Pelajaran Aswaja: Memahami Jalan Tengah Nahdlatul Ulama

Pelajaran Aswaja, singkatan dari Ahlussunnah wal Jama'ah, merupakan salah satu fondasi utama dalam memahami ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas umat Muslim di Indonesia, khususnya melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Konsep ini bukan sekadar aliran teologi, melainkan sebuah manhaj atau metodologi berpikir dan beragama yang komprehensif, mencakup aspek akidah, syariah, dan akhlak. Mempelajari Aswaja berarti menelusuri jejak historis, filosofis, dan praktis dari pemahaman Islam yang moderat, toleran, dan seimbang.

Dalam konteks keindonesiaan, Aswaja telah menjadi pilar penting dalam menjaga keutuhan bangsa, menumbuhkan sikap toleransi antarumat beragama, serta mengembangkan peradaban Islam yang ramah dan inklusif. Pendekatan Aswaja yang mengedepankan prinsip tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang) terbukti sangat relevan dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, mulai dari radikalisme, ekstremisme, hingga gempuran ideologi transnasional yang berpotensi memecah belah persatuan.

Artikel ini akan mengupas tuntas Pelajaran Aswaja, mulai dari sejarah kemunculannya, pokok-pokok ajarannya, manhaj berpikirnya, peran Nahdlatul Ulama dalam melestarikannya, hingga relevansinya di era kontemporer. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan mendalam mengenai Aswaja, sehingga para pembaca dapat menginternalisasi nilai-nilai luhurnya dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Gambar 1: Simbolisasi arah dan keseimbangan dalam nilai-nilai Aswaja.

I. Pengertian dan Latar Belakang Historis Ahlussunnah wal Jama'ah

Istilah Ahlussunnah wal Jama'ah secara etimologis berarti "golongan yang mengikuti sunnah Nabi dan jama'ah (mayoritas) umat". Secara terminologis, istilah ini merujuk pada kelompok Muslim yang berpegang teguh pada ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh para sahabat, tabi'in, dan ulama salafush shalih (generasi awal yang saleh). Kemunculan dan kristalisasi konsep Aswaja tidak bisa dilepaskan dari dinamika sejarah Islam pasca-wafatnya Nabi Muhammad SAW, terutama pada masa Khulafaur Rasyidin dan periode-periode selanjutnya.

A. Dinamika Awal dan Munculnya Perpecahan

Pada awalnya, umat Islam merupakan satu kesatuan yang solid di bawah kepemimpinan Nabi. Namun, seiring berjalannya waktu dan luasnya wilayah kekuasaan Islam, munculah berbagai perselisihan baik dalam masalah politik maupun teologi. Peristiwa-peristiwa seperti fitnah kubra (perang saudara antara Sayyidina Ali dan Muawiyah), hingga kemunculan kelompok-kelompok seperti Khawarij dan Syi'ah, menjadi titik tolak penting yang memicu perdebatan mengenai siapa yang paling berhak disebut sebagai "pengikut sunnah".

Kaum Khawarij, misalnya, dikenal dengan sikap ekstremnya yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda pandangan politik. Sementara Syi'ah, mengklaim legitimasi kepemimpinan hanya pada keturunan Nabi melalui Sayyidina Ali. Di sisi lain, muncul pula aliran-aliran teologi yang mencoba merasionalisasi dogma-dogma agama, seperti Mu'tazilah, yang terlalu mengedepankan akal dalam menafsirkan teks-teks suci, hingga menimbulkan polemik mengenai sifat-sifat Tuhan, kebebasan manusia, dan penciptaan Al-Qur'an.

B. Peran Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi

Di tengah pusaran perpecahan dan polemik teologis inilah, para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah tampil untuk mengembalikan umat pada pemahaman yang moderat dan seimbang. Dua tokoh sentral yang menjadi arsitek utama formulasi akidah Aswaja adalah Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (w. 324 H) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (w. 333 H). Keduanya berhasil merumuskan doktrin akidah yang kokoh, menjembatani antara pendekatan tekstual (naql) dan rasional (aqli) tanpa terjebak pada ekstremitas. Mereka membantah pandangan-pandangan Mu'tazilah yang dianggap terlalu liberal dan Khawarij yang terlalu kaku.

