Ilustrasi tangan memohon di bawah bulan sabit, melambangkan kekhusyukan doa di malam Asyura.
Bulan Muharram, sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriah, memiliki kedudukan istimewa dalam Islam. Ia adalah salah satu dari empat bulan haram (mulia) yang disebut dalam Al-Quran, di mana amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya, dan amal keburukan juga diperberat dosanya. Di antara hari-hari yang penuh berkah di bulan Muharram, Hari Asyura, yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, menempati posisi yang sangat penting. Hari ini seringkali disebut sebagai "10 Suro" dalam konteks budaya Jawa, meskipun esensi dan keutamaannya tetap sama dalam ajaran Islam.
Artikel ini akan mengupas tuntas tentang doa 10 Suro, berbagai amalan yang dianjurkan, keutamaannya menurut syariat Islam, serta panduan praktis untuk meraih keberkahan di hari yang mulia ini. Kita akan menelusuri sejarah, hikmah, dan cara mengamalkan sunnah serta doa-doa yang relevan, agar setiap Muslim dapat memanfaatkan momen berharga ini untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, membersihkan jiwa, dan memperkuat ikatan spiritual.
Melalui pemahaman yang mendalam mengenai Hari Asyura, kita akan diajak untuk tidak hanya menjalankan ibadah secara ritualistik, tetapi juga meresapi makna di baliknya. Ini adalah kesempatan untuk introspeksi diri, memperbaharui komitmen kepada Allah, dan meneladani kesabaran serta keteguhan para nabi dalam menghadapi ujian. Dengan demikian, "doa 10 Suro" tidak hanya merujuk pada lafal doa tertentu, tetapi juga pada semangat untuk berdoa dan beramal saleh secara menyeluruh pada hari yang istimewa ini.
Istilah "Asyura" berasal dari bahasa Arab yang berarti "kesepuluh". Merujuk pada tanggal 10 Muharram, hari ini memiliki akar sejarah yang sangat dalam dan signifikan dalam tradisi Islam, jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW. Penting untuk memahami latar belakang ini agar kita dapat menghargai keutamaannya dengan lebih baik dan mengamalkan "doa 10 Suro" serta amalan lainnya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
Jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, Hari Asyura sudah dikenal dan dimuliakan oleh bangsa Quraisy di Mekkah. Mereka bahkan memiliki kebiasaan untuk berpuasa pada hari tersebut. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa puasa Asyura adalah warisan dari syariat Nabi Ibrahim AS, yang kemudian diteruskan oleh generasi-generasi setelahnya, termasuk masyarakat Mekkah sebelum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa pengagungan terhadap Hari Asyura bukanlah inovasi baru, melainkan tradisi yang memiliki fondasi historis yang panjang dan diakui bahkan oleh masyarakat pra-Islam.
Selain itu, Hari Asyura juga merupakan hari penting bagi kaum Yahudi. Nabi Musa AS dan kaumnya diselamatkan dari kejaran Firaun pada hari ini. Mereka menyeberangi Laut Merah, sementara Firaun dan pasukannya ditenggelamkan secara dramatis. Oleh karena itu, kaum Yahudi berpuasa pada Hari Asyura sebagai bentuk syukur yang mendalam atas pertolongan Allah SWT yang luar biasa. Kisah penyelamatan ini menjadi salah satu titik fokus penting dalam sejarah Asyura, yang kemudian juga diakui dan ditegaskan dalam ajaran Islam, menjadikannya salah satu fondasi bagi anjuran puasa Asyura.
Sejarah ini menunjukkan bahwa hari ke-10 Muharram bukanlah hari biasa, melainkan hari yang telah lama dihormati dan dianggap sakral oleh berbagai umat beragama yang memiliki akar dari risalah ilahi. Pengakuan Islam terhadap keutamaan hari ini semakin mempertegas signifikansinya sebagai waktu yang tepat untuk memperbanyak doa dan ibadah.
Ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau mendapati bahwa kaum Yahudi juga berpuasa pada Hari Asyura. Nabi SAW bertanya kepada mereka tentang alasan puasa tersebut, dan mereka dengan bangga menjawab bahwa itu adalah hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa AS dan Bani Israil dari musuh mereka, yaitu Firaun yang zalim, sehingga Nabi Musa AS berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur. Mendengar hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, menegaskan hak umat Islam terhadap warisan para nabi:
"Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka Nabi SAW pun berpuasa pada Hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Pada awalnya, puasa Asyura adalah puasa wajib bagi umat Islam, sebelum kemudian difardukan puasa Ramadan. Setelah turunnya perintah puasa Ramadan, puasa Asyura menjadi sunnah, namun tetap sangat dianjurkan karena keutamaan dan pahalanya yang besar. Ini adalah salah satu contoh bagaimana Nabi Muhammad SAW mengintegrasikan tradisi yang baik dengan ajaran Islam, sembari memberikan modifikasi yang membedakan identitas Muslim.
Untuk membedakan puasa umat Islam dari puasa Yahudi, yang hanya berpuasa pada tanggal 10 Muharram, Nabi Muhammad SAW kemudian menganjurkan untuk berpuasa juga pada tanggal 9 Muharram (Hari Tasu'a) di tahun berikutnya. Beliau bersabda:
"Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Muharram)." (HR. Muslim)
Namun, Nabi SAW wafat sebelum tiba Muharram tahun berikutnya, sehingga anjuran puasa Tasu'a ini menjadi sunnah yang kemudian diamalkan oleh umat Islam untuk menyertai puasa Asyura. Anjuran ini menunjukkan kebijaksanaan Nabi dalam membentuk identitas umat Muslim dan menjaga kemurnian ajaran Islam dari tasyabbuh (menyerupai) umat lain.
Dengan demikian, sejarah Hari Asyura dalam Islam tidak hanya tentang puasa, tetapi juga tentang syukur, identitas, dan mengikuti sunnah Nabi SAW yang penuh hikmah. Semua ini menjadi latar belakang penting dalam memahami "doa 10 Suro" dan amalan-amalan lainnya.
Di Indonesia, khususnya di Jawa, Hari Asyura dikenal juga dengan sebutan "10 Suro". Istilah "Suro" adalah adaptasi dari kata "Asyura" dalam bahasa Jawa. Penetapan 1 Suro sebagai awal tahun baru Jawa didasarkan pada perhitungan kalender Hijriah, sehingga 10 Suro secara otomatis bertepatan dengan 10 Muharram. Meskipun ada nuansa budaya dan tradisi lokal yang menyertainya, esensi keislaman dari Hari Asyura tetap menjadi inti perayaannya bagi masyarakat Muslim di Jawa.
Tradisi lokal seperti membuat dan membagikan bubur Suro atau melakukan sedekah pada hari ini seringkali diselaraskan dengan ajaran Islam tentang berbagi, kepedulian sosial, dan bersedekah. Ini menunjukkan akulturasi yang harmonis antara tradisi Islam dan budaya lokal, asalkan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariat. Penting untuk selalu mengembalikan niat pada ajaran Islam murni, yaitu sedekah sebagai ibadah, bukan sebagai ritual wajib yang dikhususkan pada hari tersebut dengan keyakinan tertentu di luar syariat. Oleh karena itu, ketika masyarakat Jawa menyebut "doa 10 Suro" atau amalan 10 Suro, pada hakikatnya mereka merujuk pada doa dan amalan yang disunnahkan dalam Islam pada tanggal 10 Muharram.
Hari Asyura adalah salah satu hari yang paling diberkahi dalam kalender Islam. Banyak hadits Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang keutamaan hari ini, mendorong umatnya untuk beramal saleh, terutama berpuasa. Keutamaan-keutamaan ini menjadi motivasi utama bagi umat Muslim untuk menghidupkan Hari Asyura dengan ibadah dan ketaatan, serta memanjatkan "doa 10 Suro" yang tulus kepada Allah SWT.
Keutamaan yang paling masyhur dari puasa Hari Asyura adalah kemampuannya untuk menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu. Ini adalah karunia yang sangat besar dari Allah SWT, menunjukkan betapa luasnya rahmat dan ampunan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang berusaha mendekatkan diri melalui ibadah.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Puasa Arafah dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Dan puasa Asyura (10 Muharram) dapat menghapus dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim)
Ini adalah kesempatan emas bagi setiap Muslim untuk membersihkan diri dari kesalahan-kesalahan kecil yang mungkin telah dilakukan tanpa sengaja atau karena kelalaian, dan memulai lembaran baru dengan hati yang lebih bersih. Dengan berpuasa di hari ini, seorang hamba berharap mendapatkan ampunan Ilahi dan merasakan kedekatan spiritual yang lebih dalam.
