Keutamaan Puasa Asyura: Meraih Ampunan dan Berkah Ilahi
Bulan Muharram, sebagai pembuka tahun dalam kalender Hijriah, memancarkan aura spiritualitas dan keistimewaan yang mendalam bagi umat Islam di seluruh dunia. Bulan ini bukan hanya sekadar penanda pergantian tahun, melainkan juga sebuah gerbang menuju ketaatan yang lebih intensif, kesempatan untuk introspeksi diri, dan momen untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Di antara berbagai amalan istimewa yang dapat dikerjakan di bulan suci ini, puasa Asyura menempati posisi yang sangat luhur dan memiliki keutamaan yang luar biasa, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Puasa Asyura, yang dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Muharram, adalah sebuah amalan sunnah yang dijanjikan ganjaran yang agung oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Janji tersebut bukanlah sekadar janji biasa, melainkan sebuah anugerah tak terhingga berupa pengampunan dosa-dosa kecil selama satu tahun yang telah berlalu. Keutamaan ini menjadikan puasa Asyura sebagai salah satu momen emas bagi setiap muslim yang merindukan pembersihan jiwa, penghapusan noda-noda kekhilafan, dan pembaharuan ikatan spiritual dengan Rabbnya. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk puasa Asyura, mulai dari sejarahnya yang kaya, keutamaannya yang dijanjikan, hikmah di baliknya, hingga tata cara pelaksanaannya yang benar, agar setiap muslim dapat meraih manfaat maksimal dari ibadah yang mulia ini.
Bab 1: Memahami Bulan Muharram dan Konteks Puasa Asyura
1.1 Muharram: Bulan Suci Pembuka Tahun Hijriah
Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam penanggalan Hijriah, sebuah sistem kalender yang berdasarkan peredaran bulan dan dimulai sejak peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Makkah ke Madinah. Nama "Muharram" sendiri berarti "yang diharamkan" atau "yang dimuliakan", merujuk pada salah satu dari empat bulan haram (suci) dalam Islam, di samping Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Dalam bulan-bulan haram ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang umat manusia untuk berperang, berbuat zalim, dan melakukan kemaksiatan lainnya. Pelanggaran di bulan-bulan ini dianggap lebih besar dosanya, begitu pula sebaliknya, amal kebaikan yang dilakukan di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya.
Kemuliaan bulan Muharram ini telah ditetapkan jauh sebelum masa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Al-Qur'an secara eksplisit menyebutkan tentang keberadaan empat bulan haram ini dalam Surah At-Taubah ayat 36: "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu..." Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan bulan-bulan ini adalah ketetapan ilahi yang berlaku sejak awal penciptaan.
Keistimewaan Muharram sebagai bulan suci juga ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda: "Sebaik-baik puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram." (HR. Muslim). Hadits ini secara gamblang menunjukkan betapa tingginya kedudukan puasa sunnah di bulan Muharram dibandingkan dengan puasa sunnah di bulan-bulan lainnya. Ini adalah sebuah isyarat bagi umat Islam untuk memanfaatkan kesempatan emas di bulan ini dengan memperbanyak ibadah, terutama puasa.
1.2 Asyura: Hari Kesepuluh Muharram
Kata "Asyura" berasal dari bahasa Arab yang berarti "kesepuluh". Jadi, hari Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Hari ini memiliki sejarah yang panjang dan sarat makna, bahkan sebelum kedatangan Islam. Penting untuk memahami konteks historis ini agar kita dapat menghargai sepenuhnya signifikansi puasa Asyura dalam ajaran Islam.
Di masa pra-Islam, dan juga di awal-awal periode Islam di Makkah, puasa Asyura sudah dikenal dan dipraktikkan oleh beberapa kalangan, termasuk kaum Quraisy di Makkah. Mereka berpuasa pada hari Asyura sebagai bentuk penghormatan terhadap Ka'bah, atau karena tradisi warisan dari ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang telah mengalami distorsi seiring berjalannya waktu. Bahkan, diriwayatkan bahwa di masa jahiliyah, masyarakat Makkah memiliki kebiasaan berpuasa pada hari Asyura.
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah setelah hijrah, beliau mendapati bahwa kaum Yahudi di Madinah juga berpuasa pada hari Asyura. Ketika beliau bertanya mengenai alasannya, mereka menjawab, "Ini adalah hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir'aun dan kaumnya. Maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai tanda syukur, dan kami pun berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim). Dari sini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian." Maka beliau pun berpuasa Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.
Peristiwa ini menandai pengukuhan puasa Asyura dalam syariat Islam, namun dengan nuansa yang berbeda. Jika sebelumnya ia mungkin dipraktikkan atas dasar tradisi atau penghormatan terhadap Ka'bah, kini ia dipraktikkan sebagai bentuk syukur kepada Allah atas penyelamatan Nabi Musa dan kaumnya, serta sebagai penghormatan terhadap sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri.
Bab 2: Keutamaan Utama Puasa Asyura: Penghapus Dosa Setahun yang Lalu
2.1 Hadits Utama tentang Pengampunan Dosa
Keutamaan paling agung dari puasa Asyura adalah janji pengampunan dosa. Ini adalah motivasi utama bagi umat Islam untuk tidak melewatkan kesempatan emas ini. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda dengan jelas mengenai hal ini: "Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya. Dan puasa hari Asyura, aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim).
Hadits ini adalah landasan utama mengapa puasa Asyura begitu diagungkan dalam Islam. Janji pengampunan dosa setahun yang lalu adalah karunia yang tak ternilai harganya. Bayangkan, dengan hanya berpuasa satu hari, seseorang bisa mendapatkan kesempatan untuk membersihkan catatan amal dari dosa-dosa kecil yang mungkin telah terakumulasi selama setahun penuh. Ini adalah bentuk rahmat Allah yang begitu luas, memberikan harapan bagi hamba-hamba-Nya yang ingin senantiasa kembali kepada fitrah kesucian.
2.2 Penjelasan tentang "Dosa" yang Dihapus
Para ulama tafsir hadits dan fiqh sepakat bahwa "dosa" yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah dosa-dosa kecil (shaghaa'ir). Dosa-dosa besar (kabaa'ir) memerlukan taubat yang khusus, yaitu penyesalan yang tulus, berhenti dari perbuatan dosa tersebut, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan jika terkait dengan hak orang lain, maka harus mengembalikan atau meminta maaf kepada yang bersangkutan. Puasa Asyura, seperti halnya shalat lima waktu, puasa Ramadhan, atau ibadah lainnya yang dijanjikan pengampunan dosa, berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa kecil.
