Puasa Asyura: Pengertian, Sejarah, Keutamaan, dan Tata Caranya
Puasa Asyura adalah salah satu ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dalam Islam, memiliki keutamaan yang besar dan sejarah yang kaya. Artikel ini akan mengupas tuntas segala hal mengenai Puasa Asyura, mulai dari pengertian, latar belakang sejarahnya yang panjang, dalil-dalil syar'i yang menjadi landasannya, keutamaan-keutamaan yang terkandung di dalamnya, hingga tata cara pelaksanaannya yang benar. Dengan pemahaman yang mendalam, diharapkan umat Muslim dapat melaksanakan ibadah ini dengan penuh kekhusyukan dan mendapatkan keberkahan yang dijanjikan.
Mendekati bulan Muharram, khususnya pada hari kesepuluh, gaung tentang Puasa Asyura mulai bergema di tengah-tengah masyarakat Muslim. Banyak yang bertanya-tanya tentang seluk-beluk ibadah ini, mulai dari asal-usulnya, mengapa ia begitu penting, hingga bagaimana cara terbaik untuk melaksanakannya agar sesuai dengan tuntunan syariat. Pemahaman yang komprehensif tentang Puasa Asyura tidak hanya akan memperkaya pengetahuan keislaman kita, tetapi juga akan memotivasi kita untuk menghidupkan salah satu sunnah Nabi Muhammad ﷺ yang mulia ini.
1. Pengertian Puasa Asyura
Secara etimologi, kata "Asyura" (عاشوراء) berasal dari bahasa Arab yang berarti "kesepuluh". Dalam konteks syariat Islam, Puasa Asyura merujuk pada ibadah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Muharram. Bulan Muharram sendiri adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah, yang memiliki keistimewaan tersendiri sebagai salah satu dari empat bulan haram (bulan yang dimuliakan) di mana Allah melarang perbuatan dosa dan menganjurkan peningkatan amal ibadah.
Puasa ini bukan termasuk puasa wajib seperti puasa Ramadhan, melainkan puasa sunnah muakkadah, yakni puasa sunnah yang sangat ditekankan pelaksanaannya karena memiliki dasar dalil yang kuat dan keutamaan yang besar. Anjuran untuk melaksanakan Puasa Asyura datang langsung dari Rasulullah ﷺ, yang mana beliau sendiri juga melaksanakannya dan menganjurkan para sahabatnya untuk turut serta berpuasa pada hari tersebut.
Penting untuk dicatat bahwa Puasa Asyura ini seringkali diiringi dengan anjuran untuk berpuasa pada hari kesembilan Muharram, yang dikenal sebagai Puasa Tasu'a (تاسوعاء), serta ada pula anjuran untuk berpuasa pada hari kesebelas Muharram. Kombinasi puasa ini memiliki hikmah tersendiri, salah satunya adalah untuk membedakan amalan umat Islam dengan amalan umat agama lain yang juga memuliakan hari Asyura. Penjelasan lebih lanjut mengenai Puasa Tasu'a dan puasa tanggal sebelas Muharram akan dibahas di bagian selanjutnya.
Jadi, secara ringkas, puasa Asyura adalah puasa sunnah yang dilakukan pada hari kesepuluh bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriyah, yang memiliki latar belakang sejarah penting dan keutamaan yang agung dalam Islam. Ia merupakan manifestasi syukur kepada Allah atas pertolongan-Nya dan sarana penghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu.
2. Sejarah Puasa Asyura
Sejarah Puasa Asyura adalah sebuah kisah panjang yang melintasi berbagai zaman dan peradaban, mencerminkan kontinuitas nilai-nilai keimanan dari satu syariat ke syariat lainnya. Memahami sejarah ini akan memberikan kita perspektif yang lebih dalam mengapa ibadah ini memiliki kedudukan yang begitu istimewa dalam Islam.
2.1. Puasa Asyura Sebelum Kedatangan Islam
Jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad ﷺ, hari Asyura sudah dikenal dan dimuliakan oleh bangsa-bangsa terdahulu. Bahkan, di kalangan masyarakat Arab jahiliyah di Makkah, Puasa Asyura sudah menjadi tradisi. Mereka berpuasa pada hari itu sebagai bentuk penghormatan terhadap hari tersebut, meskipun motif dan tata caranya mungkin berbeda dengan syariat Islam. Ini menunjukkan bahwa nilai sakralitas hari kesepuluh Muharram telah tertanam dalam kesadaran spiritual manusia sejak lama.
Paling signifikan, sejarah Puasa Asyura berakar kuat pada kisah Nabi Musa عليه السلام dan kaumnya, Bani Israil. Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari kejaran Firaun dan bala tentaranya pada hari kesepuluh bulan Muharram. Peristiwa heroik ini diabadikan dalam Al-Qur'an dan menjadi salah satu mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada para nabi-Nya.
Dikisahkan bahwa Firaun, penguasa Mesir yang zalim, menindas Bani Israil dan menyiksa mereka. Atas perintah Allah, Nabi Musa memimpin kaumnya untuk keluar dari Mesir menuju tanah yang dijanjikan. Firaun yang angkuh dan sombong tidak rela membiarkan mereka pergi, lalu mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengejar. Ketika Bani Israil sampai di tepi Laut Merah, mereka terjebak antara lautan di depan dan pasukan Firaun di belakang. Dalam keputusasaan, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya ke laut. Seketika, laut terbelah, membentuk jalan kering yang dapat dilewati oleh Bani Israil.
Ketika Firaun dan pasukannya mengikuti di belakang, jalan tersebut kembali menyatu dan menenggelamkan mereka semua. Peristiwa ini terjadi pada hari Asyura. Sebagai bentuk syukur atas pertolongan dan keselamatan yang diberikan Allah, Nabi Musa dan kaumnya berpuasa pada hari tersebut. Oleh karena itu, Puasa Asyura telah menjadi tradisi di kalangan Bani Israil sejak zaman Nabi Musa.
