Keutamaan Puasa Tasu'a dan Asyura: Panduan Lengkap dan Mendalam

Ilustrasi Bulan Sabit dan Bintang Simbol bulan sabit dan bintang yang menandakan penanggalan Islam dan ibadah puasa.

Pendahuluan: Sambutan Bulan Muharram yang Penuh Berkah

Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah, yang memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Bulan ini termasuk dalam empat bulan haram (mulia) yang disebut dalam Al-Qur'an, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Keistimewaan Muharram bukan hanya terletak pada posisinya sebagai pembuka tahun baru Islam, melainkan juga karena di dalamnya terdapat hari-hari yang sangat dianjurkan untuk beribadah, terutama puasa sunah. Dua hari puasa sunah yang paling ditekankan di bulan ini adalah puasa Tasu'a dan Asyura.

Puasa Tasu'a yang dilaksanakan pada tanggal 9 Muharram, dan puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram, memiliki sejarah panjang dan keutamaan yang luar biasa dalam tradisi Islam. Keduanya merupakan bagian dari sunah Nabi Muhammad ﷺ yang sangat dianjurkan untuk dihidupkan oleh umatnya. Melalui artikel ini, kita akan mengupas tuntas segala aspek terkait puasa Tasu'a dan Asyura, mulai dari sejarah, dasar hukum, keutamaan, tata cara pelaksanaan, hingga hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil darinya. Mari kita selami lebih dalam untuk memahami mengapa dua hari ini begitu mulia di sisi Allah SWT dan bagaimana kita dapat meraih keberkahan darinya.

Pemahaman yang komprehensif tentang puasa Tasu'a dan Asyura tidak hanya akan memperkaya wawasan keislaman kita, tetapi juga akan memotivasi kita untuk mengamalkan sunah Nabi ﷺ yang agung ini. Di tengah kesibukan dunia, momen-momen istimewa seperti ini adalah kesempatan emas untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, membersihkan jiwa, dan meraih ampunan serta pahala yang melimpah ruah. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita dalam menjalankan setiap ibadah dan amal saleh.

Mengenal Bulan Muharram: Sejarah dan Keistimewaannya

Bulan Muharram, sebagai bulan pertama dalam penanggalan Hijriyah, memiliki sejarah dan keistimewaan yang mendalam dalam Islam. Penamaan "Muharram" sendiri berarti "yang diharamkan" atau "yang dimuliakan", merujuk pada larangan berperang di bulan ini pada masa pra-Islam maupun Islam, sebagai bentuk penghormatan atas kesuciannya. Keberadaan bulan Muharram sebagai salah satu dari empat bulan haram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab) ditegaskan dalam Al-Qur'an Surat At-Taubah ayat 36:

"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu..." (QS. At-Taubah: 36)

Ayat ini menunjukkan bahwa kesucian bulan-bulan haram, termasuk Muharram, bukanlah ajaran baru dalam Islam, melainkan telah ditetapkan oleh Allah SWT sejak penciptaan alam semesta. Di bulan-bulan ini, dosa akan dilipatgandakan, namun demikian pula pahala amal kebaikan. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan menjauhi perbuatan maksiat.

Peristiwa Penting di Bulan Muharram

Muharram juga menjadi saksi bisu beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam:

  1. Perjalanan Hijrah Nabi Muhammad ﷺ: Meskipun Nabi ﷺ tiba di Madinah pada bulan Rabiul Awal, persiapan dan perencanaan Hijrah yang merupakan titik balik dalam sejarah Islam, dimulai di bulan-bulan sebelumnya. Perhitungan kalender Hijriyah sendiri dimulai dari tahun Hijrah Nabi ﷺ dari Mekah ke Madinah. Ini menandai awal peradaban Islam yang mandiri dan kuat.
  2. Kisah Nabi Musa AS dan Firaun: Salah satu peristiwa paling monumental yang terjadi pada bulan Muharram adalah penyelamatan Nabi Musa AS dan kaumnya (Bani Israil) dari kekejaman Firaun. Allah SWT membelah Laut Merah untuk mereka, menenggelamkan Firaun beserta bala tentaranya. Peristiwa agung ini menjadi alasan utama di balik puasa Asyura, yang akan kita bahas lebih lanjut.
  3. Wafatnya cucu Nabi, Husain bin Ali RA: Pada tanggal 10 Muharram, Sayyidina Husain bin Ali, cucu tercinta Nabi Muhammad ﷺ, syahid dalam tragedi Karbala. Meskipun peristiwa ini merupakan duka mendalam bagi seluruh umat Islam, penting untuk dicatat bahwa anjuran puasa Asyura sudah ada sebelum peristiwa ini, bahkan sejak masa Nabi ﷺ. Namun, bagi sebagian umat Islam, hari Asyura juga menjadi hari berkabung dan mengenang peristiwa tersebut.

Melalui keistimewaan dan peristiwa-peristiwa penting ini, Muharram layak disebut sebagai bulan yang penuh berkah dan pelajaran. Mengamalkan puasa Tasu'a dan Asyura di bulan ini adalah salah satu cara terbaik untuk menghidupkan sunah Nabi ﷺ dan meraih keberkahan ilahi.

Definisi Puasa Tasu'a dan Asyura

Untuk memahami secara utuh keutamaan dan praktik puasa di bulan Muharram, penting bagi kita untuk terlebih dahulu mengetahui definisi spesifik dari puasa Tasu'a dan Asyura. Kedua puasa ini merupakan puasa sunah yang sangat dianjurkan, namun memiliki sedikit perbedaan dalam penentuan tanggalnya.

Puasa Asyura (Hari Kesepuluh)

Secara etimologi, kata "Asyura" (عاشوراء) berasal dari kata Arab "asyara" (عشر) yang berarti sepuluh. Dengan demikian, puasa Asyura adalah puasa yang dilakukan pada tanggal 10 Muharram. Hari Asyura adalah hari yang paling utama dan menjadi fokus utama dalam anjuran puasa di bulan Muharram, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam hadis-hadis Nabi ﷺ.

Puasa Asyura memiliki keutamaan yang sangat besar, yaitu dapat menghapus dosa-dosa kecil selama satu tahun yang telah lalu. Ini adalah hadiah dari Allah SWT bagi hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam beribadah dan bertaubat. Keutamaan ini menjadikan puasa Asyura sebagai salah satu puasa sunah yang paling dinanti dan diamalkan oleh umat Muslim di seluruh dunia.

Puasa Tasu'a (Hari Kesembilan)

Kata "Tasu'a" (تاسوعاء) berasal dari kata Arab "tis'ah" (تسعة) yang berarti sembilan. Oleh karena itu, puasa Tasu'a adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Muharram. Puasa Tasu'a dianjurkan untuk menyertai puasa Asyura. Alasan utama di balik anjuran puasa Tasu'a adalah untuk membedakan praktik puasa umat Islam dari praktik puasa kaum Yahudi. Kaum Yahudi juga berpuasa pada hari kesepuluh bulan mereka (Yom Kippur), yang bertepatan dengan hari Asyura, untuk memperingati penyelamatan Nabi Musa AS.