Imam Al-Asy'ari, yang sebelumnya berguru pada tokoh Mu'tazilah, kemudian kembali kepada ajaran Ahlussunnah setelah melakukan perenungan mendalam. Beliau menyusun karya-karya monumental yang menjadi rujukan utama akidah Aswaja, seperti "Al-Ibanah an Ushulid Diyanah" dan "Maqalatul Islamiyyin". Sementara itu, Imam Al-Maturidi, yang hidup sezaman dengan Al-Asy'ari, mengembangkan pemikiran serupa di wilayah Transoksania (Asia Tengah). Karyanya yang terkenal adalah "Kitabut Tauhid". Meskipun ada sedikit perbedaan metodologi dan penekanan dalam beberapa masalah furu' (cabang), kedua imam ini memiliki inti ajaran yang sama dan diakui sebagai imam dalam bidang akidah Ahlussunnah wal Jama'ah.

Sejak saat itu, istilah Ahlussunnah wal Jama'ah menjadi identitas bagi mereka yang mengikuti akidah yang dirumuskan oleh Imam Al-Asy'ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqih mengikuti salah satu dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali), dan dalam bidang tasawuf mengikuti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi serta Imam Al-Ghazali.

II. Pokok-Pokok Ajaran Aswaja dalam Dimensi Akidah, Fiqih, dan Tasawuf

Aswaja merupakan sistem pemikiran Islam yang terintegrasi, mencakup tiga pilar utama yang saling melengkapi: akidah (keyakinan), fiqih (hukum), dan tasawuf (etika/spiritualitas). Keseimbangan antara ketiga pilar ini menjadi ciri khas Aswaja.

A. Akidah (Keyakinan)

Dalam bidang akidah, Aswaja mengacu pada rumusan yang dikembangkan oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi. Beberapa poin penting dalam akidah Aswaja meliputi:

  1. Tauhid yang Murni: Meyakini keesaan Allah SWT dalam zat, sifat, dan af'al (perbuatan-Nya). Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Tujuan ibadah. Sifat-sifat Allah adalah qadim (kekal) dan tidak sama dengan sifat makhluk-Nya.
  2. Iman kepada Malaikat: Meyakini keberadaan malaikat sebagai makhluk Allah yang taat dan tidak pernah bermaksiat.
  3. Iman kepada Kitab-kitab Allah: Meyakini semua kitab suci yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul, dengan Al-Qur'an sebagai kitab terakhir dan penyempurna.
  4. Iman kepada Nabi dan Rasul: Meyakini bahwa Allah mengutus nabi dan rasul untuk membimbing umat manusia, dengan Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.
  5. Iman kepada Hari Kiamat: Meyakini adanya kehidupan setelah mati, hari perhitungan (hisab), surga, dan neraka.
  6. Iman kepada Qada dan Qadar: Meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak dan ketetapan Allah, namun manusia memiliki ikhtiar (daya upaya) dan bertanggung jawab atas pilihannya.
  7. Sifat-sifat Allah: Tidak mentasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan tidak mentakwil (menafsirkan sifat-sifat Allah dengan tafsiran yang menyimpang), tetapi mengimani sebagaimana adanya tanpa menanyakan "bagaimana" (bi la kaifa) dan tanpa menyerupakan (bi la tasybih).
  8. Perbuatan Manusia: Meyakini bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peran dalam mengusahakannya (kasb) sehingga ia bertanggung jawab.

B. Fiqih (Hukum Islam)

Dalam bidang fiqih, Aswaja menganjurkan untuk berpegang pada salah satu dari empat mazhab fiqih yang muktabar (diakui kredibilitasnya), yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Keempat mazhab ini merupakan hasil ijtihad para imam mujtahid yang memiliki metodologi dan kaidah-kaidah pengambilan hukum yang sistematis dan teruji.