2.2. Puasa Asyura di Masa Nabi Muhammad ﷺ
2.2.1. Periode Makkah
Ketika Nabi Muhammad ﷺ masih berada di Makkah, beliau juga melaksanakan Puasa Asyura. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi puasa pada hari Asyura sudah dikenal dan dipraktikkan oleh Nabi ﷺ bahkan sebelum hijrah ke Madinah. Meskipun demikian, pada masa ini, penekanannya belum sekuat setelah beliau hijrah dan bertemu dengan kaum Yahudi di Madinah.
2.2.2. Periode Madinah dan Penetapan Hukum
Titik balik dalam sejarah penetapan Puasa Asyura sebagai sunnah yang dianjurkan dalam Islam terjadi setelah Nabi Muhammad ﷺ hijrah ke Madinah. Setibanya di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura. Ketika Nabi ﷺ bertanya mengapa mereka berpuasa, mereka menjawab, "Ini adalah hari yang agung, hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Firaun dan kaumnya. Maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur, dan kami juga berpuasa."
Mendengar penjelasan tersebut, Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian." Dengan demikian, beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa Asyura. Pada awalnya, Puasa Asyura memiliki hukum yang mendekati wajib sebelum puasa Ramadhan diwajibkan. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, hukum Puasa Asyura berubah menjadi sunnah muakkadah.
Namun, Nabi Muhammad ﷺ juga menyadari pentingnya membedakan identitas ibadah umat Islam dari umat Yahudi. Oleh karena itu, di akhir hayat beliau, beliau bertekad untuk berpuasa pada hari kesembilan Muharram (Tasu'a) bersamaan dengan hari Asyura (kesepuluh Muharram) pada tahun berikutnya, dengan tujuan agar umat Islam tidak menyerupai kaum Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Sayangnya, beliau wafat sebelum sempat melaksanakan niat tersebut. Meskipun demikian, anjuran untuk berpuasa Tasu'a menjadi bagian penting dari sunnah Puasa Asyura.
2.3. Peristiwa Karbala dan Asyura
Di kemudian hari, sekitar setengah abad setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, hari Asyura juga menjadi tanggal yang sangat bersejarah dan tragis dalam sejarah Islam, yaitu wafatnya cucu Rasulullah ﷺ, Husain bin Ali, di Karbala. Peristiwa ini, yang penuh dengan duka dan pengorbanan, telah meninggalkan jejak mendalam dalam hati umat Islam, khususnya di kalangan Syiah, yang menjadikan Asyura sebagai hari berkabung dan mengenang syahidnya Husain.
Penting untuk dipahami bahwa meskipun peristiwa Karbala terjadi pada hari Asyura, penetapan Puasa Asyura sebagai ibadah sunnah mendahului peristiwa tersebut. Anjuran puasa ini sudah ada dan diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ jauh sebelum Karbala. Oleh karena itu, tujuan utama Puasa Asyura dalam tradisi Sunni adalah sebagai bentuk syukur atas keselamatan Nabi Musa dan kaumnya, serta mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ, bukan sebagai bentuk duka cita atas peristiwa Karbala. Kedua peristiwa ini, meskipun terjadi pada tanggal yang sama, memiliki konteks dan makna ibadah yang berbeda. Puasa Asyura tetap berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ yang menekankan syukur dan ketaatan.
3. Dalil-dalil Puasa Asyura
Landasan hukum dan keutamaan Puasa Asyura bersumber dari beberapa hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ. Dalil-dalil ini memberikan kita keyakinan akan nilai ibadah ini dan mendorong kita untuk melaksanakannya.
3.1. Hadits tentang Keutamaan Puasa Asyura
Dalil paling fundamental mengenai keutamaan Puasa Asyura adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah Al-Anshari, bahwa Rasulullah ﷺ ditanya tentang Puasa Asyura, lalu beliau menjawab:
"صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ"
Artinya: "Puasa Asyura, aku berharap kepada Allah dapat menghapus dosa setahun yang telah lalu." (HR. Muslim)
Hadits ini secara eksplisit menjelaskan keutamaan Puasa Asyura sebagai penghapus dosa-dosa kecil yang telah dilakukan selama setahun sebelumnya. Ini adalah janji yang luar biasa dari Allah bagi hamba-Nya yang melaksanakan ibadah ini dengan ikhlas. Keutamaan ini menjadikan Puasa Asyura sebagai salah satu amalan sunnah yang sangat dicari oleh umat Islam yang ingin membersihkan diri dari dosa dan mendekatkan diri kepada Allah.
Para ulama menjelaskan bahwa "dosa setahun yang telah lalu" yang dimaksud dalam hadits ini adalah dosa-dosa kecil (shagair). Adapun dosa-dosa besar (kabair) memerlukan taubat nasuha yang sungguh-sungguh untuk diampuni oleh Allah. Namun, bukan berarti amalan sunnah tidak memiliki peran dalam menghapus dosa besar; ia bisa menjadi sebab terampuninya dosa besar melalui rahmat Allah dan diterimanya taubat. Ini menegaskan bahwa puasa Asyura adalah kesempatan emas untuk bertaubat dan memperbaiki diri.
