Puasa Asyura: Niat, Tata Cara, Keutamaan, dan Hukumnya

Puasa Asyura adalah salah satu ibadah sunnah yang memiliki keutamaan luar biasa dalam Islam. Dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram, puasa ini menjadi momen penting bagi umat Muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sekaligus mengenang peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi pada hari tersebut. Lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, puasa Asyura adalah kesempatan untuk membersihkan diri dari dosa-dosa kecil setahun yang lalu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW.

Artikel ini akan mengupas tuntas segala hal mengenai puasa Asyura, mulai dari sejarah dan latar belakangnya, niat yang benar, tata cara pelaksanaannya, hingga berbagai keutamaan dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Kami juga akan membahas hukumnya dalam pandangan syariat Islam serta menjawab beberapa pertanyaan umum yang sering muncul terkait ibadah ini. Dengan pemahaman yang komprehensif, diharapkan kita semua dapat melaksanakan puasa Asyura dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, meraih pahala serta keberkahan dari Allah SWT.

1. Sejarah dan Latar Belakang Puasa Asyura

Untuk memahami sepenuhnya makna puasa Asyura, penting bagi kita untuk menelusuri sejarah dan peristiwa-peristiwa yang melatarinya. Hari Asyura, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, bukanlah hari biasa dalam kalender Islam. Ia adalah hari yang dipenuhi dengan keberkahan dan menjadi saksi bisu berbagai mukjizat serta peristiwa penting yang mengubah jalannya sejarah kemanusiaan.

1.1. Peristiwa Penyelamatan Nabi Musa AS dan Bani Israil

Penyebab utama disyariatkannya puasa Asyura bermula dari kisah heroik Nabi Musa AS dan kaumnya, Bani Israil. Mereka hidup di bawah penindasan Raja Firaun yang sangat kejam di Mesir. Firaun mengklaim dirinya sebagai tuhan dan menindas Bani Israil dengan sangat semena-mena, membunuh anak laki-laki mereka dan menjadikan mereka budak.

Allah SWT kemudian memerintahkan Nabi Musa untuk memimpin Bani Israil keluar dari Mesir menuju tanah yang dijanjikan. Namun, Firaun dan bala tentaranya mengejar mereka dengan niat untuk menghancurkan. Ketika mereka sampai di Laut Merah, di hadapan mereka terbentang lautan luas, sementara di belakang mereka pasukan Firaun semakin mendekat. Keadaan saat itu tampak tanpa harapan, membuat Bani Israil putus asa.

Jalan
Gambar: Simbol air laut terbelah dengan jalan di tengahnya, menggambarkan kisah Nabi Musa.

Di saat kritis itulah, Allah SWT memerintahkan Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya ke laut. Dengan kuasa-Nya, laut pun terbelah, membentuk jalan kering di tengah-tengahnya. Bani Israil segera menyeberang melalui jalan tersebut. Firaun dan pasukannya yang sombong tanpa ragu mengikuti di belakang. Namun, begitu Bani Israil berhasil menyeberang, Allah SWT menutup kembali laut tersebut, menenggelamkan Firaun dan seluruh bala tentaranya. Peristiwa ini terjadi pada hari Asyura.

Sebagai bentuk syukur atas penyelamatan yang agung ini, Nabi Musa AS dan kaumnya berpuasa pada hari Asyura. Puasa ini kemudian menjadi tradisi bagi umat Yahudi yang terus mereka laksanakan dari generasi ke generasi.

1.2. Kedatangan Islam dan Penetapan Puasa Asyura

Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi di sana berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya kepada mereka tentang alasan puasa tersebut. Mereka menjawab, "Ini adalah hari yang agung, hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Firaun. Maka Musa berpuasa sebagai ungkapan syukur, dan kami pun berpuasa."

Mendengar penjelasan tersebut, Rasulullah SAW bersabda, Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian. Lalu beliau pun memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa Asyura. Pada masa awal Islam, puasa Asyura bahkan wajib hukumnya, sebelum kemudian kewajiban berpuasa dialihkan ke bulan Ramadhan.

Setelah turunnya perintah puasa Ramadhan, hukum puasa Asyura berubah menjadi sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Rasulullah SAW tetap menganjurkan umatnya untuk berpuasa Asyura, karena keutamaan dan pahalanya yang besar.