Mengikuti salah satu mazhab bukan berarti ta'assub (fanatik buta), melainkan sebagai bentuk ikhtiar untuk mendapatkan pemahaman hukum yang paling mendekati kebenaran. Ini juga merupakan cara untuk menjaga konsistensi dalam beribadah dan bermuamalah, serta menghindari kebingungan akibat banyaknya perbedaan pendapat. Para ulama Aswaja sangat menghormati perbedaan pendapat (khilafiyah) di antara mazhab, dan memandangnya sebagai rahmat, bukan perpecahan.

Di Indonesia, khususnya di kalangan NU, Mazhab Syafi'i adalah mazhab fiqih yang dominan. Hal ini bukan tanpa alasan, karena para ulama Nusantara memiliki sanad keilmuan yang kuat hingga ke Imam Syafi'i melalui jalur ulama-ulama di Timur Tengah.

Gambar 2: Representasi ilmu pengetahuan dan ajaran fiqih.

C. Tasawuf (Etika dan Spiritualitas)

Dalam bidang tasawuf atau akhlak, Aswaja menganut ajaran yang dikembangkan oleh Imam Junaid al-Baghdadi (w. 297 H) dan Imam Al-Ghazali (w. 505 H). Tasawuf dalam perspektif Aswaja bukanlah ajaran yang memisahkan diri dari syariat, apalagi menentangnya. Sebaliknya, tasawuf adalah penyempurna syariat, yang berfokus pada penyucian jiwa (tazkiyatun nufs), pembentukan karakter mulia (akhlakul karimah), dan pendekatan diri kepada Allah melalui ibadah yang khusyuk dan tulus.

Imam Al-Ghazali, melalui karyanya "Ihya Ulumuddin", berhasil mensintesiskan antara fiqih dan tasawuf, menegaskan bahwa syariat tanpa hakikat (tasawuf) adalah kosong, dan hakikat tanpa syariat adalah sesat. Tasawuf Aswaja menekankan pentingnya membersihkan hati dari sifat-sifat tercela (madzmumah) seperti riya', takabbur, dengki, dan menggantinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah) seperti ikhlas, sabar, syukur, zuhud, dan tawakkal.

Dengan demikian, Aswaja menyajikan sebuah pemahaman Islam yang utuh dan seimbang: akidah yang benar menjadi pondasi, fiqih yang sistematis menjadi panduan praktik, dan tasawuf yang mendalam menjadi ruh yang menghidupkan dan memuliakan dimensi spiritual seorang Muslim.

III. Manhaj (Metodologi) Berpikir Aswaja Nahdlatul Ulama

Manhaj Aswaja yang dipegang oleh Nahdlatul Ulama memiliki kekhasan yang membuatnya relevan dan kokoh dalam menghadapi berbagai dinamika zaman. Manhaj ini dirumuskan berdasarkan nilai-nilai luhur Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah, serta diamalkan oleh para ulama salafush shalih. Prinsip-prinsip manhaj ini menjadi panduan dalam beragama, bermasyarakat, dan bernegara.

A. Tawassuth (Moderasi/Jalan Tengah)

Tawassuth adalah prinsip moderasi, yaitu tidak ekstrem ke kanan dan tidak ekstrem ke kiri. Dalam beragama, Tawassuth berarti mengambil sikap tengah, tidak berlebihan (ghuluw) dan tidak pula meremehkan (tafrith). NU melalui prinsip Tawassuth ini senantiasa menyeru umat Islam untuk beragama secara proporsional, tidak mudah mengkafirkan, tidak mudah membid'ahkan, dan menghindari segala bentuk kekerasan atau radikalisme.

Penerapan Tawassuth ini terlihat dalam berbagai aspek kehidupan NU, seperti dalam penafsiran agama yang kontekstual, penerimaan terhadap budaya lokal (selama tidak bertentangan dengan syariat), serta dalam perpolitikan yang mengedepankan musyawarah dan mufakat. Sikap moderat ini menjaga umat dari perpecahan dan konflik internal, serta memungkinkan terjalinnya dialog dengan kelompok lain.