3.2. Hadits tentang Sejarah Puasa Asyura dan Anjuran Tasu'a
Hadits lain yang menjelaskan latar belakang Puasa Asyura dan anjuran Puasa Tasu'a adalah dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما:
"قَدِمَ النَّبِيُّ ﷺ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ أَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ"
Artinya: "Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya, 'Puasa apa ini?' Mereka menjawab, 'Ini adalah hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu.' Nabi ﷺ bersabda, 'Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.' Maka beliau berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian, terkait anjuran Puasa Tasu'a, Ibnu Abbas رضي الله عنهما juga meriwayatkan:
"حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ. قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ"
Artinya: "Ketika Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya, para sahabat berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.' Maka Rasulullah ﷺ bersabda, 'Apabila datang tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan.' Ibnu Abbas berkata, 'Belum sampai tahun yang akan datang, Rasulullah ﷺ sudah wafat.'" (HR. Muslim)
Hadits ini sangat penting karena menunjukkan keinginan Nabi ﷺ untuk membedakan amalan umat Islam dari kaum Yahudi. Meskipun beliau tidak sempat melaksanakan niat tersebut, anjuran untuk berpuasa Tasu'a (9 Muharram) bersama Asyura (10 Muharram) tetap menjadi sunnah yang sangat dianjurkan. Ini mencerminkan salah satu prinsip penting dalam Islam, yaitu menjaga identitas unik syariat Islam dan menghindari tasyabbuh (menyerupai) amalan-amalan agama lain.
Dari dalil-dalil ini, jelaslah bahwa Puasa Asyura memiliki landasan yang kuat dalam sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Ia adalah ibadah yang beliau sendiri lakukan, beliau perintahkan, dan keutamaannya telah beliau sampaikan. Oleh karena itu, bagi setiap Muslim yang ingin meraih keberkahan dan ampunan dosa, melaksanakan Puasa Asyura adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.
4. Keutamaan Puasa Asyura
Puasa Asyura bukan sekadar puasa sunnah biasa, melainkan puasa yang memiliki kedudukan istimewa dengan berbagai keutamaan yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui lisan Rasulullah ﷺ. Keutamaan-keutamaan ini menjadi motivasi besar bagi umat Islam untuk menghidupkan sunnah yang mulia ini.
4.1. Penghapus Dosa Setahun yang Lalu
Keutamaan paling utama dan yang paling sering disebut-sebut dari Puasa Asyura adalah kemampuannya menghapus dosa-dosa kecil yang telah dilakukan selama setahun penuh yang telah berlalu. Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits dari Abu Qatadah Al-Anshari, Rasulullah ﷺ bersabda, "Puasa Asyura, aku berharap kepada Allah dapat menghapus dosa setahun yang telah lalu." Ini adalah anugerah yang sangat besar dari Allah. Bayangkan, dengan berpuasa hanya satu hari, seorang hamba bisa mendapatkan ampunan dosa-dosa kecilnya selama satu tahun!
Tentu saja, para ulama menekankan bahwa penghapusan dosa ini berlaku untuk dosa-dosa kecil (shagair). Untuk dosa-dosa besar (kabair) seperti syirik, membunuh, berzina, dan sebagainya, tetap diperlukan taubat nasuha (taubat yang sungguh-sungguh) yang memenuhi syarat-syaratnya, yaitu menyesali perbuatan, berhenti melakukannya, dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa amalan-amalan shalih seperti Puasa Asyura dapat menjadi sebab diterimanya taubat atas dosa besar dan terampuninya dosa tersebut oleh rahmat dan karunia Allah yang Maha Luas.
Keutamaan ini seharusnya membangkitkan semangat kita. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak luput dari kesalahan dan dosa-dosa kecil. Mungkin kita pernah berghibah, lalai dalam berzikir, atau melakukan perbuatan yang kurang pantas lainnya. Puasa Asyura datang sebagai "pembersih" yang ditawarkan Allah secara cuma-cuma, asalkan kita melaksanakannya dengan ikhlas dan mengharap pahala dari-Nya.
4.2. Mengikuti Sunnah Nabi Musa عليه السلام dan Nabi Muhammad ﷺ
Dengan melaksanakan Puasa Asyura, seorang Muslim berarti mengikuti jejak dua nabi besar, yaitu Nabi Musa عليه السلام dan Nabi Muhammad ﷺ. Ini adalah kemuliaan tersendiri. Nabi Musa berpuasa sebagai bentuk syukur atas keselamatan dari Firaun, dan Nabi Muhammad ﷺ juga berpuasa karena merasa lebih berhak atas Musa dan sebagai bentuk syukur kepada Allah.
Mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ adalah inti dari ketaatan seorang Muslim. Allah berfirman dalam Al-Qur'an, "Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab: 21). Dengan berpuasa Asyura, kita meneladani amalan mulia beliau dan menegaskan kecintaan kita kepada sunnahnya.
4.3. Bentuk Syukur kepada Allah
Puasa Asyura adalah bentuk ekspresi syukur atas nikmat dan pertolongan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Kisah Nabi Musa dan Bani Israil yang diselamatkan dari penindasan Firaun adalah salah satu bukti nyata kekuasaan dan rahmat Allah. Dengan berpuasa, kita mengenang peristiwa agung ini dan bersyukur atas segala nikmat-Nya, baik yang terlihat maupun yang tidak.
Syukur adalah pilar keimanan. Allah berjanji, "Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS. Ibrahim: 7). Puasa Asyura menjadi salah satu cara konkret kita menunjukkan rasa syukur kita, yang insya Allah akan mendatangkan lebih banyak keberkahan dalam hidup.
4.4. Mendapatkan Pahala yang Besar
Selain penghapus dosa, setiap ibadah yang kita lakukan dengan ikhlas tentu akan mendatangkan pahala dari Allah. Puasa Asyura, sebagai salah satu puasa sunnah yang paling dianjurkan, akan mendatangkan pahala yang besar bagi pelaksananya. Meskipun kita tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah pahala yang diberikan Allah, namun hadits tentang penghapusan dosa setahun menunjukkan betapa agungnya nilai ibadah ini di sisi-Nya.