Meskipun demikian, janganlah menganggap remeh dosa kecil. Dosa kecil yang terus-menerus dilakukan tanpa taubat bisa menumpuk dan menjadi dosa besar. Oleh karena itu, kesempatan pengampunan dosa melalui puasa Asyura adalah sebuah nikmat yang luar biasa, membantu seorang muslim untuk senantiasa menjaga kebersihan jiwanya. Ini adalah pengingat bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat, senantiasa membuka pintu rahmat bagi hamba-hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya.
Manfaat dari pengampunan dosa kecil ini sangat signifikan. Seorang mukmin yang dosanya diampuni akan merasakan ketenangan batin, kedekatan spiritual dengan Allah, dan motivasi yang lebih besar untuk berbuat kebaikan di masa mendatang. Ia akan merasa seolah-olah beban telah terangkat dari pundaknya, memberikannya energi baru untuk menjalani hidup dengan lebih baik dan lebih taat.
2.3 Perbandingan dengan Amalan Lain yang Menghapus Dosa
Dalam Islam, ada banyak amalan lain yang juga berfungsi sebagai penghapus dosa, terutama dosa kecil. Ini termasuk shalat lima waktu (yang satu shalat ke shalat berikutnya menghapus dosa di antaranya), shalat Jumat (yang satu Jumat ke Jumat berikutnya menghapus dosa di antaranya), puasa Ramadhan (yang satu Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapus dosa di antaranya), haji mabrur, umrah, sedekah, dan dzikir. Puasa Asyura adalah salah satu dari rangkaian amalan ini yang menjadi karunia tambahan bagi umat muslim.
Keberadaan berbagai amalan penghapus dosa ini menunjukkan betapa Allah sangat ingin mengampuni hamba-hamba-Nya. Ia tidak hanya menyediakan satu jalan, melainkan banyak jalan, agar setiap mukmin memiliki kesempatan seluas-luasnya untuk meraih ampunan dan rahmat-Nya. Ini juga mendorong seorang muslim untuk senantiasa melakukan berbagai macam kebaikan, tidak hanya terpaku pada satu jenis ibadah saja, melainkan menghidupkan seluruh aspek syariat dalam kehidupannya.
Puasa Asyura melengkapi amalan-amalan tersebut dan memberikan fokus khusus pada waktu tertentu dalam setahun. Ini menunjukkan hikmah ilahi dalam menyusun kalender ibadah, di mana setiap bulan, setiap pekan, bahkan setiap hari memiliki potensi ibadah dan pahala yang berbeda-beda, sehingga umat Islam tidak pernah kehabisan peluang untuk beramal shalih.
Bab 3: Sejarah dan Latar Belakang Puasa Asyura
3.1 Kisah Nabi Musa AS dan Fir'aun: Penyelamatan Bani Israil
Sejarah puasa Asyura sangat erat kaitannya dengan kisah monumental Nabi Musa ‘alaihissalam dan Fir'aun. Kisah ini adalah salah satu kisah paling menonjol dalam Al-Qur'an dan merupakan pelajaran tentang keesaan Allah, keadilan-Nya, dan kemenangan kebenaran atas kebatilan. Singkatnya, Fir'aun adalah penguasa Mesir yang zalim dan mengaku sebagai tuhan, menindas Bani Israil yang merupakan umat Nabi Musa. Setelah serangkaian mukjizat dan peringatan yang diabaikan oleh Fir'aun, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk membawa Bani Israil keluar dari Mesir.
Fir'aun dan pasukannya mengejar mereka hingga ke Laut Merah. Pada saat yang genting itu, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya ke laut, dan laut pun terbelah, membentuk jalan kering bagi Bani Israil. Ketika Fir'aun dan pasukannya mencoba mengikuti, laut kembali menyatu dan menenggelamkan mereka semua. Peristiwa ini terjadi pada hari Asyura.
Maka, Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur yang mendalam kepada Allah atas penyelamatan besar yang telah diberikan-Nya. Puasa ini menjadi tradisi di kalangan Bani Israil untuk memperingati hari kemenangan dan kebebasan mereka dari penindasan. Kisah ini tidak hanya mengajarkan tentang kekuasaan Allah, tetapi juga tentang pentingnya kesabaran, keyakinan, dan syukur dalam menghadapi cobaan.
Dalam konteks puasa Asyura, kita diajak untuk merenungkan kemenangan iman atas kezaliman. Ini adalah simbol kebebasan dari belenggu dosa dan penindasan ego. Ketika kita berpuasa, kita tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari hawa nafsu dan keinginan rendah, seolah-olah kita membebaskan jiwa kita dari tirani duniawi dan kembali kepada fitrah ilahi.
3.2 Sikap Nabi Muhammad SAW terhadap Puasa Asyura
Sebagaimana telah disebutkan, ketika Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Setelah mendengar alasan mereka, beliau bersabda: "Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian." Ini menunjukkan bahwa Islam mengakui dan menghormati para nabi terdahulu, serta melestarikan ajaran tauhid yang dibawa oleh mereka. Nabi Musa adalah salah satu nabi Allah, dan ajaran dasarnya adalah menyembah Allah Yang Esa.
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk melakukannya. Pada awalnya, puasa Asyura memiliki hukum wajib atau sangat dianjurkan, sehingga para sahabat sangat memperhatikannya. Ini menunjukkan betapa pentingnya hari Asyura di awal-awal dakwah Islam di Madinah. Para sahabat bahkan menganggapnya sebagai hari raya karena keutamaan dan pahalanya yang besar.
Namun, setelah turunnya perintah wajib puasa Ramadhan, kedudukan puasa Asyura berubah menjadi sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Ini adalah bentuk penyempurnaan syariat Islam, di mana puasa Ramadhan menjadi rukun Islam yang kelima dan memiliki kedudukan yang paling tinggi di antara semua puasa. Puasa Asyura kemudian menjadi pelengkap, sebuah amalan tambahan yang sangat dianjurkan bagi mereka yang ingin meraih pahala lebih.
Perubahan status ini juga menunjukkan fleksibilitas dan kebijaksanaan dalam syariat Islam. Ia tidak membebani umatnya dengan terlalu banyak kewajiban yang berat, melainkan memberikan opsi dan kesempatan untuk beramal lebih bagi mereka yang mampu dan bersemangat. Puasa Asyura menjadi salah satu dari banyak gerbang kebaikan yang dibuka oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya.
Bab 4: Penyempurnaan Amalan: Puasa Tasu'a (9 Muharram) dan Asyura
4.1 Anjuran Nabi untuk Berpuasa Tasu'a
Setelah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa kaum Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura, beliau berkeinginan untuk membedakan diri dari mereka. Sikap ini adalah prinsip umum dalam Islam untuk memiliki identitas yang khas dan berbeda dari umat-umat lain, terutama dalam hal ibadah dan tradisi. Dalam hal ini, beliau bersabda: "Jika aku hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Muharram)." (HR. Muslim).