Penting untuk diingat bahwa yang dihapus adalah dosa-dosa kecil (sayyi'at). Sedangkan dosa besar (kabair) memerlukan taubat nasuha (taubat yang sungguh-sungguh) yang memenuhi syarat-syaratnya, seperti berhenti dari dosa, menyesali perbuatan, bertekad tidak mengulangi, dan jika terkait dengan hak manusia, mengembalikan hak-hak tersebut kepada yang bersangkutan atau meminta kehalalan darinya. Namun, ini tidak mengurangi keagungan puasa Asyura sebagai salah satu amalan penghapus dosa yang paling utama.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Hari Asyura adalah hari bersejarah di mana Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa AS dan Bani Israil dari kekejaman Firaun. Peristiwa ini merupakan mukjizat besar yang menunjukkan kekuasaan mutlak Allah atas segala sesuatu, serta keadilan-Nya yang selalu membela kaum yang tertindas. Puasa pada hari ini merupakan bentuk syukur yang mendalam kepada Allah atas kemenangan kebenaran dan keadilan yang Dia wujudkan.
Ibnu Abbas ra. berkata: "Nabi SAW tiba di Madinah dan melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada Hari Asyura. Beliau bertanya, 'Ada apa ini?' Mereka menjawab, 'Ini adalah hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, sehingga Musa berpuasa pada hari itu.' Beliau bersabda, 'Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.' Maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan (para sahabat) untuk berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kisah ini tidak hanya mengajarkan tentang syukur, tetapi juga tentang pentingnya kesabaran dan keyakinan dalam menghadapi kezhaliman. Pertolongan Allah datang di saat yang paling kritis, menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan di bumi yang dapat menandingi kehendak-Nya. Bagi umat Muslim, puasa Asyura adalah pengingat akan janji Allah untuk menolong hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertawakal.
Meskipun sebagian riwayat ini memerlukan kajian lebih lanjut mengenai derajat keabsahannya (banyak yang bersumber dari Isra'iliyat atau hadits yang lemah), ada beberapa kisah yang populer di kalangan umat Muslim mengenai peristiwa-peristiwa besar lain yang konon terjadi pada Hari Asyura. Kisah-kisah ini, meskipun tidak selalu didukung hadits shahih yang kuat, seringkali diceritakan untuk menambah pemahaman tentang keagungan hari ini dan betapa Allah SWT selalu menyertai para nabi-Nya dalam berbagai cobaan. Ini menjadi inspirasi untuk memanjatkan "doa 10 Suro" dengan keyakinan akan pertolongan Allah.
Penting untuk diingat bahwa banyak dari kisah-kisah ini bersumber dari *Isra'iliyat* (kisah-kisah dari Bani Israil) atau riwayat yang derajatnya lemah dalam ilmu hadits. Meskipun demikian, keberadaan kisah-kisah ini dalam tradisi populer menunjukkan betapa Hari Asyura dianggap sebagai hari yang penuh dengan mukjizat, pertolongan ilahi, dan titik balik penting dalam sejarah para nabi. Mereka menginspirasi umat untuk tidak pernah putus asa dalam berdoa dan memohon kepada Allah, terutama dengan "doa 10 Suro" dan amalan yang sejalan dengan sunnah.
Tasbih dan Al-Quran, mengingatkan pada pentingnya dzikir, doa, dan tadarus Al-Quran di Hari Asyura.
Berdasarkan sunnah Nabi Muhammad SAW dan tradisi ulama salafus shalih, ada beberapa amalan yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan di Hari Asyura. Mengamalkan amalan-amalan ini dengan ikhlas dan mengharap ridha Allah SWT akan mendatangkan pahala yang berlimpah, serta menguatkan "doa 10 Suro" yang kita panjatkan.
