Surah Az-Zumar adalah salah satu surah Makkiyah, yang sebagian besar ayat-ayatnya diturunkan di Makkah sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ciri khas surah Makkiyah adalah penekanan pada tauhid (keesaan Allah), hari kebangkitan, dan argumentasi-argumentasi yang menolak syirik serta meneguhkan kenabian Muhammad SAW. Dalam konteks ini, QS Az-Zumar [39] ayat 39 berdiri sebagai sebuah deklarasi tegas, sebuah peringatan keras, dan manifestasi keteguhan hati seorang rasul dalam menyampaikan risalah Allah.
Ayat ini merupakan bagian dari serangkaian ayat yang membahas tentang kekuasaan Allah yang tiada tara, perbandingan antara kaum Mukmin dan kaum Musyrik, serta konsekuensi dari pilihan jalan hidup masing-masing. Ia menyoroti perbedaan fundamental antara orang-orang yang beriman dan orang-orang yang mengingkari kebenaran, sekaligus menegaskan bahwa setiap individu akan bertanggung jawab atas perbuatannya dan akan melihat hasil dari pilihannya di akhirat kelak. Artikel ini akan mengupas tuntas makna, konteks, tafsir, dan relevansi QS Az-Zumar ayat 39 dalam kehidupan seorang Muslim.
۞ قُلْ يَا قَوْمِ اعْمَلُوا عَلَىٰ مَكَانَتِكُمْ إِنِّي عَامِلٌ فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
Katakanlah (Muhammad), "Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui."
I. Konteks Ayat dan Penempatan dalam Surah Az-Zumar
Untuk memahami kedalaman QS Az-Zumar [39]:39, kita perlu menempatkannya dalam alur narasi Surah Az-Zumar secara keseluruhan. Surah ini dibuka dengan penegasan bahwa Al-Qur'an diturunkan dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Setelah itu, surah ini banyak membahas tentang keesaan Allah dalam penciptaan, pengaturan alam semesta, dan dalam hak untuk disembah. Allah menyingkap kelemahan sesembahan selain-Nya, menjelaskan bagaimana manusia seharusnya bersyukur atas nikmat-Nya, dan memperingatkan tentang azab bagi yang durhaka.
Ayat-ayat sebelum ayat 39 berbicara tentang bagaimana manusia yang lalai seringkali baru mengingat Allah saat ditimpa musibah, namun kembali melupakan-Nya saat musibah berlalu. Mereka digambarkan sebagai orang-orang yang mempertuhankan hawa nafsu dan kesenangan dunia. Allah juga menegaskan bahwa Dia adalah pemilik segala sesuatu di langit dan bumi, dan bahwa Dia mampu memberikan rahmat atau menjatuhkan azab kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Tepat sebelum ayat 39, yaitu ayat 38, Allah berfirman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۚ قُلْ أَفَرَأَيْتُم مَّا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ ۚ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ ۖ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
Dan sungguh, jika engkau tanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Niscaya mereka menjawab, "Allah." Katakanlah (Muhammad), "Kalau begitu tahukah kamu tentang apa yang kamu sembah selain Allah, jika Allah hendak menimpakan bencana kepadaku, apakah mereka mampu menghilangkan bencana itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?" Katakanlah, "Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nyalah orang-orang yang bertawakal berserah diri." (QS. Az-Zumar [39]:38)
Ayat 38 ini menjadi fondasi kuat bagi ayat 39. Setelah menantang kaum musyrik dengan logika yang tak terbantahkan tentang ketidakmampuan berhala-berhala mereka, ayat 39 datang sebagai klimaks penolakan dan deklarasi pemisahan jalan. Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada kompromi dalam masalah akidah. Setiap pihak harus berpegang teguh pada jalannya masing-masing, dan hasilnya akan terungkap di kemudian hari.