1.3. Penambahan Puasa Tasu'a (9 Muharram)

Menjelang akhir hayatnya, Rasulullah SAW menyadari bahwa umat Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura. Beliau ingin umat Islam memiliki ciri khas tersendiri dalam beribadah dan tidak sama persis dengan ibadah ahli kitab lainnya. Oleh karena itu, beliau bertekad untuk berpuasa pada hari kesembilan Muharram (Tasu'a) juga pada tahun berikutnya, sebagai bentuk menyelisihi kaum Yahudi. Namun, Rasulullah SAW wafat sebelum sempat melaksanakan niat tersebut.

Meskipun demikian, niat beliau tersebut menjadi sunnah bagi umatnya. Oleh karena itu, para ulama menganjurkan agar puasa Asyura diiringi dengan puasa Tasu'a (9 Muharram) sehari sebelumnya. Ini bukan hanya untuk menyelisihi Yahudi, tetapi juga sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak terlewatkan puasa Asyura jika ada kesalahan perhitungan tanggal, serta untuk mendapatkan pahala tambahan.

"Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Muharram)."

— Sabda Nabi Muhammad SAW (HR. Muslim)

Dengan demikian, sejarah puasa Asyura adalah cerminan dari penghargaan terhadap kemenangan kebenaran atas kebatilan, serta kesyukuran atas nikmat penyelamatan Allah SWT. Ini juga menunjukkan semangat Islam untuk memiliki identitasnya sendiri dalam beribadah.

2. Niat Puasa Asyura

Niat adalah pondasi utama dalam setiap ibadah, termasuk puasa Asyura. Tanpa niat, suatu perbuatan tidak akan dianggap sebagai ibadah di sisi Allah SWT. Niat membedakan antara rutinitas sehari-hari dengan tindakan yang bernilai pahala. Dalam Islam, niat tidak harus diucapkan secara lisan, melainkan cukup dalam hati.

2.1. Lafal Niat Puasa Asyura (Transliterasi dan Arti)

Meskipun niat di hati sudah cukup, melafazkan niat secara lisan bagi sebagian mazhab (seperti Syafi'i) dianggap sunnah untuk membantu memantapkan niat di dalam hati. Berikut adalah lafal niat puasa Asyura:

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnati Asyura lillâhi ta‘âlâ.

Artinya: "Saya berniat puasa sunnah Asyura esok hari karena Allah Ta’ala."

Jika seseorang berniat puasa Tasu'a juga (pada tanggal 9 Muharram), maka niatnya adalah:

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnati Tasu‘a lillâhi ta‘âlâ.

Artinya: "Saya berniat puasa sunnah Tasu’a esok hari karena Allah Ta’ala."

2.2. Waktu Melafazkan Niat

Untuk puasa sunnah, niat boleh dilakukan pada malam hari sebelum fajar menyingsing, atau bahkan setelah terbit fajar hingga menjelang waktu zuhur, selama seseorang belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak fajar. Ini berbeda dengan puasa wajib seperti Ramadhan, yang niatnya harus dilakukan pada malam hari sebelum fajar.

Namun, yang paling afdal dan disarankan adalah niat dilakukan pada malam hari, sebelum fajar Shadiq (masuk waktu Subuh). Ini memberikan ketenangan dan kepastian dalam menjalankan ibadah.

2.3. Pentingnya Niat dalam Hati

Perlu ditekankan kembali bahwa niat yang paling utama adalah yang tulus di dalam hati. Pengucapan lisan hanyalah penguat. Jika seseorang bangun sahur dan makan sahur dengan tujuan berpuasa Asyura, itu sudah terhitung sebagai niat puasa. Bahkan jika ia tidak sahur dan baru teringat di pagi hari bahwa ini adalah hari Asyura dan ia ingin berpuasa, maka ia boleh berniat asalkan ia belum makan, minum, atau melakukan hal lain yang membatalkan puasa sejak terbit fajar.

Niat yang ikhlas akan mengarahkan seluruh anggota tubuh untuk patuh dalam melaksanakan ibadah. Niat yang benar akan membedakan antara tindakan ibadah yang mendatangkan pahala dengan tindakan kebiasaan semata. Misalnya, seseorang yang menahan diri dari makan dan minum karena sedang diet berbeda dengan orang yang menahan diri dari makan dan minum karena berpuasa demi Allah SWT. Niatlah yang membedakan nilai kedua tindakan tersebut.