Ini adalah amalan utama dan yang paling ditekankan dalam sunnah Nabi Muhammad SAW. Puasa di Hari Asyura saja sudah berpahala besar, namun menggabungkannya dengan puasa Tasu'a (9 Muharram) adalah yang lebih sempurna dan sesuai dengan anjuran Nabi SAW. Jika tidak memungkinkan berpuasa pada tanggal 9, maka berpuasa pada tanggal 10 saja juga tetap dianjurkan dan mendapatkan keutamaan yang sama dalam penghapusan dosa setahun yang lalu. Bahkan, para ulama juga memperbolehkan berpuasa pada tanggal 11 Muharram sebagai pelengkap, khususnya jika ada kekhawatiran salah dalam penetapan awal bulan Muharram.
Niat puasa sunnah, termasuk puasa Asyura dan Tasu'a, tidak harus diucapkan secara lisan. Niat di dalam hati sudah cukup, yaitu keinginan tulus untuk berpuasa karena Allah SWT, semata-mata mengharap ridha dan pahala dari-Nya. Niat dapat dilakukan sejak malam hari (setelah Maghrib) hingga sebelum waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat) pada hari puasa tersebut, selama belum makan atau minum apa pun setelah subuh (sebelum fajar).
Contoh Niat Puasa Asyura (10 Muharram):
"Nawaitu shauma ghadin 'an ada'i sunnati Asyura lillahi ta'ala."
(Saya berniat puasa sunah Asyura esok hari karena Allah Ta'ala.)
Contoh Niat Puasa Tasu'a (9 Muharram):
"Nawaitu shauma ghadin 'an ada'i sunnati Tasu'a lillahi ta'ala."
(Saya berniat puasa sunah Tasu'a esok hari karena Allah Ta'ala.)
Jika berpuasa tiga hari (9, 10, 11 Muharram), niatnya dapat disesuaikan untuk masing-masing hari. Yang terpenting adalah keikhlasan hati dalam berpuasa.
Hikmah di balik anjuran Nabi SAW untuk berpuasa dua hari ini (Tasu'a dan Asyura) sangatlah mendalam:
Meskipun tidak ada satu pun "doa khusus 10 Suro" yang bersumber dari hadits shahih Nabi Muhammad SAW dengan redaksi tertentu yang harus dibaca pada hari tersebut, Hari Asyura adalah hari yang mulia, di mana doa-doa lebih mudah diijabah. Oleh karena itu, memperbanyak doa dan dzikir secara umum sangat dianjurkan. Setiap doa yang tulus, dengan harapan dan keyakinan akan dikabulkan oleh Allah SWT, sangat baik diucapkan pada hari ini. Berikut beberapa jenis doa dan dzikir yang relevan dan bisa menjadi bagian dari "doa 10 Suro" kita:
Mengingat puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu, ini adalah momen yang tepat untuk memperbanyak istighfar, memohon ampunan atas segala dosa, baik kecil maupun besar. Ini adalah kesempatan untuk melakukan muhasabah dan bertaubat dengan sungguh-sungguh.
"Astaghfirullahal 'adzim alladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyumu wa atubu ilaih."
(Aku memohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung, yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri, dan aku bertobat kepada-Nya.)
Sayyidul Istighfar (Penghulu Istighfar):
"Allahumma Anta Rabbi la ilaha illa Anta, khalaqtani wa ana 'abduka, wa ana 'ala 'ahdika wa wa'dika mastatha'tu. A'udzu bika min syarri ma shana'tu, abu'u laka bi ni'matika 'alayya, wa abu'u bi dzanbi faghfirli fa innahu la yaghfirudz dzunuba illa Anta."
(Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkau yang menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu, dan aku senantiasa atas janji dan ikatan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan perbuatanku. Aku mengakui segala nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.)
Membaca Sayyidul Istighfar di pagi dan petang hari, terutama di Hari Asyura, memiliki keutamaan besar.
Memohon segala kebaikan di dunia dan kebahagiaan di akhirat adalah inti dari setiap doa seorang Muslim. Hari Asyura adalah waktu yang sangat baik untuk memanjatkan permohonan-permohonan ini dengan harapan dikabulkan.
"Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina adzabannar."
(Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.)
Doa umum untuk segala hajat:
"Allahumma inni as'aluka min khairima sa'alaka minhu Nabiyyuka Muhammadun shallallahu 'alaihi wa sallam. Wa a'udzu bika min syarrima ista'adzaka minhu Nabiyyuka Muhammadun shallallahu 'alaihi wa sallam. Wa Antal Musta'an, wa 'alaikal Balagh, wa la hawla wa la quwwata illa billah."
(Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikan sebagaimana yang diminta oleh Nabi-Mu Muhammad SAW. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan yang Nabi-Mu Muhammad SAW berlindung darinya. Engkaulah tempat memohon pertolongan, dan kepada-Mu lah tujuan akhir, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.)
Doa ini mencakup permohonan kebaikan yang luas, baik yang terlihat maupun tidak terlihat, dan perlindungan dari segala bentuk keburukan. Ini adalah contoh "doa 10 Suro" yang sangat komprehensif.
Memperbanyak dzikir adalah cara terbaik untuk mengingat Allah, memuji-Nya, dan mengisi waktu dengan ibadah yang ringan namun berpahala besar. Setiap butir tasbih atau lafal dzikir adalah investasi akhirat.
Mendoakan orang lain, terutama orang tua, keluarga, dan seluruh kaum Muslimin, adalah amalan yang sangat mulia dan menunjukkan kepedulian seorang Muslim. Doa ini tidak hanya bermanfaat bagi yang didoakan, tetapi juga mendatangkan kebaikan bagi yang mendoakan.
"Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira."
(Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, serta sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.)
"Allahummaghfir lil mukminin wal mukminat wal muslimin wal muslimat al-ahyaa'i minhum wal amwat."
(Ya Allah, ampunilah kaum mukmin laki-laki dan perempuan, kaum Muslim laki-laki dan perempuan, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.)
Doa ini seringkali dikaitkan dengan momen-momen sulit dan pertolongan Allah. Nabi Ibrahim AS mengucapkannya saat akan dilemparkan ke dalam api, dan Nabi Muhammad SAW mengucapkannya saat dihadapkan pada ancaman musuh. Ini adalah doa tawakal dan memohon perlindungan penuh kepada Allah.
"Hasbunallah wani'mal wakil, ni'mal mawla wani'man nasir."
(Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung, Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.)
Meskipun tidak ada hadits spesifik yang mengaitkannya langsung dengan tanggal 10 Suro, mengingat Hari Asyura adalah hari di mana banyak nabi mendapatkan pertolongan Allah dalam kondisi terdesak, doa ini sangat relevan untuk memohon pertolongan dan perlindungan dari-Nya di tengah segala tantangan kehidupan. Ini bisa menjadi bagian dari "doa 10 Suro" yang diucapkan dengan penuh keyakinan.
Ada beberapa ulama, terutama dari kalangan muta'akhirin (ulama belakangan) atau di kalangan tradisi tertentu, yang menyarankan doa-doa spesifik pada Hari Asyura. Salah satu yang populer adalah doa yang disebut berasal dari Imam Ja'far ash-Shadiq atau ulama-ulama sufi. Doa ini biasanya panjang dan mengandung permohonan yang mendalam. Penting untuk dicatat bahwa doa-doa semacam ini, meskipun berisi kebaikan, tidak memiliki dasar dari hadits shahih Nabi Muhammad SAW secara khusus untuk dibaca pada Hari Asyura. Namun, karena ia berisi permohonan kebaikan, istighfar, dan pujian kepada Allah, maka tidak mengapa untuk membacanya selama diyakini sebagai doa umum dan bukan sunnah yang baku yang harus dilakukan di hari tersebut. Kehati-hatian dalam membedakan antara sunnah Nabi dan tradisi ulama adalah penting.
Contoh fragmen doa tersebut yang sering beredar:
"Subhanallahi mil'al mizani wa muntahal ilmi wa mablaghar ridha wa zinatal 'arsy. Walhamdulillahi mil'al mizani wa muntahal ilmi wa mablaghar ridha wa zinatal 'arsy. Walailahaillallah mil'al mizani wa muntahal ilmi wa mablaghar ridha wa zinatal 'arsy. Wallahuakbar mil'al mizani wa muntahal ilmi wa mablaghar ridha wa zinatal 'arsy. La hawla wala quwwata illa billahil 'aliyyil 'adzim mil'al mizani wa muntahal ilmi wa mablaghar ridha wa zinatal 'arsy."