Nabi Muhammad ﷺ, dalam keinginan untuk selalu membedakan syariat Islam dari syariat agama lain, menganjurkan umatnya untuk menambah puasa sehari sebelumnya, yaitu pada tanggal 9 Muharram (Tasu'a). Ini menunjukkan semangat Islam untuk memiliki identitasnya sendiri dan menghindari tasyabbuh (menyerupai) kaum non-Muslim dalam ritual ibadah mereka.

Dengan demikian, praktik terbaik adalah mengamalkan kedua puasa ini secara berurutan, yaitu puasa Tasu'a pada tanggal 9 Muharram, diikuti oleh puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram. Ini akan memungkinkan seorang Muslim untuk meraih keutamaan Asyura sekaligus menjalankan sunah Nabi ﷺ dalam membedakan diri dari kaum Yahudi. Jika tidak mampu berpuasa Tasu'a, puasa Asyura tetap dianjurkan, dan jika khawatir tidak mendapati tanggal 9, sebagian ulama juga menganjurkan puasa pada tanggal 11 Muharram sebagai pelengkap.

Dasar Hukum dan Keutamaan Puasa Tasu'a dan Asyura

Anjuran untuk melaksanakan puasa Tasu'a dan Asyura tidak datang tanpa dasar. Keduanya memiliki pijakan yang kuat dalam sunah Nabi Muhammad ﷺ, yang tercatat dalam berbagai hadis sahih. Keutamaan yang dijanjikan bagi pelaksananya pun sangat besar, menjadikannya salah satu ibadah sunah yang paling ditekankan.

Keutamaan Puasa Asyura

Puasa Asyura memiliki keutamaan utama yang telah disebutkan secara eksplisit oleh Nabi Muhammad ﷺ. Keutamaan ini menjadi daya tarik utama bagi umat Islam untuk berlomba-lomba mengamalkannya.

Dari Abu Qatadah Al-Anshari RA, Rasulullah ﷺ ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab: "Menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang." Beliau ditanya lagi tentang puasa hari Asyura, beliau menjawab: "Menghapus dosa-dosa setahun yang lalu." Beliau ditanya lagi tentang puasa hari Senin dan Kamis, beliau menjawab: "Pada kedua hari itu, amalan-amalan diangkat (kepada Allah), dan aku suka jika amalanku diangkat ketika aku sedang berpuasa." (HR. Muslim)

Hadis ini dengan jelas menyatakan bahwa puasa Asyura dapat menghapus dosa-dosa kecil yang telah dilakukan selama setahun yang lalu. Ini adalah karunia yang sangat besar dari Allah SWT, menunjukkan betapa mulianya hari tersebut dan betapa besar kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.

Anjuran Puasa Tasu'a dan Hikmahnya

Selain puasa Asyura, Nabi Muhammad ﷺ juga menganjurkan untuk berpuasa sehari sebelumnya, yaitu pada hari Tasu'a (9 Muharram). Anjuran ini muncul menjelang akhir hayat beliau, sebagai upaya untuk membedakan praktik ibadah umat Islam dari umat Yahudi.

Dari Ibnu Abbas RA, beliau berkata: "Ketika Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan (para sahabat) untuk berpuasa padanya, mereka (para sahabat) berkata: 'Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.' Maka Rasulullah ﷺ bersabda: 'Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu'a).' Namun, Rasulullah ﷺ wafat sebelum tahun depan tiba." (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan niat kuat Nabi ﷺ untuk berpuasa Tasu'a. Meskipun beliau tidak sempat melaksanakannya, niat dan sabda beliau sudah cukup menjadi landasan kuat bagi umatnya untuk mengamalkan puasa Tasu'a. Hikmah di balik anjuran ini adalah:

  1. Mukhalafah Ahlul Kitab (Membedakan Diri dari Ahli Kitab): Kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura (Yom Kippur) sebagai bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa AS. Islam, sebagai agama yang sempurna, memiliki identitasnya sendiri. Dengan menambah puasa Tasu'a, umat Islam menunjukkan kekhasan syariatnya.
  2. Kehati-hatian: Dengan berpuasa dua hari (9 dan 10 Muharram), umat Islam lebih memastikan bahwa mereka berpuasa pada hari yang dimaksudkan, jika terjadi perbedaan pendapat atau kekeliruan dalam penentuan awal bulan Muharram.
  3. Pahala Berlipat: Melaksanakan dua puasa tentu akan mendatangkan pahala yang lebih besar dibandingkan satu puasa. Ini juga merupakan bentuk kesungguhan dalam beribadah dan mencari keridaan Allah SWT.

Hukum Puasa Hanya Hari Asyura

Bagaimana hukumnya jika seseorang hanya berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram) saja, tanpa Tasu'a (9 Muharram) atau hari ke-11? Para ulama sepakat bahwa puasa Asyura saja hukumnya tetap sah dan mendapatkan keutamaan penghapusan dosa setahun yang lalu. Namun, sebagian ulama, seperti Imam An-Nawawi, memakruhkannya jika dilakukan secara sengaja tanpa alasan syar'i, karena dianggap menyerupai kaum Yahudi. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hukumnya tidak makruh secara mutlak, tetapi yang lebih sempurna dan utama adalah dengan menyertakan puasa Tasu'a (9 Muharram) atau puasa pada tanggal 11 Muharram. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ:

"Berpuasalah kalian pada hari Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya." (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)

Dari hadis ini, jelas bahwa puasa Tasu'a (sehari sebelumnya) adalah yang lebih diutamakan, namun puasa pada tanggal 11 Muharram juga menjadi pilihan jika puasa Tasu'a tidak memungkinkan. Intinya adalah untuk tidak berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram semata, demi menjalankan anjuran Nabi ﷺ untuk membedakan diri.

Dengan demikian, puasa Tasu'a dan Asyura adalah ibadah sunah yang memiliki dasar kuat dalam syariat Islam dan menawarkan keutamaan yang luar biasa. Hendaknya setiap Muslim yang mampu untuk menghidupkan sunah ini demi meraih ampunan dan keberkahan dari Allah SWT.

Waktu Pelaksanaan Puasa Tasu'a dan Asyura

Penentuan waktu pelaksanaan puasa Tasu'a dan Asyura adalah aspek krusial agar ibadah ini sah dan sesuai dengan sunah. Kedua puasa ini, sebagaimana namanya, terkait erat dengan penanggalan Hijriyah, khususnya bulan Muharram.

Puasa Tasu'a: 9 Muharram

Puasa Tasu'a dilaksanakan pada hari kesembilan bulan Muharram. Mengapa tanggal 9? Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, anjuran ini muncul dari keinginan Nabi Muhammad ﷺ untuk membedakan praktik puasa umat Islam dari umat Yahudi. Nabi ﷺ bersabda, "Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu'a)." Meskipun beliau tidak sempat menunaikannya, sabda beliau menjadi landasan kuat bagi umatnya.