Maka, ayat 39 bukan sekadar pernyataan acak, melainkan sebuah respons ilahi terhadap kekafiran dan penolakan yang keras kepala, yang datang setelah serangkaian argumentasi logis tentang keesaan dan kekuasaan Allah. Ia menandai sebuah titik di mana dakwah telah disampaikan dengan jelas, dan kini saatnya konsekuensi dari pilihan masing-masing akan segera tiba.
II. Analisis Linguistik dan Tafsir Kata Per Kata
Untuk menggali makna terdalam dari QS Az-Zumar [39]:39, kita perlu membedah setiap frasa dan kata dalam ayat ini:
1. قُلْ (Qul - Katakanlah)
Perintah 'Qul' (Katakanlah) muncul berulang kali dalam Al-Qur'an, seringkali di awal ayat-ayat penting yang mengandung pesan fundamental. Ini menunjukkan bahwa pesan yang akan disampaikan adalah langsung dari Allah, melalui lisan Nabi Muhammad SAW. Perintah ini memberikan kekuatan dan otoritas pada perkataan berikutnya. Ini bukan sekadar pendapat pribadi Nabi, melainkan wahyu yang harus disampaikan tanpa ragu atau tawar-menawar. Dalam konteks ini, 'Qul' menegaskan bahwa Allah sendiri yang memerintahkan Nabi untuk membuat deklarasi tegas ini.
2. يَا قَوْمِ (Ya Qaumi - Wahai Kaumku)
Panggilan 'Ya Qaumi' (Wahai Kaumku) menunjukkan kelembutan dan kepedulian. Meskipun Nabi diperintahkan untuk menyampaikan peringatan yang keras, panggilan ini masih menunjukkan ikatan kekerabatan dan harapan bahwa mereka akan merenung. Ini adalah panggilan dari seorang pemimpin yang peduli, yang meskipun mereka menolak ajarannya, masih berharap mereka mendapatkan hidayah. Ini adalah panggilan yang mengandung nasihat terakhir sebelum pernyataan pemisahan yang jelas. Panggilan ini juga menunjukkan bahwa Nabi telah berulang kali mencoba membimbing mereka, tetapi penolakan mereka telah mencapai puncaknya.
3. اعْمَلُوا عَلَىٰ مَكَانَتِكُمْ (I'malu 'ala Makanatikum - Berbuatlah Menurut Kedudukanmu)
Frasa ini adalah inti dari ayat ini dan memiliki beberapa dimensi makna:
- Kedudukan Fisik atau Tempat: Secara harfiah, 'makanah' berarti tempat atau posisi. Maka, 'berbuatlah di tempatmu' bisa berarti 'teruslah berbuat apa yang kalian lakukan saat ini di tempat kalian berdiri'. Ini adalah sebuah ejekan, seolah berkata, "Silakan kalian terus dengan kebatilan kalian."
- Kedudukan Spiritual atau Kondisi Hati: 'Makanah' juga bisa merujuk pada keadaan spiritual atau mental seseorang. Maka, maknanya adalah 'teruslah berbuat sesuai dengan keadaan hati, keyakinan, atau prinsip yang kalian pegang saat ini'. Bagi kaum musyrik, ini berarti teruslah dalam kesyirikan dan kekafiran mereka.
- Metode atau Cara: Kata 'makanah' juga bisa diartikan sebagai metode, gaya, atau cara seseorang melakukan sesuatu. Dalam konteks ini, 'berbuatlah menurut kedudukanmu' berarti 'teruslah berbuat dengan cara yang kalian anggap benar, sesuai dengan adat istiadat dan keyakinan nenek moyang kalian yang batil'.
- Tantangan dan Ultimatum: Lebih dari sekadar izin, ini adalah sebuah tantangan dan ultimatum. Seolah Nabi berkata, "Lakukanlah semua yang kalian bisa dengan segala daya dan upaya kalian untuk menentang kebenaran." Ini menunjukkan keyakinan mutlak Nabi akan kemenangan kebenaran dan kebatilan mereka tidak akan mampu mengalahkannya.