Oleh karena itu, sebelum melaksanakan puasa Asyura, luangkan waktu sejenak untuk menata hati, memohon kepada Allah SWT agar diberikan kekuatan dan keikhlasan dalam beribadah, serta menerima puasa kita sebagai amalan saleh.

3. Waktu Pelaksanaan Puasa Asyura dan Tasu'a

Penentuan waktu pelaksanaan puasa Asyura sangat krusial agar ibadah ini sah dan sesuai dengan tuntunan syariat. Puasa Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Namun, para ulama sangat menganjurkan untuk juga melaksanakan puasa Tasu'a yang jatuh pada tanggal 9 Muharram.

10 Muharram
Gambar: Simbol kalender dengan tanggal 10 Muharram yang dilingkari, menunjukkan waktu puasa Asyura.

3.1. Puasa Tasu'a (9 Muharram)

Puasa Tasu'a adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada tanggal 9 Muharram, sehari sebelum puasa Asyura. Anjuran untuk berpuasa Tasu'a ini berasal dari hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

"Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Muharram)."

Meskipun Rasulullah SAW wafat sebelum sempat melaksanakannya, niat beliau ini menjadi sunnah bagi umatnya. Ada beberapa hikmah di balik anjuran puasa Tasu'a:

  1. Menyelisihi Kaum Yahudi: Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tujuan utama adalah membedakan praktik ibadah umat Islam dari Yahudi, yang hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Islam selalu menekankan identitasnya yang khas.
  2. Kehati-hatian: Dengan berpuasa dua hari (9 dan 10 Muharram), umat Muslim bisa lebih yakin tidak akan melewatkan puasa Asyura, jika terjadi kekeliruan dalam penentuan awal bulan Muharram. Misalnya, jika ternyata yang dianggap tanggal 10 Muharram sebenarnya adalah tanggal 9, maka puasa tetap sah.
  3. Pahala Berlipat Ganda: Berpuasa dua hari tentu saja akan mendatangkan pahala yang lebih besar dibandingkan hanya satu hari. Ini adalah bentuk rahmat Allah yang memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk meraih lebih banyak kebaikan.

3.2. Puasa Asyura (10 Muharram)

Ini adalah puasa inti yang memiliki keutamaan menghapus dosa setahun yang lalu. Puasa ini telah disyariatkan sejak awal Islam dan terus dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tanggal 10 Muharram adalah puncaknya, hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan menenggelamkan Firaun.

3.3. Puasa 11 Muharram (Sebagian Pendapat)

Beberapa ulama, terutama dari kalangan Syafi'iyah, bahkan menganjurkan untuk menambah puasa pada tanggal 11 Muharram. Jadi, total berpuasa tiga hari: 9, 10, dan 11 Muharram. Anjuran ini didasarkan pada keinginan untuk lebih jauh membedakan diri dari Yahudi (jika ada yang berpuasa tanggal 10 dan 11 saja), serta untuk mendapatkan lebih banyak pahala. Namun, yang paling pokok dan disepakati keutamaannya adalah kombinasi 9 dan 10 Muharram.

Dengan demikian, urutan yang paling afdal dalam melaksanakan puasa ini adalah:

  1. Puasa Tasu'a (9 Muharram) dan Puasa Asyura (10 Muharram). Ini adalah kombinasi yang paling kuat dan sesuai dengan sunnah Nabi SAW.
  2. Puasa Asyura saja (10 Muharram) jika tidak memungkinkan untuk berpuasa Tasu'a. Puasa Asyura saja tetap sah dan mendapatkan keutamaan penghapus dosa.
  3. Puasa Tasu'a (9 Muharram), Asyura (10 Muharram), dan 11 Muharram. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna menurut sebagian ulama.

Penting untuk selalu merujuk pada kalender Hijriah yang akurat untuk memastikan tanggal pelaksanaan yang tepat, karena penentuan awal bulan Muharram dapat bervariasi di setiap wilayah.

4. Tata Cara Pelaksanaan Puasa Asyura

Tata cara pelaksanaan puasa Asyura pada dasarnya sama dengan tata cara puasa sunnah lainnya, bahkan mirip dengan puasa wajib di bulan Ramadhan. Tidak ada ritual khusus yang membedakannya, yang membedakan hanyalah niat dan waktu pelaksanaannya.

4.1. Niat

Seperti yang telah dijelaskan, niat adalah syarat sahnya puasa. Niat dilakukan dalam hati, dan dianjurkan untuk melafazkannya. Waktu niat bisa pada malam hari sebelum fajar atau setelah fajar hingga menjelang zuhur, selama belum melakukan pembatal puasa. Contoh niat puasa Asyura:

Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnati Asyura lillâhi ta‘âlâ.