Penting untuk diingat bahwa penanggalan Hijriyah didasarkan pada peredaran bulan, yang bisa berbeda satu atau dua hari dengan kalender Masehi. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengacu pada ketetapan pemerintah atau lembaga keagamaan yang berwenang dalam menentukan awal bulan Muharram setiap tahunnya.

Puasa Asyura: 10 Muharram

Puasa Asyura adalah puasa inti yang dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Muharram. Hari inilah yang memiliki keutamaan utama penghapus dosa setahun yang lalu, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Muslim.

Pelaksanaan puasa Asyura sudah dikenal sejak zaman Nabi ﷺ tiba di Madinah. Beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari tersebut, lalu beliau mengabarkan kepada para sahabat bahwa umat Islam lebih berhak atas Nabi Musa AS, sehingga beliau pun berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa.

Menggabungkan Keduanya: Kombinasi Terbaik

Praktik yang paling sempurna dan dianjurkan adalah menggabungkan puasa Tasu'a dan Asyura. Artinya, seorang Muslim berpuasa pada tanggal 9 Muharram dan melanjutkannya pada tanggal 10 Muharram. Ini adalah cara terbaik untuk meraih seluruh keutamaan dan menjalankan sunah Nabi ﷺ secara paripurna.

Jika karena suatu alasan seseorang tidak dapat berpuasa pada tanggal 9 Muharram, maka dia bisa berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram. Puasa tanggal 11 Muharram juga berfungsi sebagai pembeda dari Yahudi, sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang menganjurkan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Namun, pilihan utama adalah 9 dan 10 Muharram.

Tidak ada ketentuan khusus dalam syariat Islam yang melarang seseorang untuk berpuasa di bulan Muharram di luar Tasu'a dan Asyura. Bahkan, Nabi Muhammad ﷺ menganjurkan untuk memperbanyak puasa di bulan Muharram secara umum:

"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa di bulan Allah, Muharram." (HR. Muslim)

Ini menunjukkan bahwa selain Tasu'a dan Asyura, puasa sunah di hari-hari lain bulan Muharram juga sangat dianjurkan dan memiliki keutamaan tersendiri.

Dengan demikian, umat Islam memiliki kesempatan emas di bulan Muharram untuk memperbanyak amal ibadah, khususnya puasa, demi meraih keridaan dan pahala dari Allah SWT.

Niat dan Tata Cara Pelaksanaan Puasa Tasu'a dan Asyura

Puasa Tasu'a dan Asyura adalah ibadah puasa sunah, namun pelaksanaannya tetap memerlukan niat yang benar dan tata cara yang sesuai dengan syariat Islam. Memahami kedua hal ini akan memastikan puasa kita diterima dan berpahala di sisi Allah SWT.

Niat Puasa Tasu'a dan Asyura

Niat adalah pondasi utama dalam setiap ibadah. Untuk puasa sunah seperti Tasu'a dan Asyura, niat memiliki beberapa kelonggaran dibandingkan puasa wajib (Ramadan). Niat puasa sunah boleh dilakukan di malam hari sebelum fajar, atau bahkan di siang hari asalkan belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak fajar.

Formulasi Niat (Lisan atau Hati)

Yang terpenting dari niat adalah adanya kehendak kuat dalam hati untuk berpuasa karena Allah SWT. Mengucapkannya secara lisan bukanlah syarat mutlak, namun dianjurkan untuk menguatkan tekad.

Jika seseorang ingin mengamalkan kedua puasa tersebut, dia bisa berniat untuk puasa Tasu'a pada malam 9 Muharram, dan untuk puasa Asyura pada malam 10 Muharram. Atau, jika berniat di siang hari, cukup dengan niat dalam hati bahwa ia ingin berpuasa Tasu'a atau Asyura pada hari itu, asalkan belum makan atau minum sejak subuh.

Penting untuk diingat bahwa setiap hari puasa memerlukan niat yang terpisah. Jadi, jika berpuasa Tasu'a dan Asyura, perlu ada niat untuk masing-masing hari.

Tata Cara Pelaksanaan Puasa

Tata cara pelaksanaan puasa Tasu'a dan Asyura pada dasarnya sama dengan puasa-puasa sunah lainnya, bahkan mirip dengan puasa Ramadan, hanya saja hukumnya sunah.

  1. Sahur (Makan Sahur):

    Sangat dianjurkan untuk makan sahur sebelum waktu subuh tiba. Sahur memberikan kekuatan bagi tubuh untuk berpuasa sepanjang hari dan merupakan sunah Nabi Muhammad ﷺ. Beliau bersabda: "Bersahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat berkah." (HR. Bukhari dan Muslim). Waktu sahur terbaik adalah mendekati waktu imsak atau subuh.

  2. Menahan Diri dari Pembatal Puasa:

    Setelah masuk waktu subuh hingga terbenamnya matahari (magrib), seseorang yang berpuasa wajib menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa. Ini meliputi:

    • Makan dan minum secara sengaja.
    • Berhubungan suami istri.
    • Muntah dengan sengaja.
    • Keluarnya mani dengan sengaja (misalnya melalui onani).
    • Haid atau nifas bagi wanita.
    • Murtad (keluar dari Islam).

    Selama berpuasa, umat Islam juga dianjurkan untuk menjaga lisan dari perkataan buruk, menjaga pandangan, dan memperbanyak amal kebaikan seperti membaca Al-Qur'an, berzikir, bersedekah, dan mengerjakan salat sunah.

  3. Berbuka Puasa (Iftar):

    Ketika waktu magrib tiba, puasa boleh dibatalkan. Dianjurkan untuk segera berbuka puasa begitu waktu magrib masuk. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: "Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka." (HR. Bukhari dan Muslim). Dianjurkan juga untuk berbuka dengan kurma dan air putih, sebagaimana kebiasaan Nabi ﷺ.

    Ketika berbuka, bacalah doa buka puasa. Salah satu doa yang masyhur adalah: "Dzahabazh zhama'u wabtallatil 'uruqu wa tsabatal ajru insya Allah." (Telah hilang rasa haus, dan telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala insya Allah.) Atau doa umum: "Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa 'ala rizqika afthartu. Birahmatika ya arhamar rahimin." (Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih dari segala yang mengasihi.)

Dengan niat yang ikhlas dan tata cara yang benar, semoga puasa Tasu'a dan Asyura yang kita laksanakan menjadi amal saleh yang diterima oleh Allah SWT dan mendatangkan keberkahan yang melimpah.

Hikmah dan Pelajaran dari Puasa Tasu'a dan Asyura

Ibadah dalam Islam tidak hanya sekadar ritual, melainkan juga mengandung hikmah dan pelajaran mendalam yang membentuk karakter dan spiritualitas seorang Muslim. Puasa Tasu'a dan Asyura, sebagai salah satu ibadah sunah yang ditekankan, kaya akan hikmah yang relevan bagi kehidupan kita.

