Simbol visual yang mewakili kompleksitas dan interaksi berbagai elemen.
Aspartam adalah salah satu pemanis buatan yang paling umum digunakan di dunia. Ditemukan pada tahun 1965 oleh James M. Schlatter, seorang ahli kimia di G.D. Searle and Company, aspartam memiliki rasa manis sekitar 200 kali lebih kuat daripada gula pasir (sukrosa). Karena intensitas manisnya yang tinggi dan kandungan kalorinya yang hampir nol, aspartam menjadi pilihan populer bagi produsen makanan dan minuman yang ingin mengurangi kadar gula dan kalori dalam produk mereka. Anda dapat menemukan aspartam dalam berbagai macam produk, mulai dari minuman ringan diet, permen bebas gula, produk susu, hingga obat-obatan dan suplemen.
Secara kimia, aspartam adalah metil ester dari dipeptida yang terdiri dari dua asam amino: asam aspartat dan fenilalanin. Ketika dikonsumsi, aspartam dipecah menjadi komponen-komponen penyusunnya di dalam tubuh. Asam aspartat adalah asam amino non-esensial yang diproduksi secara alami oleh tubuh dan berperan dalam berbagai fungsi biologis. Fenilalanin adalah asam amino esensial yang harus diperoleh dari makanan. Dalam tubuh, fenilalanin diubah menjadi tirosin, yang kemudian digunakan untuk memproduksi neurotransmitter seperti dopamin dan norepinefrin.
Sebagian kecil dari aspartam juga dipecah menjadi metanol. Metanol adalah zat yang dapat beracun jika dikonsumsi dalam jumlah besar. Namun, jumlah metanol yang dihasilkan dari konsumsi aspartam dalam batas normal jauh lebih kecil daripada metanol yang terdapat secara alami dalam banyak makanan, seperti jus buah. Komponen terakhir yang terbentuk adalah fenilalanin, yang merupakan asam amino esensial dan berperan penting dalam metabolisme.
Sejak pertama kali disetujui untuk digunakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) pada tahun 1981, keamanan aspartam telah menjadi subjek penelitian yang ekstensif dan perdebatan publik yang berkelanjutan. Berbagai badan pengawas makanan dan kesehatan di seluruh dunia, termasuk FDA, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA), dan WHO, secara konsisten menyatakan bahwa aspartam aman untuk dikonsumsi oleh populasi umum dalam batas asupan harian yang dapat diterima (ADI). ADI untuk aspartam ditetapkan pada 40 miligram per kilogram berat badan per hari.
Penelitian telah dilakukan selama beberapa dekade untuk mengevaluasi potensi efek samping dari aspartam, termasuk kanker, gangguan neurologis, dan efek pada suasana hati. Sebagian besar studi ilmiah berskala besar dan tinjauan sistematis tidak menemukan bukti yang meyakinkan yang menghubungkan konsumsi aspartam dalam jumlah moderat dengan peningkatan risiko penyakit-penyakit tersebut. Namun, beberapa penelitian independen dan laporan anekdotal masih menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat.
Ada banyak kesalahpahaman seputar kandungan aspartam. Mari kita urai beberapa yang paling umum:
Faktanya, badan pengawas seperti FDA dan EFSA telah meninjau banyak studi yang melibatkan aspartam dan kanker. Mayoritas bukti ilmiah tidak mendukung klaim bahwa aspartam adalah karsinogen pada manusia ketika dikonsumsi dalam batas normal.
Aspartam tidak memengaruhi kadar gula darah, sehingga seringkali direkomendasikan sebagai pengganti gula untuk penderita diabetes. Namun, penting untuk tetap memperhatikan total asupan karbohidrat dari makanan dan minuman secara keseluruhan.
Meskipun beberapa individu melaporkan mengalami sakit kepala setelah mengonsumsi aspartam, studi ilmiah secara konsisten belum dapat membuktikan hubungan sebab akibat yang kuat. Sensitivitas terhadap zat tertentu bervariasi antar individu.
Seperti disebutkan sebelumnya, aspartam dipecah menjadi asam amino dan metanol. Dalam jumlah yang dihasilkan dari konsumsi normal, komponen-komponen ini tidak dianggap beracun bagi kebanyakan orang. Tubuh kita juga memproduksi dan mengonsumsi komponen ini dari sumber makanan lain.
Meskipun aman bagi mayoritas orang, ada satu kelompok spesifik yang perlu berhati-hati terhadap konsumsi aspartam: individu dengan kondisi genetik langka yang disebut phenylketonuria (PKU). Penderita PKU tidak dapat memetabolisme fenilalanin secara efisien. Karena aspartam mengandung fenilalanin, konsumsi produk yang mengandung aspartam dapat berbahaya bagi mereka dan dapat menyebabkan penumpukan fenilalanin di dalam tubuh, yang berpotensi merusak otak. Oleh karena itu, semua produk yang mengandung aspartam diwajibkan untuk mencantumkan peringatan "mengandung fenilalanin" pada label kemasannya.
Secara keseluruhan, aspartam telah melalui proses evaluasi keamanan yang ketat dan dianggap aman oleh otoritas kesehatan global untuk dikonsumsi dalam jumlah wajar. Bagi sebagian besar populasi, termasuk penderita diabetes, aspartam dapat menjadi alternatif pemanis yang berguna. Namun, penting untuk selalu membaca label produk dan menyadari kebutuhan kesehatan individu Anda, terutama jika Anda memiliki kondisi seperti PKU.