disadarkan bahwa itulah janji Allah yang Maha Pemurah. Ini memberikan gambaran yang lebih dramatis tentang momen kebangkitan dari sudut pandang manusia.

  • QS. Qaaf (50): 20:
    وَنُفِخَ فِي الصُّورِ ۚ ذَٰلِكَ يَوْمُ الْوَعِيدِ
    "Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman."

    Ayat ini singkat namun tegas, langsung mengaitkan tiupan sangkakala (yang dalam konteks ini merujuk pada tiupan kedua) dengan hari di mana janji dan ancaman Allah terwujud. "Hari terlaksananya ancaman" (Yawmul Wa'id) adalah sebutan lain untuk Hari Kiamat, menegaskan bahwa semua peringatan dan janji Allah tentang balasan amal akan benar-benar terjadi pada hari itu. Ini adalah penegasan akan keseriusan dan kepastian hari perhitungan.

  • QS. Al-Kahf (18): 99:
    وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي بَعْضٍ ۖ وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَجَمَعْنَاهُمْ جَمْعًا
    "Kami biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain, dan ditiuplah sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka semuanya."

    Ayat ini berbicara tentang pengumpulan manusia di Padang Mahsyar setelah tiupan sangkakala, menunjukkan bahwa tujuan dari kebangkitan adalah untuk dikumpulkan dan dihisab. Frasa "bercampur aduk antara satu dengan yang lain" menggambarkan kondisi manusia yang kebingungan dan berdesak-desakan sebelum dikumpulkan secara teratur oleh Allah.

Perbandingan ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Al-Quran menggunakan berbagai ungkapan untuk menggambarkan satu peristiwa besar yang sama, yakni tiupan sangkakala, untuk menekankan aspek-aspek yang berbeda: kejutan, kematian, kebangkitan, dan pemenuhan janji. Ini adalah metode Al-Quran untuk memperkuat pesan dan memastikan bahwa tidak ada keraguan dalam benak pembacanya.

2. Hadits Nabi Muhammad ﷺ tentang Sangkakala

Banyak hadits shahih yang menjelaskan lebih lanjut tentang sangkakala dan peristiwa kiamat, memberikan detail yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Quran, dan memperkuat pemahaman kita tentang ayat 68 Surah Az-Zumar:

  • Hadits tentang Malaikat Israfil: Nabi ﷺ bersabda: "Bagaimana aku bisa bersenang-senang, padahal pemilik sangkakala (Malaikat Israfil) telah memegangnya, keningnya telah siap (untuk meniupnya), dan ia menanti kapan ia diperintahkan?" Para sahabat bertanya, "Lalu apa yang harus kami katakan?" Nabi ﷺ bersabda, "Katakanlah: 'Cukuplah bagi kami Allah, dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung.'" (HR. At-Tirmidzi, Ahmad). Hadits ini menunjukkan betapa seriusnya tugas Israfil, betapa ia senantiasa dalam keadaan siaga, dan betapa dekatnya peristiwa tersebut. Ini juga mengajarkan kita untuk bertawakal kepada Allah dalam menghadapi kengerian hari kiamat.
  • Hadits tentang Jeda Waktu antara Dua Tiupan: Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah ﷺ bersabda: "Jarak antara dua tiupan adalah empat puluh." Orang-orang bertanya kepada Abu Hurairah, "Empat puluh hari?" Dia menjawab, "Saya tidak bisa memastikan." Mereka bertanya, "Empat puluh bulan?" Dia menjawab, "Saya tidak bisa memastikan." Mereka bertanya, "Empat puluh tahun?" Dia menjawab, "Saya tidak bisa memastikan." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini mengkonfirmasi adanya jeda waktu antara tiupan pertama dan kedua, namun durasi pastinya hanya Allah yang tahu. Ketidakjelasan durasi ini menambah kesan keagungan Allah dan misteri di balik peristiwa tersebut, mendorong kita untuk tidak terlalu terpaku pada detail yang tidak kita ketahui, melainkan pada esensi keyakinan.
  • Hadits tentang Kebangkitan setelah Hujan: "Kemudian Allah menurunkan hujan dari langit, seperti hujan gerimis, dan darinya tubuh manusia tumbuh seperti tumbuhnya sayuran. Kemudian ditiuplah sangkakala yang kedua, maka tiba-tiba mereka berdiri dan melihat." (Bagian dari Hadits panjang tentang Dajjal dan hari kiamat, HR. Muslim). Hadits ini menjelaskan proses kebangkitan fisik. Setelah tiupan pertama dan jeda waktu, Allah akan menurunkan hujan lebat yang akan membasahi bumi. Dari setiap tetesan hujan itu, tubuh manusia akan tumbuh kembali dari bagian terkecil tubuh yang disebut 'ajb adz-dzanab (tulang ekor), seperti tumbuhnya tanaman dari benih. Ini adalah penjelasan ilmiah sekaligus spiritual tentang bagaimana Allah mampu mengembalikan kehidupan dari ketiadaan dan kehancuran.
  • Hadits tentang Siapa yang Paling Awal Bangkit: "Aku adalah orang yang pertama kali dibangkitkan dari kubur pada Hari Kiamat." (HR. Muslim). Ini menunjukkan kemuliaan Nabi Muhammad ﷺ dan kepastian kebangkitan.