1. Taqwa dan Ketaatan kepada Allah SWT

Melaksanakan puasa Tasu'a dan Asyura adalah manifestasi nyata dari ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan mengikuti anjuran Nabi ﷺ, seorang Muslim menunjukkan ketundukannya kepada perintah Allah, meskipun itu adalah ibadah sunah. Ketaatan ini menumbuhkan rasa taqwa, yaitu kesadaran akan pengawasan Allah, yang mendorong kita untuk selalu berbuat baik dan menjauhi kemaksiatan, baik di bulan Muharram maupun di bulan-bulan lainnya.

2. Rasa Syukur atas Nikmat Hidayah

Puasa Asyura berawal dari rasa syukur Nabi Musa AS dan kaumnya atas penyelamatan dari Firaun. Sebagai umat Nabi Muhammad ﷺ, kita juga bersyukur atas hidayah Islam yang telah diberikan kepada kita. Puasa ini menjadi pengingat akan nikmat-nikmat Allah yang tak terhingga, termasuk nikmat kebebasan dari kegelapan kezaliman menuju cahaya kebenaran. Bersyukur atas nikmat hidayah adalah kunci untuk meraih nikmat-nikmat lain dari Allah.

3. Pembersihan Dosa dan Penyucian Jiwa

Keutamaan utama puasa Asyura adalah menghapus dosa-dosa kecil selama setahun yang lalu. Ini adalah kesempatan emas bagi setiap Muslim untuk membersihkan diri dari noda-noda kesalahan dan memulai lembaran baru dengan jiwa yang lebih suci. Proses menahan diri dari hawa nafsu selama puasa juga melatih jiwa untuk mengendalikan keinginan duniawi dan mengarahkannya kepada keridaan Allah.

4. Menghidupkan Sunah Nabi Muhammad ﷺ

Mengamalkan puasa Tasu'a dan Asyura adalah wujud kecintaan kepada Nabi Muhammad ﷺ dan upaya untuk menghidupkan sunah-sunah beliau. Dengan meneladani praktik beliau, kita memperkuat ikatan spiritual dengan Rasulullah dan mendapatkan syafaat beliau di hari kiamat. Setiap kali kita berpuasa di hari-hari ini, kita sedang menapak tilas jejak langkah kekasih Allah.

5. Membangun Identitas Muslim (Mukhalafah Ahlul Kitab)

Anjuran puasa Tasu'a secara khusus memberikan pelajaran penting tentang pentingnya membangun identitas Muslim yang khas dan tidak menyerupai praktik agama lain, khususnya Ahli Kitab. Islam adalah agama yang mandiri dengan syariatnya sendiri. Hikmah ini mengajarkan kita untuk bangga dengan keislaman kita dan menjaga keotentikan ajaran-ajaran Nabi ﷺ dalam segala aspek kehidupan.

6. Pengingat Akan Sejarah dan Kekuatan Doa

Kisah Nabi Musa AS dan Firaun yang menjadi latar belakang puasa Asyura adalah pengingat akan kuasa Allah SWT yang tak terbatas. Kisah ini mengajarkan bahwa meskipun dalam situasi terdesak dan menghadapi kekuatan zalim yang besar, pertolongan Allah akan datang bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertawakal. Ini adalah pelajaran tentang kekuatan doa, kesabaran, dan keyakinan akan janji Allah.

7. Disiplin Diri dan Pengendalian Nafsu

Puasa secara umum, termasuk Tasu'a dan Asyura, melatih kedisiplinan diri dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu. Dengan menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa dari fajar hingga magrib, kita melatih jiwa untuk tidak mudah menyerah pada keinginan sesaat. Disiplin ini kemudian dapat diterapkan dalam aspek kehidupan lain, seperti dalam pekerjaan, belajar, dan menjaga akhlak mulia.

8. Empati dan Solidaritas Sosial

Puasa juga menumbuhkan rasa empati terhadap sesama yang kurang beruntung, yang mungkin sering merasakan lapar dan dahaga. Pengalaman menahan lapar dan haus ini dapat mendorong seorang Muslim untuk lebih peka terhadap kondisi sosial di sekitarnya dan meningkatkan kepeduliannya untuk berbagi dan bersedekah.

9. Momentum Introspeksi dan Perbaikan Diri

Awal tahun baru Hijriyah dan kesempatan berpuasa di bulan Muharram adalah momen yang tepat untuk introspeksi diri. Kita dapat merenungkan perjalanan hidup selama setahun yang lalu, mengevaluasi amal perbuatan, dan membuat resolusi untuk menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan. Puasa menjadi salah satu cara efektif untuk mengawali perubahan positif tersebut.

Dengan merenungkan hikmah-hikmah ini, puasa Tasu'a dan Asyura tidak hanya menjadi ibadah ritual semata, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam, membentuk kita menjadi Muslim yang lebih taat, bersyukur, disiplin, berempati, dan senantiasa berintrospeksi diri.

Kisah Nabi Musa AS dan Firaun: Latar Belakang Puasa Asyura

Untuk memahami sepenuhnya keutamaan puasa Asyura, kita perlu kembali menilik kisah agung tentang Nabi Musa AS dan Firaun. Peristiwa monumental inilah yang menjadi salah satu alasan utama mengapa hari Asyura diagungkan dalam Islam dan menjadi hari bersyukur bagi umat Muslim.

Kezaliman Firaun dan Penindasan Bani Israil

Kisah ini bermula di Mesir, di mana Firaun, seorang raja yang sombong dan mengaku sebagai tuhan, berkuasa mutlak. Ia menindas kaum Bani Israil (keturunan Nabi Ya'qub AS) yang tinggal di Mesir, menjadikan mereka budak, dan melakukan kekejaman yang tak terhingga. Salah satu kekejamannya adalah perintah membunuh setiap bayi laki-laki Bani Israil yang baru lahir, karena ramalan bahwa akan lahir seorang anak dari Bani Israil yang akan menggulingkan kekuasaannya.

Di tengah kegelapan penindasan ini, lahirlah Nabi Musa AS. Atas petunjuk Allah, ibunya menghanyutkannya dalam peti di Sungai Nil, yang kemudian ditemukan oleh istri Firaun, Asiyah. Musa pun tumbuh besar di istana Firaun, tanpa mengetahui asal-usulnya yang sebenarnya.

Kenabian Musa dan Perintah Berdakwah kepada Firaun

Setelah dewasa, Musa AS meninggalkan Mesir dan kemudian menerima wahyu kenabian dari Allah SWT di Gunung Sinai. Allah memerintahkan Musa untuk kembali ke Mesir dan berdakwah kepada Firaun, menyerunya untuk beriman kepada Allah dan membebaskan Bani Israil. Musa AS yang dibantu oleh saudaranya, Harun AS, menghadapi Firaun dengan mukjizat-mukjizat yang luar biasa, seperti tongkat yang berubah menjadi ular dan tangan yang bersinar.