Namun, beliau wafat sebelum Muharram tahun berikutnya tiba. Oleh karena itu, para ulama menyimpulkan bahwa sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah berpuasa pada hari kesembilan (Tasu'a) dan kesepuluh (Asyura) bulan Muharram. Ini adalah cara untuk merealisasikan keinginan beliau untuk membedakan diri dari Yahudi dan sekaligus melipatgandakan pahala puasa.
Puasa Tasu'a yang dilaksanakan pada tanggal 9 Muharram bersamaan dengan puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram adalah cara terbaik untuk melaksanakan sunnah ini. Dengan berpuasa dua hari berturut-turut, seorang muslim tidak hanya meraih keutamaan pengampunan dosa, tetapi juga mengikuti teladan Nabi dalam upaya membedakan identitas Islam.
4.2 Hikmah di Balik Tasu'a: Membedakan Diri dari Ahli Kitab
Hikmah utama di balik anjuran puasa Tasu'a adalah untuk membedakan diri dari tradisi kaum Yahudi. Dalam banyak aspek syariat, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu berusaha untuk membentuk identitas yang unik bagi umat Islam. Ini bukan sekadar perbedaan lahiriah, melainkan memiliki makna spiritual dan ideologis yang mendalam. Membedakan diri dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah bagian dari menjaga kemurnian ajaran Islam dan menghindari penyerupaan yang bisa mengaburkan batas-batas akidah.
Prinsip ini sangat penting dalam Islam. Identitas seorang muslim haruslah kuat, tegas, dan berdasarkan ajaran Al-Qur'an dan Sunnah. Ketika umat Islam meniru tradisi atau ritual umat lain tanpa dasar syar'i, ada kekhawatiran bahwa hal itu bisa mengarah pada penyerupaan yang lebih dalam dalam hal keyakinan. Oleh karena itu, dengan berpuasa Tasu'a, seorang muslim tidak hanya menambah pahala, tetapi juga meneguhkan identitas keislamannya.
Selain itu, puasa Tasu'a juga menambah kebaikan dan persiapan spiritual. Berpuasa dua hari berturut-turut akan melatih kesabaran dan ketahanan diri, serta memberikan kesempatan yang lebih luas untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah. Ini adalah bentuk lain dari rahmat Allah, di mana Dia tidak hanya memberikan satu, tetapi dua hari untuk meraih pahala yang berlipat ganda.
4.3 Pentingnya Mengamalkan Kedua Hari (9 dan 10) atau (10 dan 11)
Para ulama menjelaskan bahwa ada beberapa tingkatan dalam melaksanakan puasa Asyura:
- Yang paling utama (sempurna): Berpuasa pada tanggal 9, 10, dan 11 Muharram. Ini adalah tingkatan tertinggi karena mencakup anjuran puasa Tasu'a dan tambahan satu hari setelah Asyura, yang oleh sebagian ulama dianggap sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak tertinggal Asyura jika terjadi kesalahan perhitungan, atau sebagai tambahan untuk lebih membedakan diri.
- Yang utama: Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram (Tasu'a dan Asyura). Ini adalah tingkatan yang paling banyak dianjurkan berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ingin berpuasa Tasu'a jika hidup di tahun depan.
- Minimal: Berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja (Asyura). Jika seseorang hanya mampu berpuasa satu hari, maka berpuasa pada hari Asyura saja tetap mendapatkan keutamaan pengampunan dosa setahun yang lalu. Meskipun demikian, para ulama menganjurkan untuk tetap menggabungkannya dengan Tasu'a jika memungkinkan.
Setiap tingkatan ini memiliki keutamaan masing-masing, namun yang terbaik adalah mengikuti tingkatan yang paling sempurna. Ini menunjukkan bahwa Islam selalu mendorong umatnya untuk beramal maksimal dalam meraih kebaikan. Dengan berpuasa dua atau tiga hari, seorang muslim tidak hanya mendapatkan pahala yang lebih banyak, tetapi juga menguatkan disiplin spiritualnya dan menunjukkan kesungguhan dalam beribadah.
4.4 Fleksibilitas Jika Hanya Bisa Puasa Asyura Saja
Meskipun dianjurkan untuk berpuasa Tasu'a dan Asyura bersamaan, Islam adalah agama yang memudahkan. Jika karena suatu hal, seseorang tidak mampu berpuasa pada hari Tasu'a (misalnya karena lupa, sakit mendadak, atau baru mengetahui keutamaan Asyura pada hari itu), maka berpuasa pada hari Asyura saja tetap sah dan tetap mendapatkan keutamaan pengampunan dosa setahun yang lalu. Ini adalah bentuk rahmat dan kelonggaran dari Allah.
Tidak ada celaan bagi mereka yang hanya berpuasa Asyura saja, asalkan niatnya tulus dan ia tidak meremehkan sunnah Nabi. Namun, tentu saja, lebih baik lagi jika dapat menyempurnakan dengan Tasu'a. Fleksibilitas ini memastikan bahwa pintu kebaikan tidak tertutup bagi siapa pun yang memiliki keterbatasan, namun tetap bersemangat untuk beribadah.
Hal ini juga mencerminkan prinsip "tiada paksaan dalam agama" dan "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." Intinya adalah semangat untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan setiap langkah ke arah itu akan dihargai.
Bab 5: Berbagai Perspektif Hukum dan Pelaksanaan Puasa Asyura
5.1 Tingkatan Hukum: Sunnah Muakkadah
Puasa Asyura, setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, bergeser hukumnya menjadi sunnah muakkadah. Artinya, ia adalah ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dan memiliki penekanan yang kuat. Barangsiapa yang melaksanakannya akan mendapatkan pahala yang besar, dan barangsiapa yang meninggalkannya tidak berdosa, namun ia telah kehilangan kesempatan emas untuk meraih keutamaan yang agung.
Status sunnah muakkadah ini berbeda dengan puasa wajib seperti Ramadhan, namun lebih tinggi dari sekadar sunnah biasa. Ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menganjurkan umatnya untuk tidak melewatkan puasa ini. Hal ini juga sejalan dengan sabda Nabi yang menempatkan puasa Muharram sebagai puasa terbaik setelah Ramadhan. Oleh karena itu, seorang muslim yang bersemangat dalam kebaikan akan senantiasa berusaha untuk menghidupkan sunnah ini.
Memahami tingkatan hukum ini penting agar seorang muslim dapat memprioritaskan ibadahnya dengan benar. Puasa Ramadhan adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, sedangkan puasa Asyura adalah kesempatan tambahan untuk meraih pahala dan ampunan.