Imam Al-Qurtubi menafsirkan 'makanatikum' sebagai 'caranya' (على حالكم وطريقتكم), yaitu teruslah kalian di atas cara dan keadaan kalian dalam mendustakan. Sementara Ibn Katsir mengatakan, 'yakni, jika kalian terus saja pada jalan kalian, maka aku juga akan terus di jalan yang lurus'. Frasa ini menunjukkan bahwa Nabi telah menyampaikan risalah dengan jelas, dan kaum musyrik telah memilih jalan mereka sendiri, sehingga deklarasi pemisahan ini menjadi mutlak.
4. إِنِّي عَامِلٌ (Inni 'Amilun - Sesungguhnya Aku Pun Berbuat Demikian)
Ini adalah pernyataan tegas Nabi tentang posisinya yang kontras dengan kaum musyrik. Jika mereka berbuat sesuai kedudukan mereka yang batil, maka Nabi juga akan berbuat sesuai kedudukannya yang benar, yaitu berpegang teguh pada tauhid dan risalah Ilahi. Frasa ini menegaskan:
- Keteguhan Akidah: Nabi tidak akan goyah atau berkompromi dalam keimanannya. Dia akan terus berpegang pada wahyu Allah.
- Konsistensi Perbuatan: Perbuatan Nabi akan selalu sejalan dengan keyakinannya, yaitu menyeru kepada Allah semata dan mengamalkan ajaran-Nya.
- Keyakinan pada Kemenangan: Pernyataan ini menunjukkan keyakinan penuh Nabi bahwa jalannya adalah jalan yang benar dan akan membawa kemenangan.
Ini adalah manifestasi dari ayat lain seperti: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." (QS. Al-Kafirun [109]:6), namun dengan nada yang lebih menantang dan memperingatkan konsekuensi.
5. فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ (Fasaufa Ta'lamun - Kelak Kamu Akan Mengetahui)
Ini adalah ancaman sekaligus janji. Kata 'Saufa' (سوف) dalam bahasa Arab menunjukkan masa depan yang akan datang, dengan penekanan pada kepastian. Ini bukan sekadar 'akan mengetahui', tetapi 'pasti akan mengetahui' atau 'pada akhirnya kalian akan mengetahui'. Apa yang akan mereka ketahui?
- Kebenaran Risalah: Bahwa yang dibawa Nabi adalah kebenaran sejati.
- Konsekuensi Perbuatan: Bahwa perbuatan syirik dan penolakan mereka akan mendatangkan azab dan penyesalan.
- Kemenangan Islam: Bahwa pada akhirnya Islam akan unggul dan kebatilan akan lenyap.
- Realitas Hari Kiamat: Bahwa Hari Pembalasan itu nyata, dan semua janji serta ancaman Allah adalah benar.
Ancaman ini bersifat universal, mencakup dunia dan akhirat. Di dunia, mereka akan mengetahui kemenangan Nabi dan kekalahan mereka. Di akhirat, mereka akan mengetahui azab yang pedih atas kekafiran dan penolakan mereka. Ini adalah peringatan yang sangat serius, yang mengikat tindakan saat ini dengan konsekuensi masa depan yang tak terhindarkan.
Gambar mercusuar sebagai simbol keteguhan (istiqamah) dalam memegang kebenaran dan menjadi petunjuk di tengah kegelapan kebatilan, sesuai makna "kelak kamu akan mengetahui".
III. Pelajaran dan Hikmah dari QS Az-Zumar [39]:39
Ayat yang ringkas ini sarat dengan pelajaran dan hikmah yang mendalam bagi umat Islam, baik pada masa Nabi Muhammad SAW maupun di sepanjang zaman:
1. Keteguhan Akidah dan Prinsip (Istiqamah)
Pesan utama dari ayat ini adalah pentingnya keteguhan dalam berpegang pada akidah tauhid dan prinsip-prinsip Islam. Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk tidak berkompromi sedikit pun dengan kesyirikan atau kebatilan. Ini mengajarkan kepada umatnya bahwa kebenaran adalah tunggal dan tidak bisa dicampur aduk dengan kebatilan. Dalam menghadapi tekanan, ejekan, atau penolakan, seorang Muslim harus tetap teguh di atas jalannya, yakin akan kebenaran yang dipegangnya.