Namun, Firaun dengan kesombongan dan kekuasaannya, menolak kebenaran dan terus mengklaim dirinya sebagai tuhan. Ia bahkan menuduh Musa sebagai tukang sihir dan mengumpulkan ahli sihirnya untuk menandingi mukjizat Musa, namun mereka semua kalah dan akhirnya beriman kepada Allah.

Siksaan Allah atas Firaun dan Keluarnya Bani Israil

Akibat kekafiran dan kezaliman Firaun, Allah menurunkan berbagai siksaan dan bencana kepada Mesir: kekeringan, paceklik, banjir, hama belalang, kutu, katak, dan air yang berubah menjadi darah. Setiap kali bencana datang, Firaun berjanji akan beriman dan membebaskan Bani Israil jika bencana diangkat. Namun, setelah bencana usai, ia kembali pada kekafiran dan kesombongannya.

Akhirnya, Allah SWT memerintahkan Musa AS untuk membawa Bani Israil keluar dari Mesir secara diam-diam. Dengan izin Allah, mereka berangkat di malam hari, meninggalkan Mesir menuju tanah yang dijanjikan.

Pembelahan Laut Merah dan Azab Firaun

Ketika Firaun mengetahui kepergian Bani Israil, ia murka dan segera memerintahkan bala tentaranya untuk mengejar mereka. Bani Israil terkejut dan ketakutan saat melihat laut di depan mereka dan pasukan Firaun di belakang. Dalam kepanikan, mereka berkata kepada Musa, "Kita pasti akan tertangkap!"

Namun, Nabi Musa dengan penuh keyakinan menjawab, "Sekali-kali tidak! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (QS. Asy-Syu'ara: 62). Kemudian, Allah mewahyukan kepada Musa untuk memukulkan tongkatnya ke laut.

"Lalu Kami wahyukan kepada Musa: 'Pukullah lautan itu dengan tongkatmu!' Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar." (QS. Asy-Syu'ara: 63)

Laut Merah terbelah dua, membentuk jalan kering bagi Bani Israil untuk menyeberang. Mereka pun berhasil melewati laut dengan selamat. Ketika pasukan Firaun tiba dan melihat jalan itu, mereka dengan sombongnya mengikuti jejak Bani Israil. Namun, begitu seluruh pasukan Firaun masuk ke tengah laut, Allah SWT memerintahkan laut untuk kembali menyatu.

"Dan Kami tenggelamkan Firaun dan bala tentaranya, dan mereka itu adalah orang-orang yang berbuat maksiat." (QS. Adz-Dzariyat: 40)

Firaun dan seluruh pasukannya tenggelam di Laut Merah, menjadi pelajaran bagi seluruh umat manusia tentang azab bagi orang-orang zalim dan sombong. Pada saat-saat terakhirnya, Firaun mengaku beriman, namun keimanannya tidak diterima karena itu adalah iman saat melihat azab, bukan iman karena pilihan dan keyakinan.

Syukur dan Puasa Asyura

Peristiwa penyelamatan Nabi Musa AS dan kaumnya ini terjadi pada tanggal 10 Muharram. Sebagai bentuk syukur atas pertolongan dan karunia Allah SWT yang luar biasa ini, Nabi Musa AS berpuasa pada hari tersebut. Ketika Nabi Muhammad ﷺ tiba di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi juga berpuasa pada hari Asyura. Beliau kemudian bersabda:

"Kami lebih berhak terhadap Musa daripada mereka (Yahudi)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka Nabi ﷺ pun berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa pada hari Asyura, sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT atas penyelamatan Nabi Musa AS dan kaumnya. Dengan demikian, puasa Asyura adalah perayaan kemenangan kebenaran atas kebatilan, kebebasan atas penindasan, dan bukti nyata kekuasaan Allah SWT.

Peristiwa Karbala dan Puasa Asyura: Perspektif yang Seimbang

Hari Asyura, tanggal 10 Muharram, dalam sejarah Islam, juga terkait dengan peristiwa tragis Karbala, di mana Sayyidina Husain bin Ali, cucu kesayangan Nabi Muhammad ﷺ, syahid. Penting untuk membahas hubungan antara peristiwa Karbala dan puasa Asyura dengan perspektif yang seimbang dan tidak bias, terutama mengingat sensitivitas isu ini di kalangan umat Islam.

Tragedi Karbala

Pada tanggal 10 Muharram, Husain bin Ali, bersama dengan keluarga dan para pengikutnya, dikepung dan dibantai oleh pasukan Khalifah Yazid bin Muawiyah di padang Karbala, Irak. Peristiwa ini merupakan titik hitam dalam sejarah Islam, yang memicu perpecahan mendalam di kalangan umat dan menjadi penyebab utama munculnya perbedaan mazhab besar, terutama antara Sunni dan Syiah.

Bagi banyak Muslim, khususnya Syiah, hari Asyura adalah hari berkabung dan ratapan yang mendalam untuk mengenang pengorbanan dan kesyahidan Husain. Mereka melakukan berbagai ritual duka, seperti berpuasa (meskipun dengan niat yang berbeda, bukan untuk syukur), melakukan prosesi, dan mengenang penderitaan keluarga Nabi.

Hubungan dengan Puasa Asyura

Penting untuk ditegaskan bahwa anjuran Nabi Muhammad ﷺ untuk berpuasa Asyura sudah ada jauh sebelum peristiwa Karbala. Sebagaimana telah dijelaskan, dasar hukum puasa Asyura adalah rasa syukur atas penyelamatan Nabi Musa AS dan kaumnya dari kekejaman Firaun. Nabi ﷺ sendiri berpuasa Asyura dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa, dan itu terjadi puluhan tahun sebelum Husain syahid di Karbala.

Oleh karena itu, alasan syar'i (hukum) di balik puasa Asyura bukanlah untuk mengenang atau meratapi tragedi Karbala. Puasa Asyura adalah ibadah syukur kepada Allah SWT dan penghidupan sunah Nabi ﷺ yang telah ada sebelumnya.

Meskipun demikian, tidak ada salahnya bagi umat Islam untuk merasakan kesedihan dan duka atas peristiwa Karbala yang menimpa cucu Nabi ﷺ. Husain adalah salah satu pemimpin pemuda surga, dan syahidnya beliau adalah kehilangan besar bagi umat Islam. Namun, kesedihan ini hendaknya tidak mengubah niat ibadah puasa Asyura dari syukur menjadi duka, dan tidak menafikan anjuran Nabi ﷺ yang telah ditetapkan lebih dahulu.