5.2 Pendapat Ulama tentang Puasa Hanya Asyura tanpa Tasu'a
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, para ulama umumnya sepakat bahwa berpuasa Asyura saja tanpa Tasu'a adalah sah dan tetap mendapatkan keutamaan pengampunan dosa setahun yang lalu. Imam An-Nawawi, salah satu ulama besar mazhab Syafi'i, menyatakan bahwa puasa Asyura saja hukumnya makruh tanzih (makruh yang mendekati mubah dan tidak berdosa) jika tanpa Tasu'a, dengan tujuan membedakan diri dari Yahudi. Namun, kemakruhan ini bersifat ringan dan tidak menghapuskan pahala puasa Asyura itu sendiri.
Ulama lain berpendapat bahwa tidak ada kemakruhan sama sekali, asalkan niatnya tulus untuk berpuasa Asyura. Yang penting adalah menjalankan sunnah Nabi semaksimal mungkin. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa kemakruhan itu muncul jika seseorang secara sengaja dan terus-menerus hanya berpuasa Asyura dengan niat menyerupai Yahudi. Namun, jika karena alasan yang tidak disengaja atau ketidakmampuan, maka tidak ada masalah.
Kesimpulannya, jika seorang muslim hanya bisa berpuasa Asyura saja, ia tetap akan mendapatkan keutamaan yang dijanjikan. Namun, jika ia ingin meraih kesempurnaan dan mengikuti teladan Nabi secara penuh, maka menggabungkannya dengan Tasu'a adalah pilihan yang lebih baik.
5.3 Tata Cara Niat dan Waktu Berpuasa
Niat adalah rukun penting dalam setiap ibadah. Niat puasa Asyura, seperti puasa sunnah lainnya, dapat dilakukan sejak malam hari atau di pagi hari sebelum tergelincir matahari (waktu Dzuhur), asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar.
Lafaz Niat (dalam hati): "Aku niat puasa sunnah Asyura karena Allah Ta'ala." Atau jika berpuasa Tasu'a: "Aku niat puasa sunnah Tasu'a karena Allah Ta'ala." Jika berpuasa kedua-duanya, niat bisa dilakukan secara terpisah untuk setiap hari, atau niat puasa sunnah Muharram secara umum. Yang terpenting adalah adanya niat dalam hati untuk berpuasa pada hari tersebut.
Waktu Berpuasa: Dimulai dari terbit fajar shadiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu maghrib). Selama waktu tersebut, seorang yang berpuasa wajib menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan hubungan suami istri.
Sama seperti puasa Ramadhan, disunnahkan untuk makan sahur sebelum terbit fajar dan menyegerakan berbuka puasa setelah terbenamnya matahari. Sahur adalah berkah, dan berbuka adalah momen kebahagiaan bagi orang yang berpuasa.
5.4 Hal-Hal yang Membatalkan Puasa (Umum)
Hal-hal yang membatalkan puasa Asyura sama dengan hal-hal yang membatalkan puasa wajib Ramadhan, yaitu:
- Makan dan minum dengan sengaja.
- Hubungan suami istri (jima') dengan sengaja.
- Muntah dengan sengaja.
- Keluarnya mani dengan sengaja (misalnya onani atau masturbasi).
- Haid atau nifas bagi wanita.
- Gila.
- Murtad (keluar dari Islam).
- Memasukkan sesuatu ke dalam rongga tubuh melalui lubang yang terbuka (seperti makan obat atau suntikan nutrisi).
Jika salah satu dari hal-hal tersebut terjadi dengan sengaja, maka puasa menjadi batal. Jika tidak sengaja (misalnya lupa makan atau minum), maka puasa tetap sah, dan ia harus melanjutkan puasanya.
5.5 Kondisi Pengecualian: Sakit, Musafir, Wanita Haid/Nifas
Islam memberikan keringanan bagi mereka yang memiliki udzur syar'i (alasan yang dibenarkan syariat) untuk tidak berpuasa. Keringanan ini berlaku baik untuk puasa wajib maupun sunnah. Bagi puasa Asyura:
- Sakit: Jika seseorang sakit dan puasa dapat memperparah sakitnya atau menghambat penyembuhan, maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa.
- Musafir: Jika seseorang sedang dalam perjalanan (musafir) dengan jarak tertentu yang dibolehkan untuk qashar shalat, maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa.
- Wanita Haid/Nifas: Wanita yang sedang mengalami haid atau nifas wajib untuk tidak berpuasa. Mereka tidak boleh berpuasa hingga suci.
Dalam kondisi-kondisi ini, seorang muslim tidak berdosa jika tidak berpuasa. Bahkan, dalam beberapa kondisi, seperti sakit parah atau haid/nifas, tidak berpuasa adalah wajib. Ini menunjukkan betapa Islam adalah agama yang mengedepankan kemudahan dan tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan mereka. Meskipun demikian, jika udzur tersebut telah hilang, seorang muslim dianjurkan untuk mengganti (qadha) puasa wajib, namun untuk puasa sunnah seperti Asyura, tidak ada kewajiban qadha. Namun, jika ia ingin meraih pahala yang sama, ia bisa berpuasa sunnah di hari lain.
Bab 6: Hikmah dan Pelajaran dari Puasa Asyura
6.1 Pentingnya Mengikuti Sunnah Nabi
Puasa Asyura adalah salah satu contoh nyata betapa pentingnya mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam setiap aspek kehidupan. Melalui puasa ini, kita tidak hanya meraih pahala, tetapi juga menunjukkan cinta dan ketaatan kepada Nabi. Mengikuti sunnah berarti mengikuti jejak langkah terbaik yang pernah ada di muka bumi, yaitu jejak langkah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Setiap sunnah yang beliau ajarkan memiliki hikmah dan manfaat, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Dengan menghidupkan sunnah, seorang muslim tidak hanya menguatkan hubungannya dengan Allah, tetapi juga mendapatkan keberkahan dalam hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat. Puasa Asyura mengajarkan kita bahwa bahkan amalan yang terlihat sederhana pun, jika dilakukan dengan mengikuti sunnah Nabi, bisa mendatangkan keutamaan yang luar biasa.
Ini juga menjadi pengingat bagi kita untuk senantiasa mencari tahu dan mengamalkan sunnah-sunnah Nabi yang lain, tidak hanya yang besar dan populer, tetapi juga yang kecil dan sering terabaikan. Karena pada dasarnya, seluruh kehidupan Nabi adalah teladan yang sempurna bagi umat manusia.
6.2 Kesempatan untuk Membersihkan Diri dari Dosa
Salah satu hikmah terbesar dari puasa Asyura adalah kesempatan untuk membersihkan diri dari dosa. Kehidupan manusia tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Setiap hari, kita mungkin secara tidak sadar melakukan dosa-dosa kecil, baik melalui ucapan, perbuatan, atau bahkan pikiran. Dosa-dosa ini, meskipun kecil, jika tidak diampuni, bisa menumpuk dan mengeraskan hati.