(Maha Suci Allah sepenuh timbangan, setinggi pengetahuan, setinggi keridhaan, dan seberat 'Arsy. Segala puji bagi Allah sepenuh timbangan, setinggi pengetahuan, setinggi keridhaan, dan seberat 'Arsy. Tiada Tuhan selain Allah sepenuh timbangan, setinggi pengetahuan, setinggi keridhaan, dan seberat 'Arsy. Allah Maha Besar sepenuh timbangan, setinggi pengetahuan, setinggi keridhaan, dan seberat 'Arsy. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung sepenuh timbangan, setinggi pengetahuan, setinggi keridhaan, dan seberat 'Arsy.)
Meskipun redaksi ini indah dan sarat makna, penekanan utama seharusnya tetap pada doa-doa yang bersifat umum yang diajarkan dalam Al-Quran dan Sunnah, serta doa-doa pribadi yang tulus dari hati seorang hamba kepada Rabb-nya.
Amalan bersedekah pada Hari Asyura juga dianjurkan. Beberapa riwayat (meskipun tidak semuanya berderajat shahih atau kuat sanadnya) menyebutkan keutamaan bersedekah pada hari ini. Salah satunya yang populer di kalangan masyarakat, meskipun dengan sanad yang lemah, adalah:
"Barangsiapa melapangkan nafkah untuk keluarganya pada Hari Asyura, niscaya Allah akan melapangkan rezekinya sepanjang tahun itu."
Meskipun status hadits ini lemah dari segi sanad, semangat untuk bersedekah dan melapangkan rezeki bagi keluarga atau orang lain adalah amalan yang sangat mulia dalam Islam kapan saja, apalagi di hari-hari yang diberkahi seperti Asyura dan bulan Muharram secara keseluruhan. Memberi makan orang yang berpuasa atau fakir miskin adalah bentuk ibadah yang sangat ditekankan dalam Al-Quran dan Sunnah, yang mendatangkan pahala berlimpah. Ini adalah kesempatan untuk berbagi kebahagiaan dan meringankan beban sesama, selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman.
Bentuk sedekah bisa bermacam-macam, tidak hanya uang, tetapi juga makanan, pakaian, atau bantuan dalam bentuk lain yang dibutuhkan. Yang terpenting adalah keikhlasan dalam memberi dan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mempererat hubungan dengan sanak saudara dan kerabat adalah amalan yang mendatangkan banyak keberkahan, memperpanjang umur, dan meluaskan rezeki. Hari Asyura bisa menjadi momentum yang tepat untuk mengunjungi kerabat, meminta maaf atas kesalahan, atau sekadar menyambung komunikasi yang mungkin sempat terputus. Ini adalah salah satu bentuk ibadah sosial yang sangat ditekankan dalam Islam.
Silaturahim bukan hanya tentang bertemu fisik, tetapi juga menjaga komunikasi dan kepedulian terhadap keluarga jauh maupun dekat. Di era modern ini, silaturahim bisa dilakukan melalui telepon, video call, atau pesan singkat, asalkan esensi menjaga hubungan dan kepedulian tetap terjaga. Ini juga dapat menjadi bagian dari "doa 10 Suro" kita, yaitu memohon agar Allah memberkahi hubungan kekerabatan kita.
Membaca Al-Quran dan mentadabburinya (merenungi maknanya) adalah amalan yang sangat dianjurkan kapan saja, apalagi di hari-hari yang istimewa. Mengkhususkan waktu di Hari Asyura untuk membaca beberapa juz Al-Quran atau bahkan mengkhatamkannya (menyelesaikan bacaan seluruh Al-Quran) adalah bentuk ibadah yang luar biasa. Setiap huruf yang dibaca akan mendatangkan pahala dari Allah SWT.
Selain membaca, juga dianjurkan untuk mempelajari dan memahami makna ayat-ayat Al-Quran, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini akan memperkaya spiritualitas dan memberikan petunjuk dalam menjalani hidup.
Sebagian ulama dan tradisi lokal menganjurkan mandi sunnah pada Hari Asyura dengan keyakinan akan membawa keberkahan dan membersihkan diri secara lahir maupun batin. Namun, perlu dicatat bahwa tidak ada hadits shahih yang secara spesifik memerintahkan mandi pada Hari Asyura. Ini lebih kepada tradisi yang berkembang di beberapa komunitas Muslim sebagai bentuk tafa'ul (berharap kebaikan) atau membersihkan diri sebelum beribadah yang lebih fokus, bukan sebagai sunnah Nabi yang memiliki dalil kuat.