Menyibukkan diri dengan amalan sunnah adalah ciri orang-orang yang beriman. Amalan sunnah berfungsi menyempurnakan ibadah wajib dan menjadi bekal tambahan di akhirat. Dengan memperbanyak amalan sunnah seperti Puasa Asyura, seorang Muslim berkesempatan untuk meningkatkan derajatnya di sisi Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
4.5. Pembeda (Tasyabbuh) dengan Kaum Yahudi
Anjuran untuk berpuasa Tasu'a (9 Muharram) bersama Asyura (10 Muharram) memiliki keutamaan tersendiri sebagai bentuk pembeda antara umat Islam dengan kaum Yahudi. Nabi Muhammad ﷺ sangat tidak menyukai umatnya menyerupai tata cara ibadah atau kebiasaan umat lain. Dengan berpuasa dua hari (9 dan 10 Muharram), kita menjaga identitas Islam yang unik dan mengikuti petunjuk Nabi ﷺ untuk selalu tampil berbeda dalam hal-hal syariat.
Meskipun Nabi ﷺ tidak sempat melaksanakan puasa Tasu'a di tahun terakhirnya, niat dan keinginan beliau sudah cukup menjadi dalil bagi kita untuk mengamalkannya. Ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga orisinalitas ajaran Islam dan menghindari peniruan tanpa dasar syar'i.
Secara keseluruhan, keutamaan Puasa Asyura ini sangatlah besar. Ia bukan hanya sekadar amalan rutin, melainkan sebuah kesempatan langka untuk membersihkan diri dari dosa, meneladani para nabi, mengungkapkan rasa syukur, dan meraih pahala berlimpah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semoga kita termasuk orang-orang yang dimudahkan untuk melaksanakannya.
5. Hukum Puasa Asyura
Setelah memahami pengertian, sejarah, dan keutamaannya, penting bagi kita untuk mengetahui hukum syar'i dari Puasa Asyura. Dalam Islam, hukum suatu amalan dapat bervariasi, mulai dari wajib, sunnah, mubah, makruh, hingga haram. Untuk Puasa Asyura, hukumnya adalah sunnah muakkadah.
5.1. Sunnah Muakkadah
Sunnah muakkadah adalah amalan sunnah yang sangat ditekankan atau dianjurkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala besar, namun tidak berdosa jika ditinggalkan. Posisi Puasa Asyura sebagai sunnah muakkadah ini disepakati oleh mayoritas ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Dasar hukum ini berasal dari fakta bahwa Nabi ﷺ sendiri berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Namun, ketika puasa Ramadhan diwajibkan, beliau memberikan pilihan kepada umatnya terkait Puasa Asyura. Dari Aisyah رضي الله عنها, ia berkata: "Dahulu pada zaman jahiliyah orang-orang Quraisy berpuasa Asyura. Nabi ﷺ pun berpuasa Asyura. Tatkala beliau tiba di Madinah, beliau berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa Asyura. Barangsiapa yang mau berpuasa, maka ia berpuasa. Barangsiapa yang tidak mau berpuasa, maka ia tidak berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, Puasa Asyura tidak lagi wajib, melainkan menjadi pilihan bagi siapa saja yang ingin mencari keutamaannya. Namun, karena keutamaannya yang sangat besar (menghapus dosa setahun), serta keinginan Nabi ﷺ untuk terus melaksanakannya dan menganjurkan Tasu'a, kedudukannya menjadi sunnah muakkadah, yakni sunnah yang sangat dianjurkan.
5.2. Berpuasa Asyura Saja Tanpa Tasu'a
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum berpuasa Asyura (10 Muharram) saja tanpa Tasu'a (9 Muharram).
- Pendapat Mayoritas Ulama (Jumhur): Mayoritas ulama berpendapat bahwa berpuasa Asyura saja hukumnya sah dan tetap mendapatkan pahala. Namun, mereka juga sepakat bahwa yang lebih utama dan sempurna adalah dengan menambahkan Puasa Tasu'a (9 Muharram) untuk menyelisihi Yahudi, sebagaimana niat Nabi ﷺ. Jika seseorang hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, ia tetap mendapatkan keutamaan penghapus dosa setahun, namun tidak mendapatkan keutamaan menyertakan Tasu'a sebagai bentuk pembeda.
- Pendapat Sebagian Ulama (Makruh Jika Hanya 10 Muharram): Sebagian ulama, seperti Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya dan sebagian ulama Syafi'iyah, berpendapat bahwa berpuasa Asyura saja (tanpa Tasu'a) hukumnya makruh. Kemakruhan ini bukan karena puasa itu sendiri tidak sah, tetapi karena tidak adanya pembeda dari praktik Yahudi, padahal Nabi ﷺ berkeinginan untuk menyelisihi mereka. Namun, ini adalah pandangan minoritas dan yang lebih kuat adalah pendapat jumhur yang menyatakan boleh tanpa makruh, namun kurang sempurna.
Untuk menghindari perbedaan pendapat dan meraih kesempurnaan pahala serta mengikuti niat Nabi ﷺ, sangat dianjurkan untuk berpuasa dua hari, yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Jika tidak memungkinkan, berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja tetap sah dan mendapatkan keutamaannya.
5.3. Puasa Tanggal 11 Muharram
Selain Puasa Tasu'a dan Asyura, ada juga anjuran sebagian ulama untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharram. Ini bisa dilakukan dalam beberapa kondisi:
- Sebagai Tambahan (9, 10, dan 11 Muharram): Beberapa ulama menganjurkan puasa tiga hari (9, 10, dan 11 Muharram) untuk lebih kuat dalam menyelisihi Yahudi, atau sebagai bentuk kehati-hatian jika terjadi kekeliruan dalam penentuan awal bulan Muharram.