Puasa Asyura hadir sebagai 'pembersih' tahunan, sebuah kesempatan emas untuk menyucikan diri. Ini adalah waktu untuk introspeksi, merenungkan kesalahan-kesalahan yang telah lalu, dan bertaubat dengan tulus. Dengan berpuasa, kita tidak hanya menahan diri secara fisik, tetapi juga secara spiritual, melatih diri untuk lebih berhati-hati dalam setiap tindakan dan ucapan kita.
Amalan ini juga menanamkan harapan. Harapan bahwa Allah Maha Pengampun, dan bahwa Dia senantiasa membuka pintu taubat bagi hamba-hamba-Nya. Ini adalah motivasi untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah, meskipun kita telah banyak berbuat dosa. Selama kita masih memiliki kesempatan untuk bertaubat dan beramal shalih, maka pintu ampunan itu selalu terbuka lebar.
6.3 Memupuk Rasa Syukur atas Nikmat Islam dan Bimbingan Allah
Puasa Asyura, yang pada dasarnya adalah bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa, juga harus menjadi momen bagi kita untuk bersyukur atas nikmat Islam itu sendiri. Nikmat Islam adalah nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada kita. Islam adalah petunjuk hidup yang sempurna, yang membimbing kita menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dengan mengamalkan puasa Asyura, kita menghidupkan kembali semangat syukur yang telah diajarkan oleh para nabi terdahulu. Kita bersyukur bahwa Allah telah memberikan kita petunjuk, bahwa Dia telah mengutus seorang Nabi yang sempurna untuk membimbing kita, dan bahwa Dia senantiasa memberikan kita kesempatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya melalui berbagai ibadah.
Rasa syukur ini akan memperkuat iman kita dan membuat kita lebih menghargai setiap karunia yang telah Allah berikan. Ketika kita bersyukur, Allah berjanji akan menambah nikmat-Nya. Jadi, puasa Asyura tidak hanya menghapus dosa, tetapi juga membuka pintu rezeki dan keberkahan yang lebih luas dalam hidup kita.
6.4 Mengingat Peristiwa Besar dalam Sejarah Kenabian
Setiap ibadah dalam Islam seringkali memiliki kaitan dengan sejarah kenabian. Puasa Asyura mengingatkan kita akan kisah Nabi Musa ‘alaihissalam, perjuangannya melawan kezaliman Fir'aun, dan kemenangan yang diberikan Allah. Kisah ini adalah pelajaran abadi tentang kebenaran yang akan selalu menang, tentang kesabaran dalam menghadapi ujian, dan tentang pertolongan Allah yang akan datang pada waktu yang tepat.
Mengingat kisah-kisah para nabi membantu kita untuk memperkuat keimanan, mengambil ibrah (pelajaran) dari perjuangan mereka, dan meneladani kesabaran serta keteguhan mereka. Ini juga menegaskan bahwa Islam adalah agama yang universal, yang melestarikan ajaran tauhid dari nabi-nabi sebelumnya dan menyempurnakannya melalui Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sejarah ini juga menggarisbawahi bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Berkuasa, yang mampu menolong hamba-hamba-Nya dari segala kesulitan dan menenggelamkan musuh-musuh-Nya. Ini memberikan kita keyakinan dan optimisme dalam menghadapi tantangan hidup.
6.5 Pembentukan Karakter Muslim: Disiplin, Sabar, Qana'ah
Puasa, secara umum, adalah madrasah (sekolah) yang sangat efektif dalam membentuk karakter mulia seorang muslim. Puasa Asyura, sebagai salah satu bentuk puasa sunnah, juga memainkan peran penting dalam proses ini:
- Disiplin: Dengan menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa dari fajar hingga maghrib, seorang muslim melatih disiplin diri yang tinggi. Disiplin ini tidak hanya terbatas pada puasa, tetapi juga dapat diterapkan dalam aspek kehidupan lainnya, seperti menjaga shalat tepat waktu, bekerja dengan tekun, dan menepati janji.
- Sabar: Puasa mengajarkan kesabaran. Menahan lapar dan haus adalah bentuk kesabaran fisik, sementara menahan diri dari emosi negatif, perkataan buruk, dan perbuatan dosa adalah bentuk kesabaran spiritual. Kesabaran adalah salah satu sifat paling mulia dalam Islam, dan puasa adalah salah satu cara terbaik untuk melatihnya.
- Qana'ah (Merasa Cukup): Ketika berpuasa, kita merasakan sedikit dari penderitaan orang-orang yang kurang beruntung. Ini menumbuhkan rasa qana'ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang dimiliki, dan juga menumbuhkan empati serta keinginan untuk berbagi dengan sesama. Puasa mengajarkan kita untuk menghargai nikmat makanan dan minuman, dan tidak menyia-nyiakannya.
Melalui pembentukan karakter ini, puasa Asyura tidak hanya memberikan manfaat spiritual, tetapi juga memberikan dampak positif pada kehidupan sosial dan pribadi seorang muslim, menjadikannya individu yang lebih baik, lebih bertanggung jawab, dan lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya.
Bab 7: Integrasi Puasa Asyura dalam Kehidupan Muslim
7.1 Puasa sebagai Madrasah Spiritual
Puasa, tidak hanya Ramadhan tetapi juga puasa sunnah seperti Asyura, berfungsi sebagai madrasah spiritual yang mendidik jiwa. Ia bukan sekadar menahan lapar dan haus, melainkan proses detoksifikasi menyeluruh bagi tubuh dan jiwa. Selama berpuasa, seorang muslim diajak untuk lebih fokus pada ibadah, dzikir, tilawah Al-Qur'an, dan merenungkan makna kehidupan.
Madrasah ini mengajarkan kita tentang kendali diri (self-control) atas hawa nafsu dan keinginan duniawi. Ia membantu kita membedakan antara kebutuhan esensial dan keinginan yang berlebihan. Dengan merasakan sedikit kelaparan dan kehausan, hati menjadi lebih lembut, lebih peka terhadap penderitaan orang lain, dan lebih mudah menerima hidayah.
Puasa Asyura, meskipun hanya satu atau dua hari, memberikan jeda spiritual di tengah rutinitas harian. Ini adalah kesempatan untuk "me-recharge" iman, memperbaiki kualitas ibadah, dan kembali menyelaraskan hati dengan kehendak Ilahi. Ini adalah investasi spiritual yang keuntungannya akan kita rasakan tidak hanya di akhirat, tetapi juga dalam ketenangan hidup di dunia.