Integrasi antara Al-Quran dan Hadits memberikan gambaran yang utuh dan detail mengenai peristiwa Hari Kiamat yang dijelaskan dalam Surah Az-Zumar ayat 68. Ayat tersebut adalah pondasi, dan Hadits adalah penjelas serta perinci dari pondasi tersebut, saling menguatkan keimanan kita dan menghilangkan keraguan yang mungkin muncul dalam hati.

Hikmah dan Pelajaran Hidup dari Surah Az-Zumar Ayat 68

Ayat 68 dari Surah Az-Zumar, dengan segala kedalaman maknanya, tidak hanya berfungsi sebagai narasi tentang masa depan, tetapi juga sebagai sumber hikmah dan pelajaran berharga untuk membimbing kehidupan seorang Muslim di dunia ini. Dengan merenungkan ayat ini, kita dapat menarik beberapa poin penting yang relevan untuk setiap aspek kehidupan, mendorong kita menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih bertakwa.

1. Peningkatan Kesadaran akan Kematian dan Kehidupan Akhirat

Pelajaran paling fundamental dari ayat ini adalah pengingat yang kuat tentang kefanaan hidup di dunia dan kepastian kematian. Semua yang hidup pasti akan mati. Kesadaran ini seharusnya mendorong kita untuk tidak terlalu terpaku pada kemewahan dunia yang bersifat sementara, melainkan mengarahkan fokus kita pada persiapan untuk kehidupan yang kekal di akhirat. Setiap napas, setiap detik, adalah anugerah dan kesempatan untuk beramal saleh. Hidup ini adalah perjalanan singkat menuju tujuan abadi, dan kematian hanyalah pintu gerbang menuju fase berikutnya. Dengan mengingat kematian, kita akan lebih menghargai waktu dan menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat.

2. Motivasi untuk Beramal Saleh dan Meninggalkan Kemaksiatan

Mengetahui bahwa akan ada hari kebangkitan dan penghisaban setelah kematian seharusnya menjadi motivasi terbesar untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan. Jika kita yakin bahwa setiap perbuatan, sekecil apa pun, akan diperhitungkan dan kita akan dibangkitkan untuk mempertanggungjawabkan semuanya, maka kita akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan, perkataan, dan niat. Ayat ini menegaskan bahwa kita tidak akan luput dari pengawasan Allah dan tidak ada perbuatan yang sia-sia, baik atau buruk. Motivasi ini bukan hanya berasal dari rasa takut akan hukuman, tetapi juga dari harapan akan pahala dan ridha Allah.

3. Mengikis Sifat Sombong dan Angkuh

Ketika kita menyadari bahwa pada akhirnya semua makhluk, termasuk diri kita sendiri, akan mati dan tidak berdaya di hadapan tiupan sangkakala, maka tidak ada lagi tempat untuk kesombongan dan keangkuhan. Semua kekuasaan, jabatan, kekayaan, dan kecantikan akan sirna dalam sekejap. Hanya Allah yang Maha Besar dan Maha Berkuasa. Kesadaran ini menumbuhkan sifat tawadhu (rendah hati) dan mengakui kelemahan diri di hadapan Sang Pencipta. Mengingat bahwa kita semua akan berdiri sama di hadapan Allah, tanpa perbedaan pangkat atau harta, seharusnya membuat kita lebih merendahkan diri dan melayani sesama.