Sikap yang Proporsional

Bagi umat Islam, sikap yang proporsional terhadap hari Asyura adalah:

  1. Mengutamakan Sunah Nabi ﷺ: Melaksanakan puasa Tasu'a dan Asyura (9 dan 10 Muharram) dengan niat syukur dan meraih keutamaan penghapusan dosa setahun yang lalu, sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
  2. Mengenang Pelajaran Sejarah: Merenungkan peristiwa Karbala sebagai bagian dari sejarah Islam yang penuh pelajaran. Dari peristiwa ini, kita belajar tentang pentingnya keadilan, keberanian, dan pengorbanan dalam membela kebenaran, serta bahaya perpecahan dan fitnah.
  3. Menghindari Bid'ah: Menjauhi praktik-praktik yang tidak diajarkan dalam syariat Islam, seperti meratapi diri secara berlebihan atau melakukan ritual duka yang tidak ada dasar dalam sunah, hanya untuk mengenang Karbala. Kesedihan atas musibah adalah wajar, namun harus sesuai koridor syariat.
  4. Persatuan Umat: Menjadikan hari Asyura sebagai momentum untuk merefleksikan nilai-nilai persatuan umat dan menghindari segala bentuk ekstremisme atau permusuhan yang timbul dari perbedaan interpretasi sejarah.

Dengan demikian, puasa Asyura tetap menjadi ibadah yang penuh keutamaan dan keberkahan, dengan latar belakang syukur atas penyelamatan Nabi Musa AS. Sementara itu, tragedi Karbala menjadi pengingat penting akan pelajaran sejarah dan pengorbanan keluarga Nabi, namun tidak mengubah esensi hukum dan niat puasa Asyura itu sendiri.

Hukum Puasa Hanya Hari Asyura dan Pentingnya Tasu'a

Sebagaimana telah dibahas, puasa Tasu'a dan Asyura adalah puasa sunah yang sangat dianjurkan. Namun, seringkali muncul pertanyaan mengenai hukum jika seseorang hanya berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram) saja, tanpa menyertakan puasa Tasu'a (9 Muharram) atau puasa pada tanggal 11 Muharram. Pemahaman ini penting agar umat Muslim dapat melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan sunah Nabi ﷺ.

Keabsahan Puasa Asyura Saja

Para ulama sepakat bahwa puasa pada hari Asyura (10 Muharram) saja hukumnya tetap sah dan pelakunya tetap mendapatkan keutamaan penghapusan dosa setahun yang lalu. Dalilnya adalah hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah, yang menyebutkan keutamaan puasa Asyura secara spesifik tanpa mensyaratkan puasa Tasu'a.

Rasulullah ﷺ ditanya tentang puasa hari Asyura, beliau menjawab: "Menghapus dosa-dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa inti keutamaan terletak pada puasa tanggal 10 Muharram. Oleh karena itu, siapa pun yang berpuasa pada hari tersebut, puasanya dianggap sah dan insya Allah akan mendapatkan pahalanya.

Hukum Makruh Jika Hanya Berpuasa pada Hari Asyura?

Meskipun sah, sebagian ulama berpendapat bahwa berpuasa hanya pada hari Asyura saja hukumnya adalah makruh (dibenci atau tidak disukai), terutama jika dilakukan secara sengaja dan tanpa alasan syar'i yang kuat. Pendapat ini didasarkan pada keinginan Nabi Muhammad ﷺ untuk membedakan diri dari kaum Yahudi.

Imam An-Nawawi, seorang ulama besar mazhab Syafi'i, menjelaskan dalam kitab Syarah Shahih Muslim bahwa makruh hukumnya berpuasa Asyura saja, berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang disebutkan sebelumnya, "Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu'a)." Niat Nabi ﷺ ini menunjukkan keinginan untuk tidak menyerupai Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ke-10.

Pentingnya Puasa Tasu'a (9 Muharram) atau 11 Muharram

Untuk menghindari kemakruhan dan menyempurnakan ibadah, Nabi ﷺ menganjurkan agar puasa Asyura disertai dengan puasa pada hari sebelumnya atau sesudahnya. Hadis dari Ibnu Abbas RA menyebutkan:

"Berpuasalah kalian pada hari Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya." (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)

Dari hadis ini, jelas ada dua opsi untuk menyertai puasa Asyura:

  1. Puasa Tasu'a (9 Muharram): Ini adalah pilihan yang paling utama karena itulah yang diinginkan oleh Nabi ﷺ jika beliau masih hidup. Berpuasa pada 9 dan 10 Muharram (Tasu'a dan Asyura) adalah bentuk paling sempurna dalam mengikuti sunah.
  2. Puasa pada 11 Muharram: Jika seseorang tidak sempat atau tidak mampu berpuasa pada 9 Muharram, maka dia bisa berpuasa pada 10 dan 11 Muharram. Ini juga memenuhi tujuan membedakan diri dari kaum Yahudi.

Kombinasi terbaik adalah berpuasa pada tanggal 9, 10, dan 11 Muharram. Ini adalah tingkatan puasa yang paling sempurna, karena menggabungkan niat Nabi ﷺ untuk berpuasa Tasu'a dan juga opsi berpuasa sehari sesudahnya.

Kesimpulan

Meskipun puasa Asyura (10 Muharram) saja sah dan mendatangkan pahala, yang paling afdal (utama) adalah menyertakannya dengan puasa Tasu'a (9 Muharram) atau puasa pada tanggal 11 Muharram. Hal ini adalah bentuk ketaatan penuh kepada sunah Nabi Muhammad ﷺ dan upaya untuk menjaga kekhasan identitas Muslim. Bagi seorang Muslim yang ingin meraih keberkahan maksimal, hendaknya ia berusaha melaksanakan puasa 9 dan 10 Muharram, atau 10 dan 11 Muharram, atau bahkan 9, 10, dan 11 Muharram.

Amalan Lain di Bulan Muharram Selain Puasa

Bulan Muharram tidak hanya dikenal dengan puasa Tasu'a dan Asyura, tetapi juga merupakan salah satu bulan yang dimuliakan Allah SWT. Oleh karena itu, di bulan ini umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah dan menjauhi perbuatan dosa. Selain puasa, ada beberapa amalan lain yang sangat dianjurkan di bulan yang penuh berkah ini.

1. Memperbanyak Puasa Sunah Secara Umum

Sebagaimana telah disebutkan, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

"Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan adalah puasa di bulan Allah, Muharram." (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa seluruh hari di bulan Muharram, selain hari Tasu'a dan Asyura, juga baik untuk diisi dengan puasa sunah. Oleh karena itu, umat Islam dapat memperbanyak puasa sunah di bulan ini, seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Ayyamul Bidh (tanggal 13, 14, 15 Hijriyah), atau bahkan puasa sunah secara umum pada hari-hari yang tidak dilarang.