7.2 Hubungan Puasa Asyura dengan Amalan Lain
Puasa Asyura bukanlah amalan yang berdiri sendiri. Ia sebaiknya diintegrasikan dengan amalan-amalan kebaikan lainnya di bulan Muharram untuk meraih keberkahan yang maksimal. Beberapa amalan yang dapat menyertai puasa Asyura adalah:
- Doa: Bulan Muharram, dan khususnya hari Asyura, adalah waktu yang baik untuk memperbanyak doa, memohon ampunan, rahmat, dan keberkahan dari Allah. Doa orang yang berpuasa adalah salah satu doa yang mustajab.
- Dzikir dan Istighfar: Memperbanyak dzikir (mengingat Allah) dan istighfar (memohon ampunan) akan menyucikan hati dan memperkuat ikatan dengan Allah.
- Sedekah: Sedekah di bulan Muharram, terutama pada hari Asyura, sangat dianjurkan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada puasa yang lebih utama setelah puasa Ramadhan selain puasa di bulan Muharram, dan tidak ada sedekah yang lebih utama setelah sedekah wajib selain sedekah di hari Asyura." (Hadits ini populer meskipun sanadnya perlu dikaji lebih lanjut, namun semangat bersedekah di hari mulia tetap dianjurkan secara umum). Memberi makan orang berbuka puasa juga merupakan sedekah yang besar pahalanya.
- Tilawah Al-Qur'an: Membaca dan merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an akan menenangkan jiwa dan menambah pemahaman terhadap agama.
- Shalat Sunnah: Melaksanakan shalat-shalat sunnah seperti Dhuha, Rawatib, atau Qiyamul Lail akan melengkapi ibadah puasa dan mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan mengintegrasikan puasa Asyura dengan amalan-amalan ini, seorang muslim dapat menciptakan lingkungan spiritual yang kaya dan produktif, memaksimalkan potensi pahala di hari-hari yang mulia ini.
7.3 Membangun Kebiasaan Baik di Bulan Muharram
Bulan Muharram sebagai awal tahun Hijriah adalah momen yang tepat untuk memulai kebiasaan baik atau memperkuat kebiasaan yang sudah ada. Puasa Asyura dapat menjadi titik awal atau pemicu untuk konsisten dalam beribadah dan menjauhi maksiat sepanjang tahun. Misalnya, setelah merasakan manisnya pengampunan dosa, seseorang mungkin termotivasi untuk lebih menjaga shalatnya, lebih sering membaca Al-Qur'an, atau lebih peduli terhadap sesama.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang kontinyu (berkelanjutan) meskipun sedikit." (HR. Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, jangan hanya bersemangat di awal Muharram atau saat Asyura saja, tetapi usahakan untuk membawa semangat kebaikan ini ke bulan-bulan berikutnya. Puasa Asyura adalah jembatan menuju ketaatan yang lebih konsisten.
Ini adalah kesempatan untuk "reset" spiritual dan menetapkan niat baru untuk menjadi muslim yang lebih baik. Muharram adalah waktu untuk berazam kuat dalam meningkatkan takwa dan mendekatkan diri kepada Allah, dan puasa Asyura adalah salah satu cara terbaik untuk mewujudkannya.
7.4 Pentingnya Niat yang Tulus
Dalam setiap ibadah, niat adalah kunci. Niat yang tulus (ikhlas) semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah syarat diterimanya amal. Puasa Asyura tidak terkecuali. Niatkan puasa ini untuk mencari ridha Allah, mengikuti sunnah Nabi-Nya, dan meraih keutamaan pengampunan dosa yang telah dijanjikan.
Jangan berpuasa karena ingin dilihat orang lain, atau karena sekadar ikut-ikutan tanpa memahami maknanya. Niat yang bersih akan menjadikan ibadah kita memiliki bobot di sisi Allah, meskipun amalan itu terlihat sederhana. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pentingnya niat yang tulus ini menekankan bahwa ibadah bukanlah sekadar ritual kosong, melainkan sebuah dialog antara hamba dan Penciptanya, di mana hati dan tujuan menjadi hal yang paling utama. Dengan niat yang tulus, bahkan puasa Asyura yang singkat pun dapat mengantarkan kita pada derajat yang tinggi di sisi Allah.
7.5 Menghindari Perbuatan Bid'ah atau yang Tidak Diajarkan
Meskipun puasa Asyura memiliki keutamaan besar, penting untuk melaksanakan ibadah ini sesuai dengan tuntunan syariat dan sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di beberapa daerah atau tradisi, terkadang muncul amalan-amalan baru yang tidak memiliki dasar dalam Islam, atau yang dikenal sebagai bid'ah. Misalnya, mengadakan perayaan-perayaan khusus yang berlebihan, ritual-ritual tertentu yang tidak diajarkan Nabi, atau kepercayaan-kepercayaan yang menyimpang.
Dalam konteks Asyura, ada pula tradisi yang berkaitan dengan peristiwa Karbala yang menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam. Penting untuk diingat bahwa keutamaan puasa Asyura yang dijanjikan dalam hadits Nabi adalah murni karena ia adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya, serta sebagai amalan sunnah yang menghapus dosa. Keutamaan ini tidak terkait dengan peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi kemudian dalam sejarah Islam.
Seorang muslim yang cerdas harus senantiasa merujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih dalam beribadah. Menghindari bid'ah adalah bentuk penjagaan terhadap kemurnian agama. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim).
Oleh karena itu, fokuslah pada puasa Tasu'a dan Asyura (dan puasa 11 Muharram jika memungkinkan), memperbanyak doa, dzikir, dan sedekah sebagaimana yang diajarkan, tanpa menambahkan hal-hal baru yang tidak memiliki landasan syar'i.
Bab 8: Mengapa Kita Perlu Menjaga Amalan Sunnah?
8.1 Menambah Pahala dan Kedekatan dengan Allah
Amalan sunnah, termasuk puasa Asyura, adalah jembatan menuju pahala yang berlipat ganda. Setiap kali seorang muslim melakukan ibadah sunnah, ia sedang menambah pundi-pundi kebaikan di sisi Allah. Pahala yang dijanjikan untuk puasa Asyura, yaitu pengampunan dosa setahun yang lalu, adalah contoh nyata betapa besar ganjaran yang Allah sediakan untuk amalan sunnah.
Lebih dari sekadar pahala, menjaga amalan sunnah juga merupakan ekspresi dari cinta seorang hamba kepada Rabbnya. Ketika seorang hamba melakukan lebih dari yang diwajibkan, ia menunjukkan kesungguhan dan keinginan yang mendalam untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hadits qudsi, Allah berfirman: "...Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, pandangannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk memegang, dan kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya." (HR. Bukhari).
Hadits ini menunjukkan betapa luar biasa dampak amalan sunnah dalam meningkatkan kedekatan spiritual dengan Allah, bahkan hingga meraih cinta-Nya.