4. Memperkuat Keimanan kepada Takdir Allah

Ayat ini juga memperkuat keyakinan kita kepada takdir Allah. Kematian dan kebangkitan adalah bagian dari ketetapan-Nya yang pasti terjadi, tidak ada yang dapat mengubah atau menolaknya. Dengan beriman kepada takdir, seorang Muslim akan memiliki ketenangan jiwa, tidak terlalu larut dalam kesedihan atas kehilangan duniawi, dan tidak pula terlalu euforia dengan keberhasilan sementara. Semuanya adalah bagian dari rencana ilahi, dan Allah adalah sebaik-baik Perencana. Keyakinan ini membantu kita menghadapi cobaan hidup dengan sabar dan mensyukuri setiap nikmat, karena semua datang dari Allah.

5. Pentingnya Berpegang Teguh pada Tauhid

Karena hanya Allah yang memiliki kekuasaan mutlak atas hidup dan mati, serta hanya Dia yang akan membangkitkan dan menghisab, maka satu-satunya Dzat yang layak disembah adalah Allah semata. Ayat ini secara implisit menyerukan pengesaan Allah (tauhid) dan menolak segala bentuk syirik. Tidak ada perantara, tidak ada sekutu, dan tidak ada yang dapat menolong kecuali dengan izin-Nya di hari tersebut. Ini adalah pengingat bahwa tujuan hidup kita adalah beribadah hanya kepada Allah, dan hanya Dia yang berhak atas pengabdian kita.

6. Pendorong untuk Bertaubat dan Memohon Ampunan

Dengan gambaran kengerian hari kiamat dan kehancuran universal, ayat ini mengajak setiap jiwa untuk segera bertaubat dari dosa-dosa dan kembali kepada Allah. Waktu terus berjalan, dan kesempatan untuk memperbaiki diri di dunia ini sangat terbatas. Sebelum tiupan sangkakala pertama datang, setiap hamba diharapkan telah berbekal amal saleh dan bertaubat dengan sungguh-sungguh (taubat nasuha). Pintu taubat selalu terbuka selama nyawa masih dikandung badan dan matahari belum terbit dari barat. Ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.

7. Menumbuhkan Rasa Tanggung Jawab Sosial

Kesadaran akan hisab di akhirat tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada interaksi sosial. Mengetahui bahwa setiap perbuatan zalim kepada sesama akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah akan mendorong kita untuk berlaku adil, menyayangi, dan menolong sesama. Ini memupuk rasa persaudaraan dan keadilan dalam masyarakat Muslim, karena setiap hak dan kewajiban akan dibalas di hari yang tidak ada lagi penolong selain Allah.

Secara keseluruhan, Surah Az-Zumar ayat 68 adalah ayat yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Ia adalah cerminan dari kebenaran hakiki tentang kehidupan, kematian, dan kebangkitan. Dengan meresapi maknanya, kita diharapkan menjadi pribadi yang lebih bertakwa, lebih bertanggung jawab, dan lebih berorientasi pada kehidupan akhirat yang kekal. Ini adalah peta jalan spiritual yang jelas bagi setiap Muslim untuk mencapai kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat.

Tantangan Memahami Hari Kiamat di Era Modern

Di era modern ini, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, mungkin ada sebagian orang yang merasa skeptis atau kesulitan memahami konsep Hari Kiamat dan kebangkitan yang digambarkan dalam Surah Az-Zumar ayat 68 dan ayat-ayat sejenis lainnya. Pola pikir materialistis dan rasionalis seringkali menuntut bukti empiris untuk setiap klaim, dan hal-hal gaib dianggap sulit diterima. Namun, sebagai Muslim, kita memiliki landasan keimanan yang kuat yang tidak hanya bergantung pada indera dan akal semata, tetapi juga pada wahyu ilahi yang mutlak kebenarannya.

1. Konflik antara Sains dan Wahyu?

Beberapa orang mungkin bertanya, "Bagaimana mungkin seluruh makhluk mati dalam sekejap dan kemudian bangkit lagi?" Dari perspektif ilmu pengetahuan murni, ini mungkin terdengar mustahil atau seperti fiksi ilmiah yang jauh dari realitas. Para ilmuwan berpegang pada hukum-hukum alam yang teramati dan terukur. Namun, Al-Quran mengajarkan kita bahwa kekuasaan Allah melampaui hukum-hukum alam yang kita pahami saat ini. Hukum alam yang kita amati adalah ciptaan-Nya, dan Dia mampu mengubah atau menangguhkannya kapan pun Dia berkehendak. Proses kematian universal dan kebangkitan adalah peristiwa supernatural yang berada di luar jangkauan eksperimen laboratorium dan batas pemahaman akal manusia yang terbatas.