Keteguhan ini mencakup keteguhan dalam keyakinan (iman), keteguhan dalam perkataan (dakwah), dan keteguhan dalam perbuatan (amal saleh). Ini adalah inti dari karakter seorang Mukmin sejati, yang tidak goyah oleh badai tantangan duniawi.
2. Kejelasan Batasan antara Hak dan Batil
Ayat ini secara tegas memisahkan dua jalan yang berbeda: jalan keimanan dan jalan kekafiran. Tidak ada abu-abu, tidak ada ruang untuk dualisme. Ketika dakwah telah disampaikan dengan jelas dan kaum musyrik tetap bersikeras dengan jalan mereka, maka Nabi diperintahkan untuk menyatakan pemisahan. Ini menunjukkan bahwa dalam masalah pokok akidah, tidak ada toleransi yang berarti pencampuran atau penipisan kebenaran. Setiap orang bebas memilih jalannya, tetapi harus menanggung konsekuensinya.
Pelajaran ini sangat relevan di era modern, di mana seringkali ada desakan untuk "pluralisme agama" yang disalahpahami sebagai pencampuran semua agama menjadi satu kebenaran yang relatif. Islam mengajarkan bahwa kebenaran itu datang dari Allah dan bersifat mutlak, meskipun ia disampaikan dengan cara yang bijaksana dan penuh hikmah.
3. Konsekuensi Pilihan dan Keadilan Ilahi
Frasa "Fasaufa Ta'lamun" adalah pengingat yang kuat tentang keadilan Allah dan kepastian hari pembalasan. Setiap pilihan yang kita buat di dunia ini memiliki konsekuensi, baik di dunia maupun di akhirat. Allah adalah Hakim yang Mahaadil, dan tidak ada satu pun perbuatan manusia yang luput dari perhitungan-Nya. Orang-orang yang memilih jalan kebenaran akan mendapatkan ganjaran yang baik, sedangkan orang-orang yang memilih jalan kebatilan akan mendapatkan hukuman yang setimpal.
Ini memotivasi Mukmin untuk selalu berhati-hati dalam setiap langkah dan perbuatannya, karena ia tahu bahwa suatu hari nanti semua akan terungkap dan dipertanggungjawabkan. Bagi orang kafir, ini adalah peringatan terakhir sebelum azab yang nyata datang.
4. Kesabaran dan Keikhlasan dalam Berdakwah
Meskipun ayat ini terdengar keras, ia muncul setelah bertahun-tahun Nabi Muhammad SAW berdakwah dengan penuh kesabaran, hikmah, dan kelembutan kepada kaumnya di Makkah. Ini menunjukkan bahwa seorang dai harus menempuh berbagai cara dalam berdakwah, mulai dari nasihat yang lemah lembut hingga pernyataan tegas ketika kesabaran dan kejelasan telah mencapai batasnya. Intinya, tujuan dakwah adalah menyampaikan kebenaran, bukan menyenangkan semua orang. Keikhlasan dalam berdakwah adalah kunci, tidak mengharapkan imbalan dari manusia, melainkan hanya dari Allah.
Sikap Nabi dalam ayat ini adalah teladan bagi setiap Muslim yang berdakwah atau berusaha menyeru kepada kebaikan. Ada saatnya kita harus bersikap tegas dan tidak memberikan ruang kompromi terhadap prinsip-prinsip dasar agama, setelah upaya-upaya lembut tidak lagi membuahkan hasil.