B. Tasamuh (Toleransi)

Tasamuh berarti toleransi, yaitu sikap menghargai perbedaan dan keberagaman, baik dalam internal umat Islam (khilafiyah fiqhiyah) maupun dengan pemeluk agama lain. Toleransi bukan berarti mencampuradukkan akidah atau keyakinan, tetapi mengakui hak setiap individu untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing tanpa paksaan atau gangguan.

NU secara konsisten mempromosikan Tasamuh sebagai bagian integral dari Islam rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam). Hal ini tercermin dalam sikap NU yang selalu aktif dalam menjaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia, menolak tindakan diskriminasi, dan menyerukan dialog damai sebagai solusi atas setiap konflik. Tasamuh ini merupakan perwujudan dari ajaran Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai pribadi yang santun dan penuh kasih sayang.

C. Tawazun (Keseimbangan)

Tawazun adalah prinsip keseimbangan, yaitu harmonisasi antara berbagai aspek kehidupan. Dalam beragama, Tawazun berarti menyeimbangkan antara penggunaan dalil naqli (teks Al-Qur'an dan Sunnah) dengan dalil aqli (akal dan rasionalitas), antara kehidupan duniawi dengan ukhrawi, antara hak dan kewajiban, serta antara individualitas dengan sosialitas. Aswaja juga menyeimbangkan antara semangat inovasi (tajdid) dengan menjaga tradisi (turats) yang baik.

Keseimbangan ini penting agar umat Islam tidak terjebak pada ekstremitas. Misalnya, tidak terlalu berlebihan dalam ibadah hingga melupakan hak-hak keluarga dan masyarakat, atau sebaliknya, tidak terlalu tenggelam dalam urusan dunia hingga melupakan akhirat. Tawazun juga berarti menjaga keseimbangan antara hubungan vertikal (hablun minallah) dengan hubungan horizontal (hablun minannas).

D. I'tidal (Tegak Lurus/Adil)

I'tidal berarti tegak lurus, lurus, atau adil. Prinsip ini menekankan pentingnya menegakkan keadilan di mana pun dan kapan pun, tanpa pandang bulu. Keadilan tidak hanya terkait dengan hukum, tetapi juga dalam bersikap, berpendapat, dan mengambil keputusan. I'tidal juga berarti istiqamah atau konsisten dalam memegang prinsip kebenaran.

Dalam konteks NU, I'tidal berarti komitmen untuk selalu berada pada jalur yang benar, mengikuti Al-Qur'an dan Sunnah, serta menolak segala bentuk kezaliman dan penyimpangan. Ini juga berarti adil dalam menilai orang lain, tidak mudah menghakimi, dan selalu berusaha mencari titik temu yang maslahat.

E. Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Menyeru Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran)

Prinsip Amar Ma'ruf Nahi Munkar adalah inti dari dakwah Islam. Namun, dalam Aswaja NU, pelaksanaannya harus dilakukan dengan cara yang bijaksana (bil hikmah), nasihat yang baik (mau'izhatil hasanah), dan dialog yang konstruktif (mujadalah billati hiya ahsan). Artinya, tidak dengan kekerasan, pemaksaan, atau cara-cara yang justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.

NU menekankan pentingnya skala prioritas dalam Amar Ma'ruf Nahi Munkar, dimulai dari diri sendiri, keluarga, hingga masyarakat luas. Pendekatan persuasif dan edukatif lebih diutamakan daripada pendekatan koersif. Tujuannya adalah untuk membangun masyarakat yang madani, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, tanpa menciptakan konflik atau keresahan.

Gambar 3: Representasi keadilan dan keseimbangan manhaj Aswaja.

IV. Peran Nahdlatul Ulama dalam Membumikan Aswaja di Indonesia

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M (16 Rajab 1344 H) di Surabaya. Berdirinya NU tidak lepas dari peran para ulama pesantren yang gelisah melihat perkembangan paham-paham baru serta merosotnya tradisi keilmuan Islam klasik di tengah masyarakat. NU didirikan dengan tujuan utama untuk menjaga, melestarikan, dan mengembangkan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah di Indonesia.

