Sriwijaya, sebuah nama yang menggema dalam sejarah Nusantara, seringkali diasosiasikan dengan masa keemasan maritim dan kejayaan peradaban. Walaupun tidak ada naskah tunggal yang disebut "Babad Sriwijaya" secara definitif seperti babad-babad lain dalam tradisi Jawa, namun catatan sejarah, prasasti, dan temuan arkeologi secara kolektif membentuk gambaran utuh tentang kerajaan maritim yang pernah berjaya ini. Merangkai potongan-potongan informasi ini, kita dapat merekonstruksi narasi tentang Sriwijaya yang tidak hanya menjadi kekuatan politik, tetapi juga pusat perdagangan dan penyebaran agama Buddha.
Kerajaan Sriwijaya diperkirakan berdiri pada abad ke-7 Masehi. Pusat kekuasaannya berlokasi di sekitar Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Musi. Lokasi strategis ini memberikan Sriwijaya keunggulan dalam mengendalikan jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yang saat itu menjadi urat nadi ekonomi dunia. Prasasti Kedukan Bukit (683 M) menjadi salah satu bukti tertulis paling awal yang menyebutkan tentang perjalanan suci (siddhayatra) yang dilakukan oleh Dapunta Hyang, pendiri Sriwijaya, yang membawa rombongan dalam jumlah besar dengan perahu. Hal ini mengindikasikan bahwa Sriwijaya sejak awal telah memiliki kekuatan maritim yang signifikan.
Sriwijaya bukan sekadar kerajaan darat, melainkan sebuah imperium maritim. Kekuatan armada lautnya memungkinkan Sriwijaya menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, dan sebagian besar wilayah perairan di sekitarnya. Penguasaan jalur-jalur vital ini memberikan Sriwijaya kendali atas komoditas dagang yang berharga seperti rempah-rempah, hasil hutan, emas, dan budak. Para pedagang dari berbagai penjuru dunia, mulai dari India, Tiongkok, hingga Timur Tengah, berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya. Hal ini menjadikan Sriwijaya sebagai emporium (pusat perdagangan) internasional yang ramai dan makmur. Para sejarawan meyakini bahwa Sriwijaya mampu memungut cukai dari kapal-kapal yang melintasi wilayahnya, yang menjadi salah satu sumber kekayaan utama kerajaan.
Selain sebagai pusat perdagangan, Sriwijaya juga merupakan pusat penting bagi penyebaran agama Buddha, khususnya mazhab Mahayana. Banyak musafir dan biksu Buddha dari Tiongkok, seperti I-Tsing, singgah di Sriwijaya untuk belajar dan menerjemahkan kitab-kitab suci. I-Tsing sendiri menghabiskan waktu bertahun-tahun di Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sansekerta dan mengumpulkan naskah-naskah Buddha. Keberadaan perguruan-perguruan Buddha yang ternama di Sriwijaya menarik minat para cendekiawan dari berbagai negara, menjadikan Sriwijaya setara dengan universitas-universitas besar di India. Prasasti-prasasti yang ditemukan, seperti Prasasti Telaga Batu, juga menunjukkan adanya struktur pemerintahan yang kompleks dan sistem keagamaan yang terorganisir dengan baik.
Puncak kejayaan Sriwijaya diperkirakan terjadi pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi. Pada masa ini, pengaruh Sriwijaya meluas hingga ke Jawa, Semenanjung Malaya, bahkan sebagian Filipina. Namun, seiring berjalannya waktu, Sriwijaya mulai menghadapi berbagai tantangan. Serangan dari kerajaan-kerajaan lain, seperti dari Dinasti Chola di India pada abad ke-11, menjadi pukulan telak bagi kekuatan maritim Sriwijaya. Selain itu, perubahan pola perdagangan global dan pergeseran pusat-pusat kekuasaan di Nusantara juga turut berkontribusi pada kemunduran Sriwijaya. Meskipun demikian, warisan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang besar dan pusat kebudayaan yang penting tetap membekas dalam sejarah Indonesia.
Meski "Babad Sriwijaya" tidak ada dalam bentuk yang terstandardisasi, narasi tentang Sriwijaya terus hidup melalui berbagai catatan sejarah dan imajinasi kolektif. Kisah tentang armada kapalnya yang perkasa, para pedagangnya yang ulung, dan para biksunya yang bijaksana, menjadi pengingat akan kejayaan masa lalu Nusantara. Sriwijaya mengajarkan kita tentang pentingnya penguasaan teknologi maritim, kemampuan diplomasi, serta peran sentral perdagangan dalam membangun sebuah peradaban yang besar. Kejayaan Sriwijaya adalah bukti nyata bahwa kepulauan ini pernah menjadi pusat kekuatan dunia yang disegani, sebuah warisan berharga yang patut terus digali dan dipelajari.