5. Keyakinan pada Kemenangan Kebenaran
Pernyataan "Sesungguhnya aku pun berbuat (demikian)" yang diikuti dengan "Kelak kamu akan mengetahui" mencerminkan keyakinan Nabi yang mutlak pada pertolongan Allah dan kemenangan kebenaran. Ini bukan sekadar ancaman kosong, melainkan sebuah janji ilahi yang pasti terwujud. Bagi Nabi dan para pengikutnya, ayat ini adalah penenang dan peneguh semangat bahwa meskipun saat ini menghadapi kesulitan dan penolakan, pada akhirnya kebenaran akan bersinar dan kebatilan akan runtuh.
Keyakinan ini penting untuk menjaga semangat perjuangan dan optimisme, bahkan dalam situasi yang paling sulit. Mukmin sejati tidak pernah berputus asa dari rahmat dan pertolongan Allah.
IV. Relevansi Kontemporer QS Az-Zumar [39]:39
Meskipun diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu, QS Az-Zumar [39]:39 tetap memiliki relevansi yang kuat dalam menghadapi tantangan dan isu-isu kontemporer:
1. Menghadapi Relativisme Kebenaran dan Pluralisme yang Keliru
Di era modern, konsep "kebenaran" seringkali menjadi relatif, dengan anggapan bahwa semua pandangan atau keyakinan adalah sama benar. Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam relativisme semacam itu dalam hal akidah. Islam memiliki kebenarannya yang universal dan mutlak, yang tidak bisa dikompromikan. Ini bukan berarti menolak toleransi sosial antar umat beragama, tetapi menegaskan bahwa dalam keyakinan inti, Muslim harus kokoh pada fondasi Islam.
Ayat ini membantu Muslim untuk membedakan antara toleransi yang berarti hidup berdampingan secara damai dan menghormati keyakinan orang lain, dengan pluralisme yang menuntut pengakuan bahwa semua jalan menuju Tuhan adalah sama dan kebenaran itu sendiri bersifat relatif. Dalam masalah akidah, Muslim harus berkata, "Untukku agamaku, untukmu agamamu," dengan ketegasan yang sama seperti Nabi di ayat ini.
2. Keteguhan di Tengah Arus Globalisasi dan Materialisme
Globalisasi dan perkembangan teknologi informasi membawa berbagai ideologi dan gaya hidup yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti materialisme, hedonisme, dan sekularisme. Ayat 39 Az-Zumar menjadi pengingat bagi Muslim untuk tetap teguh pada prinsip-prinsip ilahiah di tengah godaan duniawi. "Berbuatlah menurut kedudukanmu" dapat diartikan sebagai "teruslah berpegang pada nilai-nilai Islammu, meski dunia di sekitarmu berubah."
Ini menuntut Muslim untuk memiliki identitas yang kuat, tidak mudah terbawa arus, dan mampu menyaring pengaruh-pengaruh negatif dengan dasar keimanan yang kokoh. Istiqamah menjadi kunci untuk tidak tergerus oleh gaya hidup yang menjauhkan dari Allah.
3. Tantangan Dakwah di Era Digital
Di era digital, dakwah menghadapi tantangan baru dengan informasi yang melimpah ruah, hoaks, dan misinformasi. Ayat ini mengajarkan pentingnya kejelasan dan ketegasan dalam menyampaikan pesan kebenaran, setelah upaya dialog dan penjelasan telah dilakukan. Pesan dakwah harus disampaikan dengan hikmah, namun tanpa mengurangi inti kebenaran Islam.
Muslim harus berani menyuarakan kebenaran Islam di ruang publik digital, meskipun mungkin akan menghadapi penolakan atau cemoohan, dengan keyakinan bahwa pada akhirnya kebenaran akan terungkap dan Allah akan menunjukkan hasil dari setiap upaya.
4. Pentingnya Konsistensi antara Iman dan Amal
Frasa "Sesungguhnya aku pun berbuat (demikian)" menekankan pentingnya konsistensi. Seorang Muslim tidak hanya beriman di hati, tetapi juga harus mewujudkan imannya dalam tindakan. Ini adalah seruan untuk menjadikan Islam sebagai panduan hidup yang komprehensif, bukan sekadar identitas formal. Konsistensi ini menjadi bukti kebenaran iman seseorang dan menjadi teladan bagi orang lain.