(Saya berniat puasa sunnah Asyura esok hari karena Allah Ta’ala.)

4.2. Sahur

Meskipun sahur bukan rukun puasa, sahur sangat dianjurkan (sunnah) dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda, Bersahurlah, karena sesungguhnya dalam sahur itu ada keberkahan. Sahur memberikan energi yang cukup untuk menahan lapar dan dahaga sepanjang hari, serta menjadi pembeda antara puasa umat Islam dengan puasa ahli kitab. Waktu sahur adalah dari pertengahan malam hingga sebelum masuk waktu Subuh (terbit fajar Shadiq). Dianjurkan untuk mengakhirkan sahur mendekati waktu Subuh.

4.3. Menahan Diri dari Pembatal Puasa

Sejak terbit fajar (waktu Subuh) hingga terbenam matahari (waktu Magrib), orang yang berpuasa wajib menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa. Pembatal puasa yang utama meliputi:

Selain menahan diri dari hal-hal fisik, orang yang berpuasa juga dianjurkan untuk menahan diri dari perkataan kotor, ghibah (menggunjing), fitnah, perbuatan maksiat, dan segala hal yang dapat mengurangi pahala puasa. Puasa sejati tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan hawa nafsu dan menjaga anggota tubuh dari dosa.

4.4. Berbuka Puasa

Ketika matahari terbenam (masuk waktu Magrib), puasa berakhir dan dianjurkan untuk segera berbuka (menyegerakan iftar). Berbuka puasa dengan kurma dan air putih adalah sunnah Rasulullah SAW. Beliau bersabda, Apabila salah seorang di antara kalian berbuka, hendaklah ia berbuka dengan kurma. Jika tidak ada, hendaklah ia berbuka dengan air, karena air itu suci. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Gambar: Simbol berbuka puasa, segelas air dan beberapa buah kurma.

Ketika berbuka puasa, dianjurkan untuk membaca doa:

Dzâhaba-zh Zama’u, wabtalati-l ‘urûqu, watsabata-l ajru, insyâ Allah.

Artinya: "Telah hilang rasa haus, dan telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala, insya Allah."

Atau doa umum berbuka puasa:
Allâhumma laka shumtu wa bika âmantu wa ‘ala rizqika afthartu. Birahmatika yâ arhamar râhimîn.

Artinya: "Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan-Mu aku beriman, dan atas rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu, wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."

Dengan mengikuti tata cara ini, umat Muslim dapat melaksanakan puasa Asyura dengan benar, sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW, dan berharap mendapatkan pahala serta keutamaan yang dijanjikan.

5. Keutamaan dan Hikmah Puasa Asyura

Puasa Asyura memiliki keutamaan yang luar biasa besar dan hikmah yang mendalam bagi umat Muslim. Memahami keutamaan ini dapat memotivasi kita untuk tidak melewatkan kesempatan emas ini, sementara memahami hikmahnya akan menambah kekhusyukan dan pemahaman kita terhadap ibadah.

5.1. Keutamaan Utama: Menghapus Dosa Setahun yang Lalu

Ini adalah keutamaan paling terkenal dan menjadi magnet bagi banyak Muslim untuk melaksanakan puasa Asyura. Rasulullah SAW bersabda:

"Puasa pada hari Arafah (9 Dzulhijjah) dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Dan puasa pada hari Asyura (10 Muharram) dapat menghapus dosa setahun yang lalu."

— Hadis Riwayat Muslim

Imam An-Nawawi, seorang ulama besar mazhab Syafi'i, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "dosa" dalam hadis ini adalah dosa-dosa kecil (saghair). Adapun dosa-dosa besar (kabair) memerlukan taubat nasuha (taubat yang sungguh-sungguh) untuk diampuni. Meskipun demikian, keutamaan menghapus dosa setahun yang lalu dari puasa Asyura adalah hadiah yang sangat besar dari Allah SWT, menunjukkan betapa pemurahnya Dia kepada hamba-hamba-Nya.

Manfaat penghapusan dosa ini mencakup dosa-dosa yang dilakukan dalam setahun terakhir. Ini adalah kesempatan berharga untuk memulai lembaran baru dengan catatan amal yang lebih bersih, memotivasi kita untuk lebih berhati-hati dalam bertindak di masa mendatang.