A. Latar Belakang Berdirinya NU

Pada awal abad ke-20, Indonesia menghadapi berbagai tantangan, baik dari kolonialisme Belanda maupun dari gerakan-gerakan pembaharuan Islam dari Timur Tengah yang cenderung puritan dan anti-mazhab. Para ulama tradisionalis merasa perlu adanya wadah perjuangan untuk membentengi umat dari paham-paham yang dianggap menyimpang dari Aswaja, serta untuk mempertahankan tradisi keilmuan pesantren yang telah mengakar kuat di Nusantara.

Pendirian NU juga dilatarbelakangi oleh peristiwa dibongkarnya makam para sahabat dan dihancurkannya situs-situs bersejarah Islam di Hijaz oleh rezim Ibnu Saud. Para ulama Nusantara mengirim delegasi ke Hijaz untuk menyampaikan aspirasi agar tradisi keagamaan Ahlussunnah wal Jama'ah tetap dihormati. Dari situlah kemudian muncul kesadaran kolektif untuk membentuk sebuah organisasi yang kuat dan terstruktur.

Hadratussyekh KH. Hasyim Asy'ari, pendiri dan Rais Akbar NU, bersama dengan para ulama lainnya seperti KH. Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Sansuri, menyadari bahwa perjuangan melestarikan Aswaja memerlukan sebuah kekuatan organisasi yang mampu bergerak secara sistematis, baik dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial, maupun politik.

B. Kontribusi NU dalam Bidang Keagamaan

Sejak kelahirannya, NU secara konsisten menjadi garda terdepan dalam menjaga dan menyebarkan ajaran Aswaja. Kontribusi NU sangat signifikan, antara lain:

  1. Melestarikan Tradisi Sanad Keilmuan: NU menjaga mata rantai transmisi ilmu dari generasi ke generasi melalui sistem pesantren yang mengkaji kitab-kitab kuning klasik (turats). Ini memastikan pemahaman Islam yang otentik dan bersanad.
  2. Mempertahankan Fiqih Mazhab: NU secara tegas mempertahankan pentingnya berpegang pada salah satu dari empat mazhab fiqih, khususnya Syafi'i, sebagai panduan praktis dalam beribadah dan bermuamalah.
  3. Mengembangkan Moderasi Beragama: Melalui manhaj Tawassuth, Tasamuh, dan Tawazun, NU aktif mengkampanyekan Islam yang moderat, toleran, dan jauh dari ekstremisme.
  4. Membentengi dari Paham Radikal: NU menjadi benteng utama dalam melawan paham-paham radikal dan ekstrem yang mencoba merusak tatanan sosial dan keagamaan di Indonesia.
  5. Mengembangkan Dakwah Kultural: NU memahami pentingnya pendekatan kultural dalam berdakwah, mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan kearifan lokal tanpa mengikis identitas keislaman.

C. Peran NU dalam Bidang Sosial dan Kebangsaan

Selain fokus pada aspek keagamaan, NU juga memiliki peran sentral dalam pembangunan sosial dan kebangsaan Indonesia. NU adalah organisasi yang sangat nasionalis, menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara yang final dan tidak bisa ditawar lagi.

  1. Melawan Penjajahan: Para ulama NU terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan, termasuk Resolusi Jihad yang mengobarkan semangat perlawanan terhadap agresi militer Belanda.
  2. Menjaga Keutuhan NKRI: NU dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah darul ahdi wa syahadah (negara perjanjian dan kesaksian), yang wajib dijaga keutuhannya.
  3. Membangun Pendidikan: NU memiliki ribuan lembaga pendidikan, mulai dari PAUD, madrasah, pesantren, hingga perguruan tinggi, yang menjadi wadah pembinaan generasi muda yang berilmu dan berakhlak.
  4. Mengembangkan Ekonomi Umat: Melalui lembaga-lembaga seperti LAZISNU dan LPNU, NU berupaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat melalui koperasi, UMKM, dan program-program pemberdayaan ekonomi.
  5. Membina Kerukunan Umat Beragama: NU selalu menjadi pelopor dalam dialog antarumat beragama dan menjaga toleransi, mewujudkan Islam rahmatan lil 'alamin.