Dalam dunia yang serba berubah, konsistensi dalam memegang teguh nilai-nilai Islam, baik dalam ibadah, muamalah, maupun akhlak, adalah kunci untuk menjaga integritas diri dan memberikan dampak positif bagi masyarakat.
5. Optimisme dan Pengharapan akan Pertolongan Allah
Meskipun ayat ini berisi peringatan, ia juga mengandung optimisme bagi Mukmin. "Kelak kamu akan mengetahui" adalah janji Allah yang akan menunjukkan kebenaran bagi mereka yang beriman dan konsekuensi bagi yang ingkar. Ini menanamkan rasa percaya diri dan ketenangan bagi Muslim yang berpegang pada jalan Allah, bahwa usaha mereka tidak akan sia-sia dan kemenangan akhir adalah milik mereka.
Dalam menghadapi kesulitan, penindasan, atau ujian, seorang Muslim diingatkan untuk tidak berputus asa, karena janji Allah adalah pasti. Kekalahan sementara bukanlah akhir dari segalanya, karena hasil akhirnya ada di tangan Allah.
V. Kaitan dengan Ayat-ayat Al-Qur'an Lain
QS Az-Zumar [39]:39 tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari jalinan pesan Al-Qur'an yang konsisten. Ayat ini memiliki keterkaitan erat dengan banyak ayat lain yang membahas tema serupa:
1. Ketegasan dalam Akidah
Pesan tentang ketegasan akidah paling jelas terlihat dalam Surah Al-Kafirun:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah (Muhammad), "Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." (QS. Al-Kafirun [109]:1-6)
Ayat ini secara eksplisit membedakan jalan ibadah dan akidah. Meskipun konteks Az-Zumar 39 lebih kepada ultimatum dan peringatan, inti pesannya sama: tidak ada kompromi dalam tauhid dan syirik. Keduanya adalah dua jalan yang berbeda dan tidak akan pernah bertemu.
2. Kepastian Hari Pembalasan dan Konsekuensi Amal
Frasa "Fasaufa Ta'lamun" memiliki gema dalam banyak ayat yang berbicara tentang hari kiamat dan pertanggungjawaban amal:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ۙ وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS. Az-Zalzalah [99]:7-8)
Dan juga:
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ ۖ فَمَن شَاءَ فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
Dan katakanlah (Muhammad), "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir." Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al-Kahf [18]:29)
Ayat-ayat ini menguatkan makna "kelak kamu akan mengetahui" dengan menjelaskan secara rinci apa yang akan diketahui: balasan atas perbuatan, surga bagi yang beriman, dan neraka bagi yang kafir.
3. Peran Nabi sebagai Pemberi Peringatan
Banyak ayat menegaskan peran Nabi Muhammad SAW sebagai pemberi peringatan (munzir):
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Saba' [34]:28)
Perintah "Qul" dalam Az-Zumar 39 adalah bagian dari peran ini, yaitu menyampaikan peringatan Allah kepada kaumnya, bahkan jika itu berarti deklarasi pemisahan jalan.
4. Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat
Peringatan bahwa "kelak kamu akan mengetahui" berakar pada keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang tersembunyi maupun yang nyata. Manusia mungkin menyembunyikan niat atau perbuatan mereka, tetapi tidak ada yang tersembunyi dari Allah:
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Apakah (Allah) yang menciptakan itu tidak mengetahui? Padahal Dia Maha Halus, Maha Mengetahui. (QS. Al-Mulk [67]:14)
Kenyataan ini memberikan kekuatan pada ancaman "Fasaufa Ta'lamun", karena ilmu Allah adalah sempurna dan keadilan-Nya tidak pernah luput.