5.2. Puasa Terbaik Setelah Ramadhan

Selain menghapus dosa, puasa di bulan Muharram secara umum, dan khususnya puasa Asyura, memiliki kedudukan istimewa. Rasulullah SAW bersabda:

"Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram. Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam."

— Hadis Riwayat Muslim

Hadis ini menunjukkan bahwa bulan Muharram adalah bulan yang agung, dan puasa di dalamnya adalah salah satu bentuk ibadah terbaik setelah puasa wajib Ramadhan. Ini menggarisbawahi bahwa puasa Asyura bukan hanya sekadar amalan sunnah biasa, melainkan sunnah muakkadah yang sangat dianjurkan.

5.3. Mengikuti Sunnah Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad SAW

Melaksanakan puasa Asyura berarti mengikuti jejak para nabi Allah. Nabi Musa AS berpuasa sebagai bentuk syukur atas penyelamatan kaumnya. Kemudian, Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan dan melaksanakannya, bahkan bertekad untuk berpuasa Tasu'a pula. Dengan berpuasa Asyura, kita menghidupkan kembali sunnah kedua nabi mulia ini, yang merupakan tanda cinta dan penghormatan kita kepada mereka.

5.4. Hikmah Spiritual dan Pelajaran Berharga

Selain keutamaan pahala, puasa Asyura juga mengandung hikmah spiritual yang mendalam:

  1. Mengingat Kemenangan Kebenaran atas Kebatilan: Kisah Nabi Musa dan Firaun adalah pengingat abadi bahwa kezaliman tidak akan pernah langgeng, dan kebenaran pada akhirnya akan selalu menang dengan pertolongan Allah SWT. Ini memberikan harapan dan kekuatan bagi umat Islam yang mungkin menghadapi penindasan atau tantangan.
  2. Syukur atas Nikmat Allah: Puasa Asyura adalah manifestasi syukur atas nikmat penyelamatan dan pertolongan Allah. Ini mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dalam setiap keadaan, baik suka maupun duka.
  3. Melatih Kesabaran dan Disiplin: Seperti puasa lainnya, puasa Asyura melatih kesabaran, pengendalian diri, dan disiplin. Menahan lapar, dahaga, dan hawa nafsu mengajarkan kita untuk menguasai diri dan meningkatkan ketakwaan.
  4. Meningkatkan Kualitas Takwa: Dengan melaksanakan ibadah sunnah yang sangat dianjurkan ini, kita menunjukkan ketaatan dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini akan meningkatkan kualitas takwa kita dan menguatkan ikatan spiritual dengan Sang Pencipta.
  5. Menumbuhkan Kesadaran Sejarah: Puasa Asyura mengingatkan kita akan pentingnya mempelajari sejarah Islam dan sejarah para nabi. Kisah-kisah ini bukan hanya cerita masa lalu, tetapi pelajaran hidup yang relevan hingga kini.
  6. Solidaritas Umat: Ketika jutaan Muslim di seluruh dunia berpuasa pada hari yang sama, ini menciptakan rasa kebersamaan dan solidaritas. Ini adalah pengingat akan persatuan umat Islam di bawah panji tauhid.
  7. Pembersihan Jiwa dan Hati: Selain menghapus dosa, puasa juga berfungsi sebagai pembersih jiwa. Dengan menahan diri dari godaan duniawi, hati menjadi lebih jernih, pikiran lebih fokus pada ibadah, dan jiwa menjadi lebih tenang.

Dengan demikian, puasa Asyura adalah kesempatan emas yang tidak boleh dilewatkan. Ia bukan hanya mendatangkan pahala yang besar, tetapi juga memberikan pelajaran hidup yang berharga dan membersihkan jiwa kita secara mendalam. Mari kita manfaatkan hari yang penuh berkah ini dengan sebaik-baiknya.

6. Hukum Puasa Asyura dalam Islam

Memahami hukum suatu ibadah adalah fundamental bagi setiap Muslim agar dapat melaksanakannya sesuai tuntunan syariat. Hukum puasa Asyura telah mengalami perkembangan sejak masa awal Islam hingga penetapannya seperti sekarang.

6.1. Dari Wajib Menjadi Sunnah Muakkadah

Pada awal kedatangan Islam, sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, puasa Asyura memiliki hukum wajib bagi umat Muslim. Hal ini ditegaskan dalam beberapa riwayat hadis. Misalnya, ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah dan mendapati Yahudi berpuasa Asyura, beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa dan menyatakan, Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.