Mandi, atau menjaga kebersihan diri secara umum, adalah bagian integral dari ajaran Islam dan sangat dianjurkan sebelum melaksanakan ibadah penting seperti shalat. Jika diniatkan untuk kebersihan dan kesegaran dalam beribadah, tentu saja hal tersebut baik. Namun, penting untuk tidak mengaitkannya dengan klaim pahala khusus yang tidak bersumber dari dalil yang shahih.
Agar amalan di Hari Asyura dapat terlaksana dengan maksimal dan penuh berkah, serta "doa 10 Suro" kita mencapai Allah SWT, berikut adalah panduan praktis yang bisa diterapkan. Penerapan panduan ini akan membantu kita meraih keutamaan hari yang mulia ini secara optimal.
Momen ini adalah puncak dari "doa 10 Suro" yang akan kita panjatkan. Lakukan dengan penuh kesadaran dan pengharapan.
Penting untuk berhati-hati agar amalan yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan syariat. Hindari amalan-amalan yang tidak memiliki dasar dari Al-Quran dan Sunnah yang shahih, meskipun niatnya baik. Konsultasikan dengan ulama yang terpercaya jika ragu mengenai suatu amalan. Fokuslah pada amalan yang jelas disunnahkan agar ibadah kita tidak sia-sia.
Selain keutamaan dan pahala yang besar, Hari Asyura juga menyimpan banyak hikmah dan pelajaran berharga bagi umat Muslim. Memahami hikmah ini akan membuat "doa 10 Suro" dan amalan kita lebih bermakna dan berdampak positif dalam kehidupan.
Kisah penyelamatan Nabi Musa AS dari Firaun adalah pengingat yang kuat akan pentingnya bersyukur kepada Allah atas segala nikmat dan pertolongan-Nya. Rasa syukur ini tidak hanya diwujudkan dengan lisan (ucapan alhamdulillah), tetapi juga dengan amal perbuatan, termasuk puasa dan ibadah lainnya. Hari Asyura mengajarkan kita bahwa bersyukur di kala senang dan susah adalah kunci ketenangan jiwa. Berpuasa di hari ini adalah salah satu bentuk syukur yang paling agung.
Banyaknya kisah nabi yang mendapatkan pertolongan pada Hari Asyura menegaskan bahwa doa adalah senjata mukmin dan Allah selalu bersama hamba-Nya yang bertakwa. Tidak peduli seberapa berat cobaan atau seberapa besar kekuatan musuh, pertolongan Allah pasti akan datang bagi mereka yang bersabar, bertawakal, dan terus memanjatkan "doa 10 Suro" serta doa-doa lainnya dengan penuh keyakinan. Ini memberikan harapan dan kekuatan bagi kita dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.
Kisah Nabi Musa AS dan Firaun adalah simbol abadi perjuangan antara kebenaran (tauhid dan keadilan) dan kebatilan (kezaliman, kesyirikan, dan kesombongan). Hari Asyura mengingatkan kita bahwa pada akhirnya, kebenaran akan selalu menang dan kebatilan akan musnah, meskipun memerlukan kesabaran, perjuangan, dan pengorbanan yang tidak sedikit. Ini adalah pelajaran tentang keteguhan iman di tengah badai fitnah dan ujian.
Nabi Muhammad SAW menganjurkan puasa Tasu'a untuk membedakan umat Islam dari kaum Yahudi. Ini mengajarkan pentingnya memiliki identitas yang jelas sebagai seorang Muslim, menjaga keunikan ajaran Islam, dan tidak menyerupai umat lain dalam ibadah yang menjadi ciri khas. Namun, ini juga mengajarkan tentang pentingnya persatuan umat Muslim dalam menjalankan syariat Allah.
Dengan dihapusnya dosa setahun yang lalu, Hari Asyura menjadi momentum emas untuk muhasabah (introspeksi diri), mengevaluasi amal perbuatan yang telah lalu, dan bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan di masa mendatang. Ini adalah awal yang baik untuk memulai tahun Hijriah dengan lebih baik, dengan komitmen yang lebih kuat terhadap ibadah, akhlak mulia, dan kontribusi positif bagi masyarakat. Ini adalah waktu yang tepat untuk memperbarui niat dan tujuan hidup.