VI. Kisah Teladan dan Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Ayat ini tidak hanya sebuah teks, tetapi sebuah prinsip hidup yang telah dicontohkan oleh para nabi dan orang-orang saleh, serta harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim.
1. Teladan Nabi Muhammad SAW
Sejarah hidup Nabi Muhammad SAW adalah manifestasi nyata dari QS Az-Zumar [39]:39. Selama 13 tahun di Makkah, beliau menghadapi penolakan, ejekan, penganiayaan, dan boikot. Kaum kafir Quraisy berusaha menawari Nabi kompromi: menyembah tuhan mereka sehari dan mereka menyembah Allah sehari, atau membagi kekuasaan dan kekayaan. Namun, Nabi menolaknya dengan tegas, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Kafirun dan juga Az-Zumar 39 ini.
Beliau tetap teguh pada tauhid, terus berdakwah, dan tidak pernah goyah dalam keyakinannya. Keteguhan ini membuahkan hasil berupa kemenangan Islam, penaklukan Makkah, dan tersebarnya Islam ke seluruh Jazirah Arab dan dunia. Kisah Nabi adalah bukti nyata bahwa "kelak kamu akan mengetahui" itu benar-benar terwujud.
2. Keteguhan Para Sahabat
Para sahabat Nabi juga mencontohkan keteguhan ini. Bilal bin Rabah, yang disiksa dengan diletakkan batu besar di atas dadanya di bawah terik matahari, tetap mengucapkan "Ahad! Ahad!" (Allah Maha Esa!). Sumayyah, Yasir, dan Ammar bin Yasir mengalami penyiksaan brutal, dan Sumayyah menjadi syahidah pertama dalam Islam karena keteguhannya. Kisah-kisah ini menunjukkan betapa kuatnya iman ketika dihadapkan pada pilihan antara hak dan batil, hidup dan mati.
Mereka memahami makna "berbuatlah menurut kedudukanmu, sesungguhnya aku pun berbuat (demikian)" dengan sangat mendalam, dan memilih untuk tetap berada di jalan Allah, meskipun konsekuensinya sangat berat.
3. Implementasi dalam Lingkungan Keluarga
Dalam keluarga, ayat ini mengajarkan orang tua untuk menanamkan akidah yang benar kepada anak-anak sejak dini. Ketika anak-anak mulai terpapar berbagai pemikiran dan ideologi dari luar, orang tua harus menjadi benteng yang kuat, mengajarkan mereka tentang kejelasan antara hak dan batil, dan membekali mereka dengan keteguhan iman. Ini berarti mengajarkan shalat, membaca Al-Qur'an, dan nilai-nilai Islam lainnya secara konsisten.
Jika ada anggota keluarga yang terjerumus dalam kemaksiatan atau kesyirikan, seorang Muslim tetap harus berdakwah dengan hikmah dan kesabaran, namun tidak boleh berkompromi dengan prinsip-prinsip dasar agama. Kadang, setelah upaya maksimal, seseorang mungkin harus mendeklarasikan posisi mereka, bahwa jalan mereka adalah jalan Allah dan tidak akan mengikuti jalan kemaksiatan.
4. Implementasi di Masyarakat dan Lingkungan Kerja
Di lingkungan masyarakat atau kerja yang majemuk, seorang Muslim harus mampu menjaga identitas keislamannya. Ini berarti tidak ikut serta dalam perbuatan dosa atau kemaksiatan yang dilakukan mayoritas, tetap menjaga etika dan moral Islami, serta berani menyuarakan kebenaran (amar ma'ruf nahi munkar) dengan cara yang bijaksana. Misalnya, menolak terlibat dalam praktik bisnis yang riba, korupsi, atau menzalimi orang lain.
Pesan "berbuatlah menurut kedudukanmu" dapat diinterpretasikan sebagai menjalankan profesi atau peran sosial dengan integritas Islami yang tinggi, meskipun lingkungan sekitar mungkin tidak mendukung. Pada akhirnya, Allah yang akan menilai dan membalas setiap perbuatan.