Dengan jaringan yang sangat luas, meliputi berbagai tingkatan dari pusat hingga ranting di pelosok desa, serta lembaga-lembaga otonom seperti Muslimat NU, Fatayat NU, GP Ansor, IPNU, IPPNU, NU mampu menyentuh berbagai lapisan masyarakat dan memastikan ajaran Aswaja terus hidup dan diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

V. Relevansi Aswaja di Tengah Tantangan Kontemporer

Di era modern yang penuh gejolak dan perubahan, ajaran Aswaja justru semakin menunjukkan relevansinya. Berbagai tantangan global, mulai dari konflik ideologi hingga krisis moral, menuntut umat Islam untuk memiliki pondasi yang kuat dan metodologi yang adaptif. Aswaja menawarkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan.

A. Menghadapi Radikalisme dan Ekstremisme

Salah satu tantangan terbesar saat ini adalah radikalisme dan ekstremisme atas nama agama. Kelompok-kelompok radikal seringkali menafsirkan teks-teks agama secara literal, kaku, dan cenderung mengkafirkan pihak lain yang berbeda. Dalam konteks ini, Aswaja dengan prinsip Tawassuth dan Tasamuh-nya menjadi antitesis yang kuat.

Aswaja mengajarkan pentingnya pemahaman agama yang mendalam dan kontekstual, dengan merujuk pada tafsir para ulama yang otoritatif. NU secara aktif mengedukasi masyarakat tentang bahaya radikalisme, mempromosikan nilai-nilai Islam moderat, dan membendung penyebaran ideologi kekerasan melalui mimbar dakwah, pendidikan, dan media sosial. Sikap inklusif Aswaja menjadi penangkal efektif terhadap narasi intoleransi.

B. Merespons Liberalisme dan Sekularisme

Di sisi lain, umat Islam juga dihadapkan pada arus liberalisme dan sekularisme yang cenderung memisahkan agama dari kehidupan publik, atau menafsirkan agama secara bebas tanpa batasan metodologi yang jelas. Aswaja menawarkan keseimbangan antara mempertahankan nilai-nilai fundamental agama dengan adaptasi terhadap kemajuan zaman.

Aswaja menekankan bahwa Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh) dan kamil (sempurna), yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun, penerapannya harus dilakukan dengan hikmah dan tidak kaku. NU melalui prinsip Tawazun-nya berupaya menyeimbangkan antara tradisi dan modernitas, antara menjaga orisinalitas ajaran dengan menyerap hal-hal positif dari peradaban global, tanpa kehilangan identitas keislaman.

C. Adaptasi terhadap Globalisasi dan Teknologi Informasi

Era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi membawa dampak ganda. Di satu sisi, ia mempermudah akses informasi dan komunikasi; di sisi lain, ia juga memfasilitasi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan ideologi-ideologi yang merusak.

Aswaja NU merespons hal ini dengan mengoptimalkan penggunaan media digital untuk dakwah, pendidikan, dan informasi yang benar. Para kiai dan aktivis NU aktif di media sosial, membuat konten-konten edukatif, dan membangun narasi positif tentang Islam rahmatan lil 'alamin. Aswaja mengajarkan umat untuk bersikap kritis terhadap informasi, melakukan tabayyun (klarifikasi), dan menggunakan teknologi secara bertanggung jawab demi kemaslahatan bersama.

D. Penguatan Karakter Bangsa dan Persatuan

Di tengah berbagai tekanan dan potensi perpecahan, Aswaja berperan penting dalam menguatkan karakter bangsa dan menjaga persatuan. Nilai-nilai seperti toleransi, moderasi, keadilan, dan kasih sayang yang diajarkan Aswaja sangat relevan untuk membangun masyarakat yang harmonis dan berkeadilan.

NU secara konsisten menyuarakan pentingnya ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia). Komitmen NU terhadap Pancasila dan NKRI adalah manifestasi dari pemahaman Aswaja yang utuh, yang memandang bahwa menjaga negara adalah bagian dari menjaga agama.

VI. Implementasi Nilai-Nilai Aswaja dalam Kehidupan Sehari-hari

Pelajaran Aswaja tidak hanya berhenti pada tataran teoretis, tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun kolektif. Penerapan nilai-nilai Aswaja akan menciptakan pribadi Muslim yang holistik dan masyarakat yang harmonis.