- Jika Tidak Berpuasa Tasu'a (10 dan 11 Muharram): Ada pendapat yang menyatakan jika seseorang tidak dapat berpuasa pada tanggal 9 Muharram, maka dianjurkan berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram. Ini berdasarkan hadits yang meskipun sanadnya dhaif (lemah), namun dapat dijadikan pegangan dalam amalan fadhail (keutamaan amal).
Secara ringkas, hukum Puasa Asyura adalah sunnah muakkadah. Yang paling utama adalah berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Jika tidak mampu, berpuasa tanggal 10 Muharram saja tetap mendapatkan keutamaannya. Dan jika ingin lebih sempurna atau sebagai kehati-hatian, bisa menambahkan puasa tanggal 11 Muharram.
6. Tata Cara Puasa Asyura
Melaksanakan Puasa Asyura sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tata cara puasa-puasa sunnah lainnya. Namun, ada beberapa hal khusus yang perlu diperhatikan, terutama terkait niat dan waktu pelaksanaannya bersama Puasa Tasu'a.
6.1. Niat Puasa Asyura
Niat adalah rukun penting dalam setiap ibadah. Niat puasa Asyura (dan Tasu'a) dilakukan dalam hati, yaitu bertekad untuk berpuasa pada hari tersebut karena Allah Subhanahu wa Ta'ala.
6.1.1. Waktu Niat
Untuk puasa sunnah, niat boleh dilakukan sejak malam hari sebelum fajar menyingsing hingga siang hari, selama seseorang belum makan, minum, atau melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar. Ini berbeda dengan puasa wajib Ramadhan yang niatnya harus dilakukan di malam hari sebelum fajar.
- Jika niat di malam hari: Bisa diniatkan "Saya niat puasa sunnah Asyura besok hari karena Allah Ta'ala." Atau jika digabung dengan Tasu'a, "Saya niat puasa sunnah Tasu'a besok hari karena Allah Ta'ala" pada malam 9 Muharram, dan "Saya niat puasa sunnah Asyura besok hari karena Allah Ta'ala" pada malam 10 Muharram.
- Jika niat di siang hari: Apabila seseorang bangun pagi dan belum berniat puasa, namun belum makan atau minum, ia masih bisa berniat puasa sunnah. Cukup dengan bertekad dalam hati untuk berpuasa pada hari itu. Contoh, di pagi hari tanggal 10 Muharram, ia berniat dalam hati, "Saya niat puasa sunnah Asyura hari ini."
Yang terpenting adalah adanya tekad dalam hati untuk berpuasa pada hari tersebut. Pengucapan niat secara lisan (lafadz) bukanlah syarat sah puasa, namun sebagian ulama memperbolehkan untuk membantu menguatkan niat.
6.2. Waktu Pelaksanaan Puasa
Sama seperti puasa lainnya, Puasa Asyura dimulai sejak terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari (waktu Maghrib). Selama rentang waktu tersebut, seorang yang berpuasa wajib menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa.
- Puasa Tasu'a: Dilaksanakan pada tanggal 9 Muharram.
- Puasa Asyura: Dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram.
- Puasa 11 Muharram: Jika ingin melengkapi, dilaksanakan pada tanggal 11 Muharram.
Disunnahkan untuk berpuasa dua hari, yaitu 9 dan 10 Muharram (Tasu'a dan Asyura) untuk mengikuti sunnah Nabi ﷺ dan menyelisihi kaum Yahudi. Jika tidak memungkinkan puasa Tasu'a, berpuasa Asyura saja sudah cukup dan sah, serta mendapatkan keutamaan penghapus dosa setahun.
6.3. Amalan Sunnah Saat Berpuasa
- Sahur: Sangat dianjurkan untuk makan sahur sebelum fajar. Sahur adalah keberkahan, sebagaimana sabda Nabi ﷺ, "Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan." (HR. Bukhari dan Muslim). Meskipun puasa sunnah, tetap disunnahkan untuk sahur.
- Berbuka Puasa: Disunnahkan untuk segera berbuka puasa begitu matahari terbenam (waktu Maghrib). Tidak disarankan menunda berbuka. Berbuka dengan kurma dan air adalah yang paling utama, sebagaimana kebiasaan Nabi ﷺ.
- Doa Berbuka: Mengucapkan doa berbuka puasa setelah matahari terbenam: "Dzahabadh zhoma'u wabtallatil 'uruqu wa tsabatal ajru insyaallah" (Telah hilang rasa haus, urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah).
- Memperbanyak Ibadah Lain: Selain menahan diri dari makan dan minum, disunnahkan juga untuk memperbanyak amal ibadah lain seperti membaca Al-Qur'an, berzikir, bersedekah, dan menjaga lisan dari perkataan sia-sia atau dosa. Meskipun ini adalah amalan umum, namun di hari-hari yang mulia seperti Asyura, memperbanyaknya akan mendatangkan pahala yang lebih besar.
6.4. Hal-hal yang Membatalkan Puasa
Hal-hal yang membatalkan Puasa Asyura sama dengan hal-hal yang membatalkan puasa pada umumnya, yaitu:
- Makan dan minum dengan sengaja.
- Berhubungan suami istri.
- Muntah dengan sengaja.
- Keluarnya darah haid atau nifas bagi wanita.
- Gila atau pingsan sepanjang hari.
- Murtad (keluar dari Islam).
Jika terjadi salah satu pembatal tersebut, maka puasa menjadi batal dan tidak mendapatkan pahala puasa pada hari itu. Namun, karena ini puasa sunnah, tidak ada kewajiban mengqadha kecuali jika seseorang sudah berniat puasa sunnah lalu membatalkannya dengan sengaja tanpa uzur, maka disunnahkan untuk mengqadha di hari lain.
Dengan memahami tata cara ini, diharapkan kita dapat melaksanakan Puasa Asyura dengan benar, sesuai tuntunan syariat, dan mendapatkan keutamaan serta pahala yang telah dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.