5. Implementasi dalam Diri Sendiri (Jihad An-Nafs)
Pelajaran terpenting mungkin adalah implementasi dalam diri sendiri. Setiap Muslim menghadapi godaan internal (hawa nafsu) dan eksternal (setan, dunia). Ayat ini menjadi pengingat untuk selalu introspeksi dan memastikan bahwa kita teguh di atas jalan Allah, tidak mengikuti bisikan hawa nafsu atau godaan setan. "Sesungguhnya aku pun berbuat (demikian)" adalah ikrar pribadi untuk selalu konsisten dalam ibadah, akhlak, dan menjauhi maksiat.
Jihad an-nafs (perjuangan melawan hawa nafsu) adalah implementasi paling esensial dari keteguhan yang diajarkan ayat ini. Setiap hari adalah medan perjuangan untuk tetap di jalan yang lurus, yakin bahwa setiap kebaikan akan mendapat balasan dan setiap keburukan akan mendapat hukuman.
Secara keseluruhan, QS Az-Zumar [39]:39 adalah ayat yang sarat dengan kekuatan, ketegasan, dan visi masa depan. Ia menegaskan peran Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah kebenaran yang tidak akan goyah, sekaligus menjadi peringatan keras bagi mereka yang menolak dan janji akan keadilan ilahi yang pasti terwujud. Bagi seorang Muslim, ayat ini adalah peneguh hati untuk selalu istiqamah di atas jalan Allah, apapun tantangan yang dihadapi, dengan keyakinan penuh bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Adil.
VII. Kesimpulan
QS Az-Zumar [39]:39, meskipun singkat, memuat pesan-pesan fundamental yang tak lekang oleh waktu. Ia merupakan puncak dari serangkaian argumentasi yang disampaikan Allah dalam Surah Az-Zumar mengenai keesaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan kelemahan sesembahan selain-Nya. Ayat ini mewakili deklarasi akhir Nabi Muhammad SAW kepada kaumnya yang keras kepala, setelah berbagai upaya dakwah yang lembut dan argumentatif telah dilakukan.
Pesan intinya adalah tentang ketegasan dalam berakidah, kejelasan batasan antara kebenaran (hak) dan kebatilan (batil), serta kepastian akan konsekuensi dari setiap pilihan hidup. Perintah "Qul" memberikan otoritas ilahi pada perkataan Nabi. Panggilan "Ya Qaumi" menunjukkan kasih sayang yang bercampur dengan kekecewaan. Frasa "I'malu 'ala Makanatikum" adalah tantangan yang menuntut setiap pihak untuk berdiri teguh pada posisinya, baik itu di atas kebenaran atau kebatilan. Pernyataan "Inni 'Amilun" menegaskan keteguhan Nabi yang tak tergoyahkan di atas risalah Allah. Dan yang paling kuat, "Fasaufa Ta'lamun" adalah peringatan ilahi tentang hari pembalasan yang pasti akan datang, di mana setiap orang akan mengetahui hasil dari perbuatan mereka.
Bagi Muslim di sepanjang zaman, ayat ini adalah sumber inspirasi untuk keteguhan (istiqamah) dalam memegang teguh ajaran Islam di tengah berbagai godaan dan tantangan. Ia mengajarkan pentingnya konsistensi antara keyakinan dan perbuatan, keberanian dalam menyuarakan kebenaran, serta kesabaran dalam menghadapi penolakan. Lebih dari itu, ia menanamkan optimisme yang tak terbatas bahwa kebenaran pada akhirnya akan menang, dan keadilan Allah akan ditegakkan sepenuhnya.
Oleh karena itu, mari kita jadikan QS Az-Zumar [39]:39 sebagai mercusuar dalam perjalanan hidup kita, sebagai pengingat untuk senantiasa berpegang pada tali Allah yang kuat, menjadi pribadi yang teguh di atas kebenaran, dan yakin bahwa setiap amal perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Karena, "kelak kamu akan mengetahui."