Justru, sains modern, dalam beberapa hal, dapat memperkuat pemahaman kita tentang kebesaran Allah. Misalnya, konsep tentang skala alam semesta yang maha luas, energi yang tak terhingga, dan kompleksitas kehidupan yang luar biasa, semuanya mengarah pada adanya kekuatan maha cerdas dan maha kuasa di balik penciptaan. Jika Allah mampu menciptakan alam semesta dari ketiadaan, mengatur setiap partikel, dan menjaga keseimbangannya selama miliaran tahun, mengapa Dia tidak mampu menghancurkannya dan menciptakan kembali kehidupan? Logika sederhana pun akan menyimpulkan bahwa Dzat yang menciptakan dari tidak ada, lebih mudah bagi-Nya untuk mengembalikan apa yang telah ada.

2. Mengatasi Skeptisisme dengan Keimanan

Untuk mengatasi skeptisisme, penting bagi kita untuk memahami bahwa keimanan pada Hari Kiamat adalah bagian dari akidah yang disampaikan melalui wahyu. Sama seperti kita beriman kepada Allah yang tidak terlihat oleh mata telanjang, atau kepada malaikat dan jin yang tidak dapat kita indera, demikian pula kita beriman kepada peristiwa Hari Kiamat yang belum kita saksikan. Kekuatan iman terletak pada kepercayaan yang teguh pada kebenaran firman Allah dan sabda Rasul-Nya, bahkan untuk hal-hal yang gaib. Iman menuntut kita untuk menerima kebenaran dari sumber yang paling otentik, yaitu Allah dan Rasul-Nya, meskipun akal kita mungkin belum sepenuhnya mampu mencernanya.

Selain itu, konsep kekekalan materi dan energi dalam fisika, misalnya, dapat dianalogikan dengan kebangkitan. Energi tidak hilang, hanya berubah bentuk. Dari sudut pandang ilahi, Allah tidak menghilangkan materi secara permanen, melainkan mengubahnya dan membentuknya kembali. Tulang belulang yang hancur sekalipun, Allah Mahakuasa untuk menyatukannya kembali dari partikel terkecil yang tersisa, seperti yang dijelaskan dalam hadits tentang 'ajb adz-dzanab (tulang ekor). Ini bukan berarti sains dapat membuktikan kebangkitan, tetapi ia menunjukkan bahwa konsep "perubahan bentuk" atau "rekonstitusi" adalah sesuatu yang ada dalam pemahaman manusia, meskipun dalam skala dan cara yang sangat terbatas dibandingkan dengan kekuasaan Allah.

3. Hikmah di Balik Penjelasan Detail

Al-Quran tidak memberikan detail yang persis seperti buku ilmiah, tetapi memberikan gambaran yang cukup untuk membuat manusia berpikir dan beriman. Detail tentang tiupan sangkakala, pengecualian, dan kebangkitan bukan hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektual, tetapi untuk menanamkan rasa takut, harapan, dan ketaatan dalam hati manusia. Tujuannya adalah untuk transformasi hati dan jiwa, bukan hanya pengetahuan kognitif semata. Keindahan Al-Quran adalah ia mampu berbicara kepada hati dan akal secara bersamaan, memberikan peringatan yang menggugah dan penjelasan yang masuk akal dalam batasan-batasannya.

Memahami Surah Az-Zumar ayat 68 di era modern ini berarti memadukan akal dan wahyu. Menggunakan akal untuk merenungkan kebesaran Allah melalui tanda-tanda alam dan ayat-ayat-Nya, namun tetap menundukkan akal pada batas-batas yang telah ditetapkan oleh wahyu ketika berbicara tentang hal-hal ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh akal murni. Ini adalah jalan tengah yang kokoh bagi seorang Muslim dalam menghadapi tantangan pemahaman di tengah arus modernisasi, sebuah jalan yang akan membimbing kita menuju kebenaran sejati.

Mempersiapkan Diri Menyongsong Tiupan Sangkakala

Setelah mengkaji secara mendalam Surah Az-Zumar ayat 68 dan berbagai implikasinya, pertanyaan yang paling relevan bagi setiap Muslim adalah: "Bagaimana kita mempersiapkan diri menyongsong peristiwa dahsyat ini?" Ayat ini bukan sekadar informasi yang bersifat pasif, melainkan sebuah panggilan untuk bertindak, berubah, dan memperkuat diri. Persiapan terbaik adalah dengan mengimplementasikan hikmah-hikmah yang telah kita bahas ke dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten dan sungguh-sungguh.