2. Memperbanyak Zikir, Doa, dan Istighfar

Sebagai bulan pembuka tahun baru Hijriyah, Muharram adalah waktu yang tepat untuk muhasabah (introspeksi diri) dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Memperbanyak zikir (mengingat Allah), doa (memohon kepada Allah), dan istighfar (memohon ampunan) adalah amalan yang sangat dianjurkan. Nabi ﷺ bersabda: "Tidak ada suatu kaum pun yang duduk berzikir kepada Allah, melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diselimuti rahmat, dan Allah menyebut mereka di sisi-Nya."

Di bulan Muharram, khususnya di hari-hari mulia seperti Tasu'a dan Asyura, luangkan waktu untuk merenung, berdoa untuk kebaikan diri, keluarga, dan umat Islam, serta memohon ampunan atas segala dosa dan kesalahan yang telah lalu.

3. Bersedekah dan Berbuat Baik kepada Sesama

Amal kebaikan, termasuk sedekah, akan dilipatgandakan pahalanya di bulan-bulan haram. Bersedekah tidak hanya membersihkan harta, tetapi juga membersihkan jiwa dan mendatangkan keberkahan. Berbuat baik kepada sesama, seperti membantu yang membutuhkan, menjenguk orang sakit, atau memberikan nafkah lebih kepada keluarga, juga sangat dianjurkan.

Terdapat beberapa hadis yang mendorong untuk melapangkan nafkah bagi keluarga pada hari Asyura, meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai derajat kesahihannya, namun intinya adalah semangat untuk berbuat baik di hari tersebut.

"Barangsiapa melapangkan (nafkah) bagi keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan melapangkan (rezekinya) setahun penuh." (HR. Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr. Hadis ini dihukumi dha'if oleh sebagian ulama, namun diamalkan oleh sebagian lain karena kebaikan isinya).

Terlepas dari derajat hadis tersebut, semangat untuk berbuat baik dan melapangkan rezeki kepada keluarga di hari-hari istimewa adalah hal yang terpuji dalam Islam.

4. Membaca Al-Qur'an dan Menuntut Ilmu

Bulan Muharram adalah waktu yang baik untuk memperbanyak membaca Al-Qur'an, merenungkan maknanya, dan menuntut ilmu syar'i. Dengan membaca dan memahami firman Allah, hati akan menjadi lebih tenang dan iman akan semakin kuat.

5. Menjauhi Kemaksiatan

Karena Muharram adalah bulan haram, dosa yang dilakukan di dalamnya akan mendapatkan balasan yang lebih berat. Oleh karena itu, sangat penting untuk lebih berhati-hati dalam menjaga diri dari segala bentuk kemaksiatan, baik yang terlihat maupun tersembunyi. Ini termasuk menjaga lisan, pandangan, pendengaran, dan perbuatan dari hal-hal yang tidak diridai Allah.

6. Muhasabah (Introspeksi Diri)

Awal tahun Hijriyah adalah momen yang tepat untuk bermuhasabah, mengevaluasi diri, dan membuat rencana perbaikan untuk setahun ke depan. Renungkan apa saja kebaikan yang telah dilakukan dan kekurangan yang perlu diperbaiki. Muhasabah adalah langkah awal menuju perbaikan diri dan peningkatan kualitas ibadah.

Dengan mengamalkan berbagai kebaikan ini di bulan Muharram, seorang Muslim dapat meraih pahala yang berlipat ganda, membersihkan diri dari dosa, dan memulai tahun baru Hijriyah dengan semangat spiritual yang lebih tinggi.

Perspektif Mazhab tentang Puasa Tasu'a dan Asyura

Puasa Tasu'a dan Asyura adalah ibadah sunah yang disepakati oleh seluruh mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah (empat mazhab utama: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali). Meskipun ada sedikit perbedaan nuansa dalam penekanan atau detail hukum, pada prinsipnya mereka semua menganjurkan dan mengakui keutamaan puasa ini.

1. Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi sangat menganjurkan puasa Asyura dan Tasu'a. Mereka sepakat bahwa puasa Asyura pada 10 Muharram hukumnya sunah muakkadah (sunah yang sangat ditekankan). Puasa Tasu'a pada 9 Muharram juga sangat dianjurkan sebagai pelengkap dan pembeda dari kaum Yahudi. Bahkan, sebagian ulama Hanafi menganggap makruh jika berpuasa hanya pada hari Asyura saja tanpa menyertakan hari sebelumnya atau sesudahnya.

2. Mazhab Maliki

Imam Malik sendiri, pendiri mazhab Maliki, berpuasa Asyura dan meriwayatkan hadis-hadis tentang keutamaannya. Dalam mazhab Maliki, puasa Asyura adalah sunah yang kuat. Mereka juga menganjurkan puasa Tasu'a untuk membedakan diri dari Ahli Kitab. Mengenai hukum berpuasa Asyura saja, mereka umumnya menganggapnya tidak makruh, namun menyertakannya dengan hari lain lebih afdal.

3. Mazhab Syafi'i

Mazhab Syafi'i adalah salah satu mazhab yang paling tegas dalam menganjurkan puasa Tasu'a bersama Asyura. Imam An-Nawawi, seorang ulama besar mazhab Syafi'i, secara eksplisit menyatakan bahwa yang paling sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram (Tasu'a dan Asyura). Jika hanya berpuasa pada 10 Muharram (Asyura) saja, maka hukumnya makruh tanzih (makruh yang ringan, tidak sampai haram), karena bertentangan dengan maksud Nabi ﷺ untuk membedakan diri dari Yahudi.

Beliau juga menyebutkan bahwa berpuasa pada tanggal 11 Muharram bersama Asyura adalah baik, sebagai alternatif jika tidak bisa berpuasa Tasu'a, atau sebagai pelengkap untuk mendapatkan tiga hari puasa (9, 10, 11 Muharram) yang merupakan tingkat kesempurnaan tertinggi.

4. Mazhab Hambali

Mazhab Hambali juga menganjurkan puasa Tasu'a dan Asyura dengan sangat kuat. Mereka sepakat dengan mazhab lain tentang keutamaan puasa Asyura. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab, meriwayatkan hadis-hadis yang mendorong untuk berpuasa Tasu'a sebagai pembeda. Dalam pandangan mereka, berpuasa 9 dan 10 Muharram adalah yang paling utama, dan menghindari puasa 10 Muharram saja tanpa tambahan hari lain.

Kesimpulan Umum

Secara umum, keempat mazhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah sepakat bahwa:

Dengan demikian, umat Islam memiliki pedoman yang jelas dari para ulama mazhab untuk mengamalkan puasa Tasu'a dan Asyura dengan cara yang paling sesuai dengan sunah Nabi Muhammad ﷺ.

Kesalahpahaman Umum tentang Muharram dan Asyura

Meskipun bulan Muharram dan puasa Asyura memiliki keutamaan yang jelas dalam Islam, ada beberapa kesalahpahaman atau praktik keliru yang sering dikaitkan dengannya. Penting bagi umat Islam untuk memahami hal ini agar ibadah kita tidak tercampuri oleh bid'ah atau hal-hal yang tidak sesuai syariat.