7. Hubungan Puasa Asyura dengan Puasa Tasu'a dan 11 Muharram
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sejarah dan dalil, Puasa Asyura sangat erat kaitannya dengan Puasa Tasu'a (9 Muharram) dan ada juga anjuran untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharram. Kombinasi puasa-puasa ini memiliki hikmah dan tujuan syar'i yang penting.
7.1. Pentingnya Puasa Tasu'a (9 Muharram)
Puasa Tasu'a adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari kesembilan bulan Muharram. Anjuran untuk puasa ini berasal dari niat Nabi Muhammad ﷺ sendiri, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas رضي الله عنهما: "Apabila datang tahun yang akan datang, insya Allah kita akan berpuasa pada hari kesembilan." Ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ berkeinginan untuk menggabungkan puasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
Hikmah utama di balik anjuran Puasa Tasu'a adalah untuk menyelisihi kaum Yahudi. Ketika Nabi ﷺ mendapati kaum Yahudi berpuasa hanya pada hari Asyura (10 Muharram) sebagai bentuk syukur, beliau ingin membedakan ibadah umat Islam agar tidak persis sama dengan mereka. Menjaga identitas unik ibadah dalam Islam dan menghindari penyerupaan dengan kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) adalah prinsip penting dalam syariat.
Oleh karena itu, para ulama sangat menganjurkan untuk berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram secara bersamaan. Ini dianggap sebagai pelaksanaan yang paling sempurna dari sunnah Puasa Asyura, karena tidak hanya meraih keutamaan penghapus dosa, tetapi juga keutamaan mengikuti niat Nabi ﷺ untuk membedakan diri dari selain Muslim. Jika seseorang hanya berpuasa pada hari Asyura saja, ia memang tetap mendapatkan keutamaan penghapusan dosa, namun ia kehilangan keutamaan untuk menyelisihi Yahudi ini.
7.2. Anjuran Puasa Tanggal 11 Muharram
Selain puasa Tasu'a dan Asyura, beberapa ulama juga menganjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11 Muharram. Anjuran ini didasarkan pada beberapa pandangan:
- Sebagai Kehati-hatian: Anjuran puasa 11 Muharram bisa menjadi bentuk kehati-hatian jika terjadi kekeliruan dalam penentuan awal bulan Muharram. Misalnya, jika tanggal 9 atau 10 Muharram yang diyakini ternyata salah satu harinya adalah tanggal 8 atau 9 yang sebenarnya. Dengan berpuasa tiga hari (9, 10, 11 Muharram), seseorang memastikan bahwa ia pasti telah berpuasa pada hari Asyura yang sebenarnya.
- Menyempurnakan Pembeda: Ada juga yang berpendapat bahwa berpuasa tiga hari berturut-turut (9, 10, 11 Muharram) lebih sempurna dalam membedakan diri dari kaum Yahudi yang hanya berpuasa satu hari. Ini adalah pandangan dari sebagian ulama, seperti Imam Syafi'i.
- Sebagai Pengganti Jika Tidak Puasa Tasu'a: Jika seseorang tidak sempat berpuasa pada tanggal 9 Muharram, maka sebagian ulama menganjurkan agar ia berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram. Hal ini didasarkan pada hadits yang menyatakan, "Berpuasalah kalian sehari sebelum Asyura dan sehari sesudahnya." (HR. Ahmad), meskipun hadits ini dhaif (lemah), namun dapat diamalkan dalam perkara fadhailul a'mal (keutamaan amal).
Meskipun demikian, disepakati bahwa yang paling utama adalah berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Anjuran untuk berpuasa 11 Muharram adalah tambahan yang baik jika mampu dan ingin meraih keutamaan lebih.
7.3. Kombinasi Puasa yang Dianjurkan
Berdasarkan penjelasan di atas, ada beberapa kombinasi puasa yang bisa dipilih oleh seorang Muslim:
- Yang Paling Utama dan Sempurna: Berpuasa pada tanggal 9, 10, dan 11 Muharram. Ini menggabungkan keutamaan Tasu'a, Asyura, dan tambahan pembeda/kehati-hatian.
- Yang Sangat Dianjurkan (Sesuai Niat Nabi ﷺ): Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram (Tasu'a dan Asyura). Ini sudah mencukupi untuk mendapatkan keutamaan Asyura dan menyelisihi Yahudi.
- Minimal Namun Tetap Mendapat Keutamaan Penghapus Dosa: Berpuasa pada tanggal 10 Muharram (Asyura) saja. Ini adalah batas minimal untuk mendapatkan keutamaan inti dari Puasa Asyura.
Masing-masing pilihan memiliki landasan dan keutamaannya sendiri. Seorang Muslim dapat memilih sesuai dengan kemampuan dan niatnya, dengan selalu mengedepankan yang paling utama jika memungkinkan. Yang terpenting adalah melaksanakannya dengan ikhlas semata-mata mengharap ridha dan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
8. Hikmah dan Pelajaran dari Puasa Asyura
Di balik setiap syariat yang Allah turunkan dan setiap sunnah yang Nabi Muhammad ﷺ ajarkan, pasti terkandung hikmah dan pelajaran yang mendalam bagi umat manusia. Begitu pula dengan Puasa Asyura. Lebih dari sekadar ibadah ritual, Puasa Asyura mengandung nilai-nilai yang relevan dan esensial bagi kehidupan spiritual dan sosial seorang Muslim.