1. Memperkuat Tauhid dan Keimanan

Fondasi utama adalah keimanan yang kokoh kepada Allah SWT, keesaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan janji-janji-Nya. Pastikan bahwa hati kita bersih dari syirik, baik syirik besar maupun kecil. Yakinlah bahwa hanya Allah yang mampu memberikan manfaat dan menolak mudarat, hanya Dia yang patut disembah dan dimintai pertolongan. Perbanyaklah dzikir (mengingat Allah), tafakkur (merenungkan ciptaan Allah), dan tadabbur Al-Quran (merenungkan makna ayat-ayat-Nya) untuk menguatkan tauhid. Tauhid yang murni adalah kunci keselamatan di Hari Kiamat, karena Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Teguhkan keyakinan bahwa la ilaha illallah, tiada Tuhan selain Allah.

2. Menjaga Shalat Lima Waktu

Shalat adalah tiang agama dan amal ibadah pertama yang akan dihisab. Menjaga shalat fardhu dengan tepat waktu, khusyuk, dan memenuhi syarat serta rukunnya adalah bentuk persiapan yang paling mendasar. Shalat yang sempurna bukan hanya gerakan fisik, tetapi juga koneksi spiritual dengan Allah, sarana munajat, dan pencegah dari perbuatan keji dan munkar. Sempurnakan dengan shalat-shalat sunnah rawatib, tahajjud, dhuha, dan lainnya untuk menambah timbangan amal kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah. Istiqamah dalam shalat adalah tanda keimanan yang kuat.

3. Memperbanyak Amal Saleh

Setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apa pun, akan menjadi bekal di akhirat. Ini mencakup sedekah (memberi infaq di jalan Allah), membaca Al-Quran dan mengamalkannya, berpuasa sunnah (seperti Senin-Kamis atau Arafah), berbakti kepada orang tua dan menghormati mereka, menyambung tali silaturahmi dengan keluarga dan kerabat, menolong sesama yang membutuhkan, berakhlak mulia kepada semua makhluk, dan semua perbuatan yang diridhai Allah. Ingatlah bahwa dunia adalah ladang untuk menanam, dan akhirat adalah masa panen. Semakin banyak benih kebaikan yang kita tanam, semakin melimpah panen yang akan kita tuai di akhirat kelak. Jangan pernah meremehkan kebaikan sekecil apa pun.

4. Menjauhi Dosa dan Maksiat

Sama pentingnya dengan melakukan kebaikan, menjauhi keburukan adalah wujud ketakwaan. Hindari dosa-dosa besar seperti syirik, membunuh jiwa yang tidak bersalah, berzina, memakan harta riba dan harta anak yatim, durhaka kepada orang tua, fitnah, ghibah (menggunjing), dan sejenisnya. Jauhi pula dosa-dosa kecil yang sering terabaikan, karena akumulasi dosa kecil bisa menjadi besar dan menjauhkan kita dari rahmat Allah. Jika terlanjur berbuat dosa, segeralah bertaubat dengan taubat nasuha (taubat yang sungguh-sungguh dengan penyesalan, berjanji tidak mengulangi, dan berusaha memperbaiki kesalahan), karena Allah Maha Penerima taubat.

5. Memohon Ampunan dan Perlindungan Allah

Tidak ada seorang pun yang sempurna dan bebas dari dosa. Oleh karena itu, kita harus senantiasa memohon ampunan (istighfar) kepada Allah SWT. Perbanyaklah membaca "Astaghfirullahal 'adzim" dan doa-doa pengampunan lainnya. Berdoalah agar Allah merahmati kita, melindungi kita dari fitnah dunia dan azab akhirat, serta mempermudah hisab kita di Hari Kiamat. Kekuatan doa adalah senjata seorang Muslim, dan Allah sangat menyukai hamba-Nya yang senantiasa memohon dan merendahkan diri kepada-Nya. Mintalah husnul khatimah (akhir yang baik) dan perlindungan dari su'ul khatimah (akhir yang buruk).

6. Menghidupkan Kembali Sunnah Nabi ﷺ

Mengikuti jejak dan ajaran Nabi Muhammad ﷺ adalah kunci keselamatan dan kebahagiaan. Belajar sirah Nabi, mengamalkan sunnah-sunnah beliau dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ibadah, muamalah, akhlak, maupun cara hidup, akan mendekatkan kita kepada Allah dan menjauhkan kita dari kesesatan. Nabi ﷺ adalah teladan terbaik bagi umat manusia, dan mencontoh beliau adalah bentuk cinta dan ketaatan kepada Allah. Pelajarilah ajaran beliau dari sumber yang sahih dan amalkanlah sebisa mungkin.