Namun, setelah Allah SWT menurunkan ayat-ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan (Surah Al-Baqarah ayat 183-185), hukum puasa Asyura berubah. Kewajiban berpuasa dialihkan sepenuhnya ke bulan Ramadhan. Puasa Asyura kemudian menjadi sunnah muakkadah. Sunnah muakkadah adalah amalan sunnah yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW dan beliau sendiri sering melaksanakannya. Meninggalkannya tidak berdosa, tetapi melaksanakannya akan mendapatkan pahala yang besar dan merupakan bentuk ketaatan yang tinggi.

6.2. Dalil-Dalil Pendukung

Penetapan hukum sunnah muakkadah ini didasarkan pada beberapa hadis sahih:

  1. Hadis tentang Keutamaan Penghapusan Dosa:

    Rasulullah SAW bersabda, Puasa pada hari Asyura itu dapat menghapus dosa setahun yang lalu. (HR. Muslim). Hadis ini jelas menunjukkan keutamaan puasa Asyura yang sangat besar, mendorong umat Muslim untuk melaksanakannya.

  2. Hadis tentang Pilihan Puasa Setelah Ramadhan:

    Dari Aisyah RA, ia berkata, Dahulu hari Asyura adalah hari yang dipuasakan kaum Quraisy pada masa jahiliyah. Dan Rasulullah SAW juga mempuasakannya. Ketika beliau tiba di Madinah, beliau mempuasakannya dan memerintahkan untuk mempuasakannya. Tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, maka beliau meninggalkan (perintah wajib) puasa Asyura. Barangsiapa yang ingin berpuasa, maka berpuasalah. Dan barangsiapa yang ingin tidak berpuasa, maka tinggalkanlah. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini dengan sangat jelas menunjukkan transisi hukum dari wajib menjadi sunnah, memberikan pilihan kepada umat.

  3. Hadis tentang Puasa Muharram Sebagai yang Terbaik Setelah Ramadhan:

    Rasulullah SAW bersabda, Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram. (HR. Muslim). Meskipun hadis ini umum tentang puasa di bulan Muharram, ia tentu saja mencakup puasa Asyura sebagai bagian dari bulan tersebut, dan bahkan puncaknya, yang menunjukkan keutamaan dan anjurannya.

6.3. Konsensus Ulama

Mayoritas ulama dari berbagai mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) sepakat bahwa hukum puasa Asyura adalah sunnah muakkadah. Tidak ada perbedaan pendapat yang signifikan mengenai status hukum ini. Mereka semua berlandaskan pada hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang disebutkan di atas.

6.4. Status Puasa Tasu'a

Adapun puasa Tasu'a (9 Muharram), hukumnya juga sunnah. Anjuran ini muncul dari keinginan Nabi SAW untuk menyelisihi kaum Yahudi. Bahkan, beberapa ulama menyatakan bahwa puasa Tasu'a bersama Asyura lebih utama daripada hanya berpuasa Asyura saja, karena menyempurnakan keinginan Nabi SAW. Jika seseorang tidak mampu berpuasa Tasu'a, berpuasa Asyura saja tetap sah dan mendapatkan keutamaannya.

Secara ringkas, puasa Asyura adalah ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dan memiliki keutamaan besar, terutama dalam menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu. Melaksanakannya adalah bentuk ketaatan, syukur, dan mengikuti sunnah Nabi SAW. Umat Muslim sangat dianjurkan untuk tidak melewatkan kesempatan emas ini.

7. Kisah-Kisah Bersejarah Lain yang Dikaitkan dengan Asyura

Selain kisah penyelamatan Nabi Musa AS dari Firaun, beberapa riwayat dan tradisi juga mengaitkan hari Asyura dengan peristiwa-peristiwa penting lainnya dalam sejarah kenabian dan kemanusiaan. Meskipun tidak semua riwayat ini memiliki derajat kesahihan yang sama dengan kisah Nabi Musa, beberapa di antaranya cukup dikenal dan memberikan perspektif lebih luas tentang keagungan hari Asyura.