Siluet masjid di pagi hari yang tenang, melambangkan kekhusyukan ibadah dan doa di Hari Asyura.
Dalam semangat beribadah dan meraih pahala di Hari Asyura, kadang muncul beberapa praktik yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam yang shahih. Penting bagi seorang Muslim untuk memahami batasan-batasan ini agar ibadah yang dilakukan diterima oleh Allah SWT dan terhindar dari bid'ah (inovasi dalam agama) yang justru dapat menjauhkan dari sunnah. Keinginan untuk beramal saleh pada Hari Asyura harus dibarengi dengan kehati-hatian dalam mengikuti tuntunan agama yang benar, termasuk dalam "doa 10 Suro" dan amalan lainnya.
Secara bahasa, bid'ah berarti sesuatu yang baru atau inovasi. Namun, dalam konteks syariat Islam, bid'ah adalah penambahan, perubahan, atau penciptaan suatu perkara dalam urusan agama (ibadah) yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, serta tidak memiliki dasar syar'i dari Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda, memperingatkan kita tentang bahaya bid'ah:
"Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada dasar darinya, maka perkara tersebut tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)
"Setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Maka, dalam beramal, niat baik saja tidak cukup. Ia harus selaras dengan tuntunan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Melakukan bid'ah, meskipun dengan niat baik, justru dapat menghilangkan pahala atau bahkan mendatangkan dosa karena telah mengubah atau menambah ajaran agama.
Berikut adalah beberapa contoh amalan atau keyakinan yang sering dijumpai di masyarakat terkait Hari Asyura, namun perlu disikapi dengan bijak dan kritis agar tidak terjerumus pada bid'ah:
Sebagai Muslim yang cerdas dan berpegang teguh pada ajaran agama, kita diajarkan untuk merujuk pada Al-Quran dan Sunnah dalam setiap praktik ibadah. Jika suatu amalan tidak ditemukan dasarnya dalam kedua sumber utama ini, atau dasar haditsnya sangat lemah dan ditolak oleh para ulama hadits yang kredibel, maka sebaiknya ditinggalkan. Prinsipnya adalah:
Dengan demikian, kita dapat memanfaatkan Hari Asyura dengan sebaik-baiknya, meraih pahala yang dijanjikan, dan menjaga diri dari inovasi yang tidak syar'i. Tujuan utama kita adalah meraih ridha Allah melalui ibadah yang sesuai dengan tuntunan-Nya.
Hari Asyura atau 10 Suro adalah hari yang penuh berkah, menjadi kesempatan emas bagi setiap Muslim untuk membersihkan diri dari dosa, memperbanyak amal kebaikan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Puasa di hari ini, disertai dengan "doa 10 Suro" yang tulus, dzikir, sedekah, dan amalan kebaikan lainnya, merupakan bentuk syukur atas nikmat dan pertolongan Allah sepanjang sejarah.
Kita telah menelusuri sejarah yang kaya, keutamaan yang luar biasa, serta amalan-amalan yang dianjurkan dan panduan praktis untuk melaksanakannya. Penting juga untuk selalu berhati-hati dalam membedakan antara sunnah dan bid'ah, agar setiap ibadah kita diterima di sisi Allah SWT. Jadikanlah semangat Asyura sebagai pemicu untuk meningkatkan kualitas ibadah dan akhlak kita tidak hanya pada hari itu, tetapi di sepanjang tahun Hijriah yang baru.
Mari kita manfaatkan momen ini sebaik mungkin, dengan niat yang ikhlas dan mengikuti tuntunan syariat yang shahih. Ingatlah bahwa esensi ibadah bukan hanya pada ritualnya, tetapi pada ketulusan hati, pemahaman akan makna, dan dampak positif yang dihasilkannya dalam kehidupan kita sehari-hari, baik secara spiritual maupun sosial. Semoga Allah SWT menerima semua amal kebaikan kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan senantiasa melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua. Jadikan Hari Asyura sebagai awal dari peningkatan kualitas ibadah dan akhlak kita di sepanjang tahun Hijriah yang baru.
Semoga artikel ini memberikan pemahaman yang komprehensif dan bermanfaat bagi Anda dalam menghidupkan Hari Asyura dengan penuh keberkahan dan ketaatan. Barakallahu fiikum.