8.1. Mengingat Pertolongan dan Kekuasaan Allah
Puasa Asyura adalah pengingat abadi akan kekuasaan Allah yang Maha Besar dalam menolong hamba-hamba-Nya yang beriman dan menghancurkan musuh-musuh-Nya. Kisah Nabi Musa عليه السلام dan Bani Israil yang diselamatkan dari kezaliman Firaun adalah bukti nyata bahwa pertolongan Allah itu dekat bagi mereka yang bertakwa. Bahkan ketika semua jalan tertutup dan keputusasaan melanda, Allah mampu menciptakan jalan keluar dari tempat yang tidak disangka-sangka.
Pelajaran ini relevan dalam setiap sendi kehidupan. Ketika kita menghadapi kesulitan, cobaan, atau penindasan, Puasa Asyura mengingatkan kita untuk tidak putus asa. Yakinlah bahwa Allah memiliki kekuatan tak terbatas untuk mengubah keadaan dan memberikan pertolongan. Ini menumbuhkan optimisme, tawakal, dan keyakinan teguh pada takdir ilahi.
8.2. Pentingnya Rasa Syukur
Inti dari Puasa Asyura adalah rasa syukur. Nabi Musa berpuasa sebagai bentuk syukur, dan Nabi Muhammad ﷺ pun mengikuti jejaknya. Syukur adalah fondasi keimanan dan kunci pembuka keberkahan. Ketika kita berpuasa Asyura, kita tidak hanya meneladani mereka, tetapi juga secara aktif mengekspresikan terima kasih kita kepada Allah atas segala nikmat-Nya.
Rasa syukur bukan hanya diucapkan, melainkan juga diwujudkan melalui amal perbuatan. Puasa Asyura mengajarkan kita bahwa bersyukur tidak selalu dengan perayaan meriah, tetapi bisa juga dengan menahan diri dari nafsu, beribadah, dan mendekatkan diri kepada Sang Pemberi Nikmat. Ini melatih hati kita untuk selalu melihat kebaikan dalam setiap kondisi dan mengakui bahwa semua berasal dari Allah.
8.3. Menjaga Identitas Islam dan Menyelisihi yang Batil
Niat Nabi Muhammad ﷺ untuk berpuasa Tasu'a bersama Asyura adalah pelajaran penting tentang menjaga identitas Islam. Islam datang dengan syariat yang sempurna dan unik, yang membedakannya dari agama-agama lain. Umat Islam tidak boleh larut dalam kebiasaan atau ritual agama lain tanpa dasar syar'i.
Pelajaran ini mengajarkan kita untuk bangga dengan Islam, menjaga keaslian ajarannya, dan berhati-hati dalam meniru kebiasaan yang tidak sesuai dengan syariat. Dalam konteks yang lebih luas, ini juga berarti umat Islam harus memiliki jati diri yang kuat di tengah arus globalisasi dan pengaruh budaya lain, senantiasa berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah.
8.4. Keutamaan Mengikuti Sunnah Nabi Muhammad ﷺ
Puasa Asyura adalah salah satu bukti nyata keutamaan mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Melaksanakan sunnah bukan hanya mendatangkan pahala, tetapi juga keberkahan dalam hidup, petunjuk, dan kecintaan Allah. Dengan mengamalkan Puasa Asyura, kita menegaskan bahwa kita adalah umat yang setia mengikuti jejak Nabi kita yang mulia.
Setiap sunnah Nabi ﷺ adalah cahaya. Semakin banyak kita menghidupkan sunnah, semakin terang jalan hidup kita. Puasa Asyura adalah kesempatan untuk merasakan manisnya ketaatan dan dekatnya kita dengan Rasulullah ﷺ.
8.5. Refleksi dan Introspeksi Diri
Puasa secara umum, termasuk Puasa Asyura, adalah momen untuk refleksi dan introspeksi diri. Saat kita menahan lapar dan dahaga, kita diajak untuk merenungkan makna hidup, melatih kesabaran, dan mengendalikan hawa nafsu. Ini adalah kesempatan untuk mengevaluasi diri, mengakui dosa-dosa kecil yang mungkin telah kita lakukan, dan bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Janji penghapusan dosa setahun yang lalu seharusnya tidak membuat kita lalai, melainkan memotivasi kita untuk terus beristiqamah dalam kebaikan dan menjauhi dosa. Ini adalah pengingat bahwa Allah Maha Pengampun, dan pintu taubat selalu terbuka lebar bagi hamba-Nya yang ingin kembali.
8.6. Solidaritas dan Persatuan Umat
Puasa Asyura, yang dilaksanakan oleh jutaan Muslim di seluruh dunia pada hari yang sama, menciptakan rasa solidaritas dan persatuan umat. Meskipun berbeda bahasa, suku, dan negara, mereka semua terikat oleh satu ikatan keimanan dan satu sunnah Nabi. Ini adalah manifestasi dari persaudaraan Islam yang melampaui batas-batas geografis.
Hikmah dan pelajaran dari Puasa Asyura ini sangatlah kaya. Ia bukan hanya sekadar ibadah yang bersifat pribadi, melainkan juga memiliki dimensi sosial dan spiritual yang mendalam, membentuk karakter Muslim yang bersyukur, beriman, dan berpegang teguh pada syariat-Nya.
9. Kesalahpahaman Umum tentang Asyura
Meskipun Puasa Asyura adalah ibadah sunnah yang memiliki dalil kuat dan keutamaan besar, namun tidak jarang terjadi kesalahpahaman atau praktik-praktik yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat terkait hari Asyura. Penting untuk meluruskan kesalahpahaman ini agar ibadah kita diterima dan sesuai dengan sunnah.