7.1. Kisah Nabi Nuh AS dan Bahteranya

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa pada hari Asyura, bahtera Nabi Nuh AS berlabuh dengan selamat di Gunung Judi setelah banjir besar yang menenggelamkan kaumnya yang durhaka. Nabi Nuh dan para pengikutnya yang beriman kemudian berpuasa sebagai bentuk syukur atas keselamatan yang diberikan Allah SWT.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, "Rasulullah SAW datang ke Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya, 'Ada apa ini?' Mereka menjawab, 'Ini adalah hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu.' Lalu beliau bersabda, 'Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.' Kemudian beliau berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa. Para sahabat juga berpuasa dan pada hari itu bahtera Nuh berlabuh di Gunung Judi, lalu Nuh berpuasa untuk bersyukur."

— (Riwayat Imam Ahmad, namun sebagian ulama menganggap bagian kisah Nuh ini lemah)

Meskipun ada perdebatan tentang keaslian hadis yang secara spesifik menyebutkan Nuh berpuasa di hari Asyura, kisah penyelamatan bahtera Nuh pada hari ini tetap menjadi bagian dari tradisi yang menambah kemuliaan Asyura.

7.2. Kelahiran dan Peristiwa Penting Para Nabi Lain

Beberapa sumber historis dan tafsir juga mengaitkan hari Asyura dengan berbagai peristiwa penting yang dialami oleh nabi-nabi lain, di antaranya:

Penting untuk dicatat bahwa sebagian besar riwayat ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam hadis-hadis sahih. Para ulama seringkali mengingatkan untuk tidak terlalu mengandalkan riwayat-riwayat yang lemah atau maudhu' (palsu) dalam menetapkan keutamaan suatu hari atau ibadah. Namun, penyebutan kisah-kisah ini dalam tradisi Islam menunjukkan betapa agungnya hari Asyura dalam persepsi umat Muslim, sebagai hari yang penuh berkah dan manifestasi mukjizat Allah SWT.

Fokus utama dan yang paling sahih adalah kisah Nabi Musa AS dan penyelamatan Bani Israil dari Firaun, serta anjuran Nabi Muhammad SAW untuk berpuasa Asyura sebagai bentuk syukur dan penghapus dosa. Kisah-kisah lain mungkin menambah kekayaan narasi, tetapi harus disikapi dengan kehati-hatian dalam konteks pengambilan hukum atau keutamaan.

8. Pertanyaan Umum Seputar Puasa Asyura

Berikut adalah beberapa pertanyaan umum yang sering muncul seputar puasa Asyura, beserta penjelasannya:

8.1. Bolehkah Hanya Berpuasa Asyura Saja (10 Muharram) Tanpa Tasu'a (9 Muharram)?

Ya, boleh. Jika seseorang hanya mampu atau hanya sempat berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, puasanya tetap sah dan ia tetap mendapatkan keutamaan puasa Asyura, yaitu penghapus dosa setahun yang lalu. Meskipun demikian, yang paling afdal (utama) adalah menggabungkan puasa Tasu'a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram) untuk menyempurnakan sunnah Nabi SAW dan menyelisihi ahli kitab.

8.2. Bagaimana Jika Lupa Niat di Malam Hari dan Baru Niat di Siang Hari?

Untuk puasa sunnah, termasuk puasa Asyura, niat boleh dilakukan di siang hari, asalkan memenuhi dua syarat:

  1. Belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar (Subuh).
  2. Niat dilakukan sebelum waktu zawal (tergelincirnya matahari, yaitu sebelum masuk waktu zuhur).

Jika kedua syarat ini terpenuhi, maka niat puasa Asyura di siang hari hukumnya sah.

8.3. Apakah Puasa Asyura Harus Bersamaan dengan Puasa Qadha Ramadhan?

Tidak harus. Puasa Asyura adalah puasa sunnah, sedangkan puasa qadha Ramadhan adalah puasa wajib. Idealnya, puasa qadha diselesaikan terlebih dahulu. Namun, jika seseorang memiliki utang puasa Ramadhan dan ingin sekaligus mendapatkan pahala puasa Asyura, sebagian ulama membolehkan penggabungan niat (tasyrikun-niyyah) antara puasa qadha dan puasa sunnah. Artinya, seseorang berniat untuk puasa qadha sekaligus puasa Asyura. Namun, ada juga ulama yang berpendapat bahwa pahala sunnah hanya didapat jika niat qadha terlebih dahulu terpenuhi. Untuk kehati-hatian dan mendapatkan pahala yang sempurna, lebih baik mendahulukan qadha atau berpuasa qadha di hari lain dan puasa Asyura secara terpisah.