Ayat 68 Surah Az-Zumar adalah sebuah peringatan yang agung, sebuah cermin yang menunjukkan realitas akhir dari segala sesuatu. Dengan memahami dan menghayati maknanya, kita diharapkan dapat menjalani sisa umur ini dengan lebih bermakna, penuh kesadaran, dan dengan tujuan akhir yang jelas: meraih ridha Allah SWT dan surga-Nya. Persiapan ini bukan hanya tentang ritual ibadah, tetapi juga tentang pembentukan karakter, hati yang bersih, dan jiwa yang tenang.

Penutup: Janji Allah Pasti Terwujud

Perjalanan kita dalam mengkaji Surah Az-Zumar ayat 68 telah membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang salah satu peristiwa paling monumental dan krusial dalam sejarah alam semesta: tiupan sangkakala yang mengawali kehancuran total dan kemudian kebangkitan universal. Ayat ini, meskipun singkat dalam lafalnya, sarat akan pesan-pesan fundamental yang membentuk inti akidah Islam dan menjadi pengingat yang tak lekang oleh waktu bagi seluruh umat manusia.

Kita telah melihat bagaimana ayat ini dengan tegas menegaskan kekuasaan Allah yang mutlak, yang mampu menghidupkan dan mematikan, yang mengatur segala sesuatu dengan kehendak-Nya tanpa batas, dan yang tidak terikat oleh hukum-hukum alam yang Dia ciptakan sendiri. Kita juga telah memahami bahwa Hari Kiamat dan kebangkitan adalah sebuah keniscayaan yang pasti akan terjadi, bukan sekadar dongeng atau mitos dari masa lalu. Setiap jiwa akan dibangkitkan dari kuburnya, berdiri tegak, menanti penghisaban di hadapan Hakim Yang Maha Adil, di mana tidak ada yang dapat bersembunyi atau lari dari pertanggungjawaban.

Konteks Surah Az-Zumar secara keseluruhan memperkuat pesan ini dengan seruan kepada tauhid murni dan penolakan syirik, mengingatkan kita bahwa segala sesuatu selain Allah adalah fana, lemah, dan tidak memiliki kekuatan untuk menolong atau membahayakan. Ini adalah sebuah pelajaran berharga tentang di mana seharusnya kita menempatkan harapan dan ketakutan kita. Analisis linguistik menunjukkan keindahan dan kemukjizatan Al-Quran dalam menyampaikan pesan yang begitu dahsyat dengan pilihan kata yang sangat presisi dan bermakna, sebuah bukti tak terbantahkan akan keilahiannya.

Yang terpenting, Surah Az-Zumar ayat 68 adalah panggilan yang kuat untuk introspeksi, perenungan, dan persiapan yang serius. Ia mengingatkan kita bahwa hidup di dunia ini adalah sebuah ujian yang singkat, dan waktu yang kita miliki sangat terbatas. Peringatan tentang kematian universal dan kebangkitan seharusnya memotivasi kita untuk tidak menyia-nyiakan waktu yang berharga ini, mengisi setiap detik dengan amal saleh, menjauhi maksiat, memperkuat iman, dan senantiasa bertaubat kepada Allah SWT. Inilah bekal terbaik yang akan kita bawa saat kita berdiri di hadapan-Nya.

Janganlah kita termasuk orang-orang yang lengah, yang sibuk dengan gemerlap dunia dan segala hiruk pikuknya hingga melupakan tujuan akhir dari keberadaan kita. Biarlah ayat ini menjadi pengingat abadi bahwa janji Allah itu benar adanya, dan bahwa setiap dari kita akan menghadapi Hari Besar itu tanpa terkecuali. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita hidayah dan kekuatan untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sehingga kita termasuk orang-orang yang berbahagia di hari ketika tiupan sangkakala kedua membangkitkan kita semua, dan kita dapat menghadapi penghisaban dengan wajah yang berseri-seri karena ridha-Nya.

Semoga Allah merahmati kita semua, mengampuni dosa-dosa kita, dan memasukkan kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, yang diselamatkan dari azab api neraka dan dimasukkan ke dalam surga-Nya yang penuh kenikmatan abadi. Aamiin ya Rabbal 'alamin.

🏠 Homepage