8.2 Menyempurnakan Kekurangan Ibadah Wajib
Tidak ada manusia yang sempurna. Dalam melaksanakan ibadah wajib, terkadang kita melakukannya dengan kurang khusyuk, kurang sempurna, atau bahkan ada beberapa kekeliruan. Amalan sunnah berfungsi sebagai penyempurna dan penambal kekurangan-kekurangan dalam ibadah wajib kita.
Pada hari Kiamat, ketika amal perbuatan manusia dihisab, jika ditemukan kekurangan dalam shalat wajibnya, Allah akan memerintahkan malaikat-Nya untuk melihat apakah hamba tersebut memiliki shalat-shalat sunnah yang bisa digunakan untuk menyempurnakan shalat wajibnya. Hal ini berlaku pula untuk ibadah-ibadah wajib lainnya.
Oleh karena itu, menjaga amalan sunnah seperti puasa Asyura adalah bentuk investasi jangka panjang yang akan sangat bermanfaat di hari perhitungan amal. Ia adalah "tabungan" kebaikan yang akan menolong kita di saat kita paling membutuhkannya.
8.3 Tanda Cinta kepada Nabi Muhammad SAW
Mengikuti sunnah adalah salah satu bukti paling jelas dari cinta seorang muslim kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Cinta kepada Nabi bukanlah sekadar ungkapan lisan, melainkan harus diwujudkan dalam ketaatan dan meneladani setiap ajaran beliau.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an: "Katakanlah (Muhammad), 'Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Ali Imran: 31). Ayat ini secara tegas mengaitkan cinta kepada Allah dengan mengikuti Rasulullah.
Dengan berpuasa Asyura dan amalan sunnah lainnya, kita menunjukkan bahwa kita ingin meneladani Nabi, menghidupkan ajarannya, dan senantiasa berada di jalan yang telah beliau tunjukkan. Ini adalah cara untuk meraih cinta Allah dan juga syafaat Nabi di hari Kiamat.
8.4 Mendapatkan Syafaat dan Keberkahan dalam Kehidupan
Selain ampunan dosa dan kedekatan dengan Allah, menjaga amalan sunnah juga dapat menjadi sebab seseorang mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di hari Kiamat. Nabi bersabda: "Syafaatku adalah untuk orang-orang yang berbuat dosa besar dari umatku." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Meskipun demikian, syafaat juga diberikan kepada mereka yang senantiasa menjaga sunnah beliau dan konsisten dalam ketaatan.
Di dunia, amalan sunnah membawa keberkahan. Keberkahan ini bisa manifestasi dalam berbagai bentuk: ketenangan hati, kemudahan dalam urusan, rezeki yang halal dan barakah, kesehatan, dan keluarga yang harmonis. Ketika Allah mencintai seorang hamba karena amalan sunnahnya, Dia akan memudahkan segala urusannya dan memberkahi kehidupannya.
Puasa Asyura, dengan janji pengampunan dosa, adalah salah satu jalan untuk meraih keberkahan ini. Dengan membersihkan diri dari dosa, seorang muslim membuka pintu-pintu rezeki dan rahmat Allah dalam hidupnya.
Bab 9: Persiapan Menjelang Puasa Asyura
9.1 Niat yang Kuat dan Ikhlas
Persiapan pertama dan terpenting adalah menanamkan niat yang kuat dan ikhlas dalam hati. Pastikan niat berpuasa bukan karena ikut-ikutan semata, tetapi murni karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan untuk meraih keutamaan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Niat ini harus dibarui dan diperkuat menjelang hari Tasu'a dan Asyura.
Niat bisa diucapkan dalam hati sejak malam hari, atau pada pagi hari sebelum waktu dzuhur bagi puasa sunnah, asalkan belum makan atau minum. Mengulang-ulang niat dan mengingatkan diri sendiri akan keutamaan puasa ini akan menambah motivasi dan kekhusyukan.
9.2 Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental
Meskipun puasa Asyura hanya satu atau dua hari, menjaga kesehatan fisik tetap penting agar dapat melaksanakannya dengan maksimal. Pastikan untuk makan sahur yang bergizi dan cukup sebelum fajar, dan berbuka dengan makanan yang sehat dan tidak berlebihan. Hindari makanan yang terlalu manis atau terlalu pedas saat sahur karena bisa menyebabkan cepat haus.
Selain fisik, kesehatan mental juga perlu dijaga. Hindari stres, perbanyak istirahat, dan fokus pada hal-hal positif. Puasa adalah momen untuk mendekatkan diri kepada Allah, jadi gunakan waktu ini untuk menenangkan pikiran dan hati dari hiruk pikuk dunia.
9.3 Mengingatkan Keluarga dan Teman
Sebagai seorang muslim yang peduli, dianjurkan untuk saling mengingatkan keutamaan puasa Asyura kepada keluarga, teman, dan orang-orang terdekat. Ajaklah mereka untuk turut serta dalam meraih pahala dan ampunan di hari yang mulia ini. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya." (HR. Muslim).
Mengingatkan orang lain adalah bentuk dakwah yang ringan namun besar pahalanya. Ini juga menciptakan suasana kebaikan dan semangat beribadah di lingkungan sekitar.
9.4 Mempelajari Kembali Hukum-Hukumnya
Sebelum melaksanakan puasa, ada baiknya untuk mengulang kembali pemahaman tentang hukum-hukum puasa Asyura, termasuk waktu pelaksanaannya, hal-hal yang membatalkan puasa, dan keringanan bagi yang memiliki udzur. Pengetahuan yang benar akan membuat ibadah lebih sah dan sempurna.
Gunakan sumber-sumber yang terpercaya dari para ulama dan kitab-kitab fiqh untuk memastikan bahwa praktik ibadah kita sesuai dengan tuntunan syariat. Jangan ragu untuk bertanya kepada orang yang berilmu jika ada keraguan.
9.5 Menghindari Kemubaziran saat Berbuka dan Sahur
Salah satu hikmah puasa adalah merasakan kelaparan dan kehausan agar timbul empati terhadap kaum dhuafa. Namun, terkadang saat berbuka puasa, kita malah cenderung berlebihan dalam menyiapkan makanan, bahkan sampai mubazir. Hindari sikap ini.
Siapkan makanan sahur dan berbuka secukupnya, yang sehat dan bergizi. Ingatlah bahwa puasa adalah tentang mengendalikan nafsu, bukan untuk melampiaskannya secara berlebihan saat berbuka. Dengan bersahaja dalam makan, kita akan lebih merasakan esensi puasa dan hikmah di baliknya.
Bahkan, saat berbuka, sunnahnya adalah menyegerakannya dengan beberapa butir kurma dan air. Ini mengajarkan kesederhanaan dan tidak berlebihan, sebuah prinsip yang sangat dihargai dalam Islam.