1. Menganggap Hari Asyura sebagai Hari Pembawa Sial atau Musibah

Sebagian orang, khususnya setelah tragedi Karbala, cenderung menganggap hari Asyura sebagai hari yang membawa sial, musibah, atau kutukan. Pandangan ini tidak benar dan bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam Islam, tidak ada hari yang secara intrinsik membawa sial. Setiap hari adalah ciptaan Allah SWT, dan kebaikan atau keburukan tergantung pada amal perbuatan manusia di hari tersebut.

Mengkhususkan hari Asyura sebagai hari kesialan adalah bentuk bid'ah dan bahkan bisa mengarah pada keyakinan takhayul. Hari Asyura, menurut sunah Nabi ﷺ, adalah hari yang mulia dan penuh berkah karena peristiwa penyelamatan Nabi Musa AS dan keutamaan puasa di dalamnya.

2. Ritual Ratapan Berlebihan dan Melukai Diri

Di beberapa kelompok, terdapat tradisi meratapi tragedi Karbala secara berlebihan pada hari Asyura, bahkan sampai melukai diri sendiri (seperti memukul dada, memotong tubuh dengan silet, dll). Praktik-praktik semacam ini adalah bid'ah yang sangat dilarang dalam Islam. Islam melarang keras perbuatan menyakiti diri sendiri, apalagi dalam rangka berduka cita. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

"Tidak termasuk golonganku orang yang memukul-mukul pipi, merobek-robek saku (pakaian), dan menyeru dengan seruan jahiliyah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Kesedihan atas wafatnya Husain RA adalah hal yang wajar sebagai bentuk kecintaan kepada keluarga Nabi, namun harus diungkapkan dalam batas-batas syariat, seperti berdoa, mengenang perjuangan beliau, dan mengambil pelajaran.

3. Keyakinan tentang Puasa Asyura Sebagai Puasa Wajib

Meskipun puasa Asyura sangat dianjurkan (sunah muakkadah), namun ia bukanlah puasa wajib seperti puasa Ramadan. Tidak berpuasa Asyura tidak berdosa, meskipun merugi karena kehilangan pahala besar. Pemahaman yang benar adalah bahwa puasa Asyura adalah kesempatan emas untuk meraih pahala sunah, bukan kewajiban yang harus ditunaikan.

4. Mengaitkan Asyura dengan Hal-hal Mistis atau Khurafat

Beberapa daerah mungkin memiliki tradisi lokal atau kepercayaan mistis yang dikaitkan dengan hari Asyura, seperti membuat bubur Asyura dengan keyakinan tertentu di luar konteks sedekah atau mempercayai cerita-cerita khurafat. Umat Islam harus berhati-hati agar tidak terjerumus ke dalam praktik syirik atau bid'ah yang tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an dan Sunah.

Bubur Asyura, jika dibuat dengan niat sedekah atau berbagi makanan kepada fakir miskin sebagai bentuk kebaikan di hari yang mulia, adalah hal yang terpuji. Namun jika dikaitkan dengan keyakinan-keyakinan tertentu seperti penolak bala atau keberkahan mistis, maka itu menjadi tidak sesuai syariat.

5. Merayakan Tahun Baru Hijriyah dengan Cara yang Tidak Islami

Meskipun Muharram adalah awal tahun baru Islam, tidak ada tuntunan khusus dari Nabi ﷺ untuk merayakannya dengan ritual-ritual tertentu seperti pesta atau kembang api. Mengucapkan selamat tahun baru Hijriyah dan berdoa untuk kebaikan di tahun yang baru adalah hal yang baik. Namun, perayaan yang menyerupai tradisi non-Muslim atau yang mengandung kemaksiatan harus dihindari. Semangat tahun baru Hijriyah seharusnya adalah introspeksi diri, meningkatkan ibadah, dan hijrah (berpindah) dari keburukan menuju kebaikan.

Dengan menghindari kesalahpahaman ini, umat Islam dapat fokus pada amalan-amalan yang disyariatkan di bulan Muharram, khususnya puasa Tasu'a dan Asyura, demi meraih keridaan Allah SWT dan keberkahan yang hakiki.

Manfaat Puasa Secara Umum (Selain Keutamaan Puasa Tasu'a dan Asyura)

Selain keutamaan spesifik puasa Tasu'a dan Asyura yang telah dijelaskan, ibadah puasa secara umum memiliki segudang manfaat, baik dari aspek spiritual, kesehatan, maupun sosial. Puasa adalah madrasah (sekolah) yang mendidik jiwa dan raga, membentuk pribadi Muslim yang kaffah (menyeluruh).

1. Manfaat Spiritual dan Keimanan

2. Manfaat Kesehatan

Ilmu pengetahuan modern telah banyak mengungkap manfaat kesehatan dari puasa, yang sejalan dengan ajaran Islam:

3. Manfaat Sosial dan Empati

Dengan demikian, puasa Tasu'a dan Asyura tidak hanya menawarkan ganjaran spesifik, tetapi juga berkontribusi pada manfaat puasa secara umum yang bersifat holistik, meliputi dimensi spiritual, fisik, dan sosial, membentuk seorang Muslim yang lebih paripurna.

Penutup: Meraih Keberkahan Muharram dengan Puasa Tasu'a dan Asyura

Bulan Muharram adalah gerbang pembuka tahun Hijriyah yang penuh dengan keberkahan dan kesempatan emas untuk meningkatkan kualitas spiritual kita. Di antara sekian banyak amalan yang dianjurkan, puasa Tasu'a dan Asyura menempati posisi yang sangat istimewa, dengan janji pahala yang melimpah, bahkan penghapusan dosa setahun yang lalu. Ini adalah karunia agung dari Allah SWT yang hendaknya tidak kita lewatkan.

Melalui artikel ini, kita telah menyelami berbagai aspek penting terkait puasa Tasu'a dan Asyura, mulai dari sejarah Nabi Musa AS yang heroik, anjuran Nabi Muhammad ﷺ untuk berpuasa sebagai bentuk syukur dan pembeda dari Ahli Kitab, hingga tata cara pelaksanaan dan hikmah-hikmah mendalam yang terkandung di dalamnya. Kita juga telah membahas pentingnya memahami puasa ini dengan perspektif yang benar, menjauhi kesalahpahaman atau praktik bid'ah yang tidak sesuai syariat.

Marilah kita manfaatkan momentum istimewa bulan Muharram ini untuk menghidupkan sunah Nabi Muhammad ﷺ, memperbanyak amal ibadah, membersihkan diri dari dosa, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan niat yang ikhlas dan pelaksanaan yang sesuai tuntunan syariat, semoga puasa Tasu'a dan Asyura kita diterima di sisi-Nya, menjadi penyebab diampuninya dosa-dosa kita, dan membawa keberkahan serta kebaikan bagi kehidupan kita di dunia dan akhirat. Amin ya Rabbal Alamin.

🏠 Homepage