A. Dalam Dimensi Spiritual dan Ibadah

  1. Konsistensi Beribadah: Menjalankan shalat lima waktu, puasa, zakat, dan haji (bagi yang mampu) dengan penuh keikhlasan dan khusyuk, sesuai tuntunan syariat dan mazhab yang diikuti.
  2. Dzikir dan Doa: Membiasakan diri berdzikir dan berdoa kepada Allah, menghidupkan hati dengan mengingat-Nya, dan memohon keberkahan dalam setiap aktivitas.
  3. Memperbaiki Akhlak: Senantiasa berusaha membersihkan hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, sebagai wujud tasawuf dalam kehidupan.
  4. Menghormati Perbedaan: Tidak mudah menyalahkan atau membid'ahkan orang lain dalam masalah furu'iyyah (cabang) ibadah yang masih dalam koridor empat mazhab.

B. Dalam Dimensi Sosial dan Kemasyarakatan

  1. Toleransi Antarumat Beragama: Menjaga hubungan baik dengan pemeluk agama lain, menghormati keyakinan mereka, dan bekerja sama dalam urusan kemanusiaan dan kebangsaan.
  2. Gotong Royong: Aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, tolong-menolong, dan berkontribusi untuk kemajuan lingkungan sekitar.
  3. Menjaga Silaturahmi: Mempererat tali persaudaraan dengan tetangga, kerabat, dan sesama Muslim, serta menjauhi fitnah dan permusuhan.
  4. Aspirasi Politik yang Moderat: Terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sikap yang adil, mengedepankan musyawarah, dan menolak politik identitas yang memecah belah.

C. Dalam Dimensi Pendidikan dan Keilmuan

  1. Cinta Ilmu: Senantiasa haus akan ilmu pengetahuan, tidak hanya ilmu agama tetapi juga ilmu umum yang bermanfaat bagi kemajuan umat dan bangsa.
  2. Menghormati Guru dan Ulama: Mengambil ilmu dari sumber yang jelas sanadnya, serta menghormati dan memuliakan para guru dan ulama sebagai pewaris para nabi.
  3. Bersikap Kritis dan Santun: Mampu membedakan informasi yang benar dari yang salah, berargumen dengan data dan fakta, serta menyampaikan perbedaan pendapat dengan cara yang santun dan beradab.
  4. Membaca Kitab Kuning: Mengkaji kitab-kitab turats untuk memperdalam pemahaman agama yang orisinal dan bersanad.

D. Dalam Dimensi Ekonomi

  1. Ekonomi Berkeadilan: Menerapkan prinsip-prinsip ekonomi syariah, menghindari riba, penipuan, dan eksploitasi, serta mengedepankan keadilan dalam bertransaksi.
  2. Berzakat dan Bersedekah: Mengeluarkan zakat sebagai kewajiban dan membiasakan diri bersedekah untuk membantu kaum dhuafa dan meningkatkan kesejahteraan sosial.
  3. Etos Kerja Profesional: Bekerja keras, jujur, dan profesional dalam setiap bidang pekerjaan, menjadikan kerja sebagai ibadah.
  4. Pemberdayaan Umat: Berpartisipasi dalam program-program pemberdayaan ekonomi umat, seperti koperasi atau UMKM, untuk meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat.

Dengan menerapkan nilai-nilai Aswaja dalam berbagai dimensi kehidupan, seorang Muslim dapat menjadi pribadi yang kamil (utuh), yang memiliki akidah yang kuat, ibadah yang benar, akhlak yang mulia, serta berkontribusi positif bagi masyarakat, bangsa, dan agama.

VII. Pentingnya Mempelajari dan Mengamalkan Aswaja Secara Berkesinambungan

Mempelajari Aswaja bukan sekadar untuk menambah wawasan keagamaan, melainkan untuk membentuk karakter Muslim yang kokoh, moderat, dan adaptif. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang tak terbendung, pemahaman yang mendalam tentang Aswaja menjadi semakin krusial. Aswaja memberikan panduan yang jelas dalam menyikapi berbagai isu kompleks, dari persoalan akidah hingga dinamika sosial-politik.