Bab 10: Dampak Jangka Panjang Amalan Puasa Asyura
10.1 Peningkatan Takwa dan Kesadaran Dosa
Dampak jangka panjang dari puasa Asyura, jika dilakukan dengan tulus dan penuh kesadaran, adalah peningkatan takwa. Takwa adalah rasa takut kepada Allah yang mendorong seseorang untuk selalu melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan merasakan pengampunan dosa, seorang muslim akan merasa lebih dekat dengan Allah dan termotivasi untuk menjaga ketaatan di masa depan.
Puasa Asyura juga meningkatkan kesadaran akan dosa. Setelah diingatkan akan pengampunan dosa setahun yang lalu, seseorang akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan dan ucapannya. Ia akan lebih peka terhadap dosa-dosa kecil yang mungkin dianggap remeh, dan berusaha untuk menghindarinya, serta segera bertaubat jika terlanjur melakukan kesalahan.
Kesadaran dosa ini bukan untuk membuat putus asa, melainkan untuk mendorong pada perbaikan diri terus-menerus. Ia akan menjadikan seorang muslim lebih waspada dan lebih berhati-hati dalam meniti jalan kehidupan.
10.2 Ketenteraman Hati dan Jiwa
Ketika dosa-dosa telah diampuni, hati akan merasakan ketenteraman dan kedamaian. Beban-beban yang selama ini menghimpit jiwa akan terangkat. Ini adalah salah satu buah manis dari ibadah dan taubat. Ketenteraman hati adalah salah satu nikmat terbesar di dunia, yang tidak bisa dibeli dengan harta benda.
Seorang muslim yang rutin beribadah dan bertaubat akan merasakan bahwa hatinya lebih lapang, jiwanya lebih tenang, dan hidupnya lebih berkah. Puasa Asyura menjadi salah satu sarana untuk mencapai kondisi spiritual ini, membawa kedamaian yang mendalam ke dalam diri.
10.3 Pelajaran Sejarah yang Mendalam
Kisah Nabi Musa dan Fir'aun yang melatarbelakangi puasa Asyura adalah pelajaran sejarah yang tak lekang oleh waktu. Ia mengajarkan tentang perjuangan antara kebenaran dan kebatilan, antara keadilan dan kezaliman. Kisah ini mengajarkan bahwa pada akhirnya, kebenaran akan selalu menang, dan kebatilan akan musnah, meskipun membutuhkan waktu dan kesabaran.
Pelajaran ini relevan dalam setiap zaman dan tempat. Ia mengingatkan kita untuk selalu berpihak pada kebenaran, untuk tidak takut membela yang hak, dan untuk senantiasa yakin akan pertolongan Allah. Sejarah adalah cermin masa depan, dan dengan merenungkan kisah-kisah masa lalu, kita dapat mengambil hikmah untuk menghadapi tantangan masa kini.
10.4 Memperkuat Identitas Muslim dan Ukhuwah Islamiyah
Dengan mengamalkan puasa Asyura sesuai sunnah Nabi, seorang muslim secara tidak langsung memperkuat identitas keislamannya. Ia menunjukkan bahwa ia adalah bagian dari umat yang mengikuti jejak Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang memiliki tradisi dan ritual ibadah yang khas.
Selain itu, ketika umat Islam di seluruh dunia serempak berpuasa pada hari Tasu'a dan Asyura, hal ini menciptakan rasa persatuan (ukhuwah Islamiyah). Meskipun tersebar di berbagai belahan bumi, mereka terhubung oleh satu tujuan, satu ibadah, dan satu sunnah Nabi. Ini adalah demonstrasi nyata dari kekuatan persatuan umat Islam, sebuah kekuatan yang melampaui batas geografis dan perbedaan budaya.
Puasa Asyura, dengan demikian, tidak hanya merupakan ibadah individu, tetapi juga memiliki dimensi kolektif yang mempererat tali persaudaraan antar sesama muslim.
10.5 Bekal dan Pahala di Akhirat
Pada akhirnya, setiap amalan yang kita lakukan di dunia adalah bekal untuk kehidupan di akhirat yang abadi. Puasa Asyura, dengan pahala pengampunan dosa setahun, adalah salah satu bekal terbaik yang bisa kita siapkan.
Di hari Kiamat, ketika tidak ada lagi yang bisa menolong kecuali amal perbuatan kita, pahala puasa Asyura ini akan menjadi penolong yang sangat berharga. Ia akan meringankan timbangan kebaikan kita dan menjadi sebab kita dimasukkan ke dalam surga Allah Subhanahu wa Ta'ala. Janji surga adalah motivasi tertinggi bagi seorang muslim untuk senantiasa beramal shalih.
Oleh karena itu, jangan pernah meremehkan amalan sunnah, sekecil apapun itu. Setiap ibadah adalah investasi untuk masa depan abadi kita. Puasa Asyura adalah salah satu investasi yang sangat menguntungkan, menjanjikan pengampunan dan rahmat dari Dzat Yang Maha Pemurah.
Kesimpulan
Puasa Asyura adalah permata spiritual yang tersembunyi di awal tahun Hijriah, sebuah kesempatan emas yang Allah berikan kepada umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meraih ampunan dan keberkahan yang melimpah. Dari penjelasan yang panjang lebar ini, kita dapat menyimpulkan bahwa keutamaan puasa Asyura tidak hanya terletak pada janji pengampunan dosa setahun yang lalu, melainkan juga pada hikmah-hikmah mendalam yang terkandung di dalamnya.
Puasa ini mengajarkan kita tentang pentingnya mengikuti sunnah Nabi, kesadaran akan sejarah kenabian yang kaya akan pelajaran, pembentukan karakter mulia seperti disiplin dan kesabaran, serta integrasi ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah madrasah spiritual yang mempersiapkan kita untuk menjadi hamba yang lebih baik, lebih taat, dan lebih dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Maka, mari kita manfaatkan kesempatan mulia ini dengan sebaik-baiknya. Niatkan puasa Asyura, dan lebih utama lagi puasa Tasu'a dan Asyura, dengan tulus ikhlas karena Allah. Laksanakanlah dengan penuh kesadaran, sembari memperbanyak dzikir, doa, istighfar, dan sedekah. Ingatlah selalu bahwa setiap amalan baik yang kita kerjakan adalah investasi untuk kehidupan yang abadi, dan setiap ampunan yang kita raih adalah tanda kasih sayang Allah yang tak terbatas.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menerima seluruh amal ibadah kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan senantiasa membimbing kita menuju jalan kebaikan dan ketaatan. Amin Ya Rabbal Alamin.
Wallahu a'lam bish-shawab.