9.1. Mengadakan Perayaan atau Ritual Khusus yang Tidak Ada Dalilnya
Di beberapa daerah atau kelompok masyarakat, ada tradisi untuk mengadakan perayaan atau ritual-ritual khusus pada hari Asyura yang tidak memiliki dasar dalam sunnah Nabi Muhammad ﷺ. Contohnya adalah:
- Membuat Bubur Asyura dengan Keyakinan Khusus: Meskipun bersedekah dan menjamu makanan adalah perbuatan baik, namun mengaitkan bubur Asyura dengan keutamaan tertentu yang spesifik pada hari itu, di luar dari keutamaan umum bersedekah, adalah hal yang tidak berdasar. Membuat dan membagikan bubur Asyura bukan merupakan syariat khusus yang diajarkan oleh Nabi ﷺ.
- Mandi Asyura dengan Keyakinan Membersihkan Dosa: Sebagian orang meyakini bahwa mandi pada hari Asyura dapat membersihkan dosa. Ini adalah keyakinan yang tidak memiliki dalil dari Al-Qur'an maupun Hadits yang shahih. Hanya taubat, istighfar, dan amalan ibadah yang disyariatkan yang dapat menghapus dosa.
- Memakai Celak atau Berhias dengan Keyakinan Keutamaan Tertentu: Ada pula yang meyakini bahwa memakai celak atau berhias pada hari Asyura memiliki keutamaan khusus. Ini juga merupakan praktik yang tidak ada dasarnya dalam sunnah Nabi ﷺ.
Semua praktik di atas, jika dilakukan dengan keyakinan bahwa itu adalah syariat khusus pada hari Asyura dan memiliki keutamaan tersendiri, maka termasuk bid'ah (inovasi dalam agama) yang tidak disukai dalam Islam. Islam mendorong umatnya untuk beribadah sesuai dengan tuntunan yang shahih, bukan dengan menambah-nambah ritual baru.
9.2. Menganggap Hari Asyura sebagai Hari Berkabung Berlebihan
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, hari Asyura juga identik dengan wafatnya cucu Nabi ﷺ, Husain bin Ali, di Karbala. Peristiwa ini adalah tragedi besar dalam sejarah Islam yang patut dikenang dengan duka dan pelajaran. Namun, ada kesalahpahaman dalam sebagian kelompok yang menjadikan hari Asyura sebagai hari berkabung yang berlebihan, dengan melakukan ritual-ritual seperti memukul-mukul diri, menangis meraung-raung, atau menganggap hari itu sebagai hari kesedihan yang wajib.
Meskipun duka atas wafatnya Husain adalah wajar, namun menjadikannya sebagai ritual berkabung tahunan dengan cara-cara yang tidak dicontohkan oleh Nabi ﷺ adalah menyimpang dari ajaran Islam. Nabi ﷺ melarang meratap, memukul-mukul pipi, atau merobek baju saat musibah. Islam mengajarkan kesabaran dan keikhlasan saat ditimpa musibah, serta mendoakan yang telah tiada.
Puasa Asyura, sesuai sunnah Nabi ﷺ, adalah hari syukur atas pertolongan Allah, bukan hari untuk berkabung secara ritualistik. Menggabungkan duka Karbala dengan ibadah puasa yang disyariatkan sebagai syukur dapat mengaburkan makna asli Puasa Asyura.
9.3. Keyakinan bahwa Asyura adalah Hari Perayaan yang Lebih Utama dari Hari Raya
Beberapa orang mungkin memiliki persepsi yang salah bahwa hari Asyura adalah hari perayaan yang lebih besar atau memiliki keutamaan lebih dari hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Ini adalah pandangan yang tidak benar. Hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, yang memiliki syariat perayaan khusus dan dilarang berpuasa.
Asyura adalah hari yang dimuliakan untuk berpuasa sunnah, bukan hari perayaan dalam makna syar'i. Keutamaan Asyura adalah pada ibadah puasanya sebagai penghapus dosa dan bentuk syukur, bukan pada perayaan atau ritual-ritual non-syar'i.
Penting bagi setiap Muslim untuk selalu merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Menghindari bid'ah dan kesalahpahaman akan menjaga kemurnian ibadah dan memastikan bahwa amalan kita diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Penutup
Puasa Asyura adalah salah satu permata ibadah dalam Islam yang memiliki nilai spiritual dan historis yang sangat tinggi. Berakar pada kisah heroik Nabi Musa عليه السلام yang diselamatkan dari kezaliman Firaun, dan kemudian dikukuhkan serta disempurnakan oleh Nabi Muhammad ﷺ, ibadah ini membawa janji penghapusan dosa setahun yang lalu, sebuah anugerah tak ternilai dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Lebih dari sekadar penghapus dosa, Puasa Asyura mengajarkan kita hikmah mendalam tentang pentingnya rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat dan pertolongan-Nya, meneladani jejak para nabi dalam ketaatan, serta menjaga identitas unik syariat Islam dari penyerupaan dengan kebiasaan agama lain. Anjuran untuk menggabungkannya dengan Puasa Tasu'a pada tanggal 9 Muharram adalah bukti nyata dari keinginan Nabi ﷺ untuk senantiasa membedakan umatnya dalam amal ibadah.
Dengan memahami sejarahnya yang kaya, dalil-dalilnya yang kuat, keutamaan-keutamaannya yang agung, serta tata cara pelaksanaannya yang benar, diharapkan setiap Muslim dapat termotivasi untuk menghidupkan sunnah mulia ini. Menjauhi segala bentuk kesalahpahaman atau praktik bid'ah yang tidak berdasar syariat adalah kunci untuk memastikan ibadah kita murni dan diterima oleh Allah.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa memberikan taufik dan hidayah kepada kita semua untuk dapat melaksanakan Puasa Asyura dan Tasu'a dengan ikhlas, sesuai tuntunan Nabi Muhammad ﷺ, sehingga kita dapat meraih keutamaan besar dan keberkahan yang dijanjikan-Nya. Mari jadikan bulan Muharram, khususnya hari Asyura, sebagai momentum untuk meningkatkan ketakwaan, membersihkan diri dari dosa, dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah wawasan keislaman kita semua.