A. Menjaga Keutuhan Umat dan Bangsa

Pemahaman Aswaja yang benar dapat mencegah umat dari perpecahan akibat perbedaan pandangan atau provokasi ideologi transnasional. Dengan mengedepankan Tasamuh dan Tawassuth, umat Islam dapat hidup berdampingan secara damai, tidak hanya sesama Muslim tetapi juga dengan pemeluk agama lain. Di Indonesia, Aswaja telah terbukti menjadi perekat kebangsaan, menjaga keutuhan NKRI di tengah keberagaman.

B. Membangun Peradaban Islam yang Gemilang

Sejarah menunjukkan bahwa masa keemasan peradaban Islam selalu didukung oleh ulama dan cendekiawan yang berpegang pada manhaj Aswaja. Dengan memadukan akal dan wahyu, tradisi dan inovasi, Aswaja mendorong umat untuk terus berkarya, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Hal ini sejalan dengan visi Islam rahmatan lil 'alamin.

C. Mewujudkan Keseimbangan Hidup

Aswaja menawarkan konsep hidup yang seimbang antara dunia dan akhirat, antara hak individu dan kewajiban sosial. Keseimbangan ini penting untuk menghindari ekstremitas, baik dalam bentuk materialisme yang melupakan akhirat maupun asketisme berlebihan yang mengabaikan tanggung jawab duniawi. Dengan Tawazun, seorang Muslim dapat menjadi pribadi yang produktif di dunia tanpa melupakan tujuan ukhrawi.

D. Melahirkan Generasi Muslim Berkarakter

Pendidikan Aswaja, terutama melalui pesantren dan madrasah, bertujuan untuk melahirkan generasi Muslim yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat imannya, mulia akhlaknya, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Generasi ini diharapkan mampu menjadi pemimpin yang adil, ulama yang moderat, dan masyarakat yang beradab.

Oleh karena itu, upaya mempelajari Aswaja, baik melalui pendidikan formal, kajian-kajian keagamaan, maupun internalisasi nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari, harus terus digalakkan. Ini adalah investasi jangka panjang untuk membangun umat dan bangsa yang berkeadaban, kokoh, dan berdaya saing di masa depan.

Kesimpulan

Pelajaran Aswaja adalah sebuah warisan keilmuan dan metodologi beragama yang sangat berharga dalam tradisi Islam, khususnya yang diwarisi dan dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama di Indonesia. Sebagai sebuah manhaj yang komprehensif, Aswaja mencakup tiga dimensi utama: akidah yang berlandaskan pemikiran Al-Asy'ari dan Al-Maturidi, fiqih yang merujuk pada empat mazhab yang muktabar, dan tasawuf yang berpegang pada ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali.

Manhaj berpikir Aswaja yang menekankan prinsip Tawassuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (seimbang), I'tidal (adil), dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar (dengan hikmah) telah membuktikan kemampuannya dalam menjaga keutuhan umat, membentengi dari paham ekstrem, serta membangun masyarakat yang harmonis dan berkeadaban.

Nahdlatul Ulama, sebagai representasi utama Aswaja di Indonesia, telah memainkan peran krusial dalam membumikan ajaran ini melalui pendidikan, dakwah, dan berbagai kegiatan sosial kebangsaan. Di tengah tantangan kontemporer seperti radikalisme, liberalisme, dan globalisasi, nilai-nilai Aswaja justru semakin relevan sebagai solusi untuk menciptakan stabilitas dan kemajuan.

Oleh karena itu, mempelajari dan mengamalkan Aswaja secara berkesinambungan adalah sebuah keniscayaan bagi umat Islam, khususnya generasi muda. Dengan memahami Aswaja, kita tidak hanya memperkokoh identitas keislaman, tetapi juga turut serta dalam membangun Indonesia yang maju, adil, makmur, dan penuh kedamaian, sesuai dengan semangat Islam rahmatan lil 'alamin.

🏠 Homepage