8.4. Bagaimana Jika Hari Asyura Bertepatan dengan Hari Jumat atau Sabtu?

Dalam Islam, ada larangan mengkhususkan puasa pada hari Jumat atau Sabtu saja (tanpa diiringi hari sebelum atau sesudahnya), kecuali jika bertepatan dengan puasa yang memiliki sebab tertentu, seperti puasa Arafah, puasa Asyura, atau puasa qadha. Karena puasa Asyura memiliki sebab khusus (yaitu keutamaan hari Asyura itu sendiri), maka boleh saja berpuasa Asyura meskipun jatuh pada hari Jumat atau Sabtu. Apalagi jika diiringi dengan puasa Tasu'a (9 Muharram), maka itu sudah mencukupi dan tidak termasuk dalam larangan tersebut.

8.5. Apakah Anak-Anak Dianjurkan Berpuasa Asyura?

Anak-anak yang belum baligh tidak diwajibkan berpuasa. Namun, orang tua dianjurkan untuk melatih mereka berpuasa secara bertahap sejak dini agar terbiasa dengan ibadah ini ketika dewasa. Rasulullah SAW dan para sahabat dahulu melatih anak-anak mereka berpuasa, bahkan dengan memberikan "mainan" atau "kesibukan" agar mereka melupakan lapar hingga waktu berbuka. Melatih anak-anak berpuasa Asyura adalah salah satu cara untuk menanamkan kecintaan pada ibadah dan sunnah Nabi sejak kecil.

8.6. Apa Saja Amalan Lain yang Dianjurkan pada Hari Asyura?

Selain berpuasa, beberapa amalan lain yang dianjurkan pada hari Asyura, meskipun sebagian besar riwayatnya tidak sekuat hadis puasa Asyura, antara lain:

Penting untuk diingat bahwa puasa Asyura adalah amalan yang paling jelas dan sahih dalilnya, sehingga ini yang harus menjadi fokus utama. Amalan lain yang tidak memiliki dasar kuat dalam hadis sahih sebaiknya tidak dikhususkan secara berlebihan.

9. Menutup Muharram dengan Keberkahan Asyura

Puasa Asyura bukan sekadar ibadah sunnah biasa; ia adalah sebuah permata dalam kalender Islam, sebuah anugerah dari Allah SWT yang datang setiap awal tahun Hijriah untuk mengingatkan kita akan sejarah gemilang, keadilan ilahi, dan peluang ampunan yang tak terhingga. Dari penyelamatan heroik Nabi Musa AS hingga anjuran mulia Rasulullah SAW, hari Asyura sarat makna dan hikmah yang mendalam.

Keutamaan utamanya sebagai penghapus dosa setahun yang lalu adalah motivasi terkuat bagi setiap Muslim yang mendambakan ampunan dan keberkahan. Ini adalah kesempatan langka untuk membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan kecil, memulai lembaran baru dengan hati yang lebih suci, dan memperkuat komitmen kita kepada Allah SWT.

Melaksanakan puasa Tasu'a pada tanggal 9 Muharram, bersama dengan Asyura pada tanggal 10 Muharram, adalah bentuk penyempurnaan sunnah. Ini tidak hanya menegaskan identitas keislaman kita yang berbeda dari tradisi lain, tetapi juga menunjukkan kesungguhan kita dalam mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW. Dengan sahur yang berkah, menahan diri dari pembatal puasa dengan penuh kesabaran, dan berbuka dengan rasa syukur, kita menunaikan ibadah ini dengan cara yang paling afdal.

Lebih dari sekadar menahan lapar dan dahaga, puasa Asyura juga mengajarkan kita tentang keteguhan iman, kesabaran dalam menghadapi cobaan, dan pentingnya bersyukur atas nikmat Allah yang tak terhingga. Kisah-kisah para nabi yang dihubungkan dengan hari ini, terutama Nabi Musa, adalah pengingat abadi bahwa kebenaran akan selalu menang atas kebatilan, dan pertolongan Allah selalu menyertai hamba-hamba-Nya yang beriman.

Marilah kita manfaatkan momen berharga ini dengan sebaik-baiknya. Jangan biarkan kesempatan emas untuk meraih ampunan dan pahala berlimpah ini berlalu begitu saja. Dengan niat yang tulus dan pelaksanaan yang sesuai tuntunan, semoga Allah SWT menerima puasa Asyura kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan memberkahi kita dengan kedamaian serta kebaikan di dunia dan akhirat. Amin ya Rabbal 'alamin.

🏠 Homepage