Babad Mataram Islam merupakan salah satu babad terpenting dalam sejarah peradaban Nusantara, mencatat periode krusial peralihan kekuasaan dan pengaruh di tanah Jawa. Babad ini tidak hanya memuat rangkaian peristiwa, tetapi juga menggambarkan dinamisasi sosial, budaya, dan politik yang membentuk identitas Mataram menjadi kerajaan Islam yang dominan. Kisah ini dimulai dari perjuangan tokoh-tokoh legendaris yang meletakkan fondasi kerajaan hingga ekspansi wilayah dan pergolakan internal yang menguji ketahanan tahtanya.
Perjalanan Mataram Islam dimulai dari ambisi politik dan kepemimpinan yang kuat dari Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian dikenal sebagai Panembahan Senopati. Berawal dari pengabdiannya kepada Kerajaan Pajang, Ki Ageng Pemanahan mendapatkan tanah perdikan di Mentaok, yang kelak menjadi pusat kekuasaan Mataram. Dengan strategi militer yang cermat dan dukungan spiritual yang kuat, ia berhasil mengalahkan musuh-musuhnya dan membangun kekuatan militer yang tangguh.
Pendirian Mataram Islam bukanlah peristiwa instan, melainkan proses panjang yang diwarnai dengan peperangan dan diplomasi. Panembahan Senopati, putra Ki Ageng Pemanahan, mewarisi visi ayahnya dan dengan gigih memperluas wilayah kekuasaan Mataram. Ia berhasil menguasai Demak, bekas pusat kekuasaan Majapahit, serta wilayah-wilayah lain di Jawa Tengah. Keberhasilannya tidak hanya terletak pada kekuatan militer, tetapi juga kemampuannya mengintegrasikan berbagai elemen masyarakat dan menyebarkan ajaran Islam sebagai landasan moral dan ideologi kerajaan.
Di bawah kepemimpinan raja-raja selanjutnya, terutama Sultan Agung Hanyakrakusuma, Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya. Sultan Agung adalah sosok pemimpin yang visioner, menggabungkan kemampuan militer, keagamaan, dan administrasi yang luar biasa. Di bawah pemerintahannya, wilayah kekuasaan Mataram meluas hingga mencakup hampir seluruh Pulau Jawa, bahkan sempat mengancam keberadaan VOC di Batavia.
Sultan Agung tidak hanya fokus pada perluasan wilayah, tetapi juga melakukan reformasi besar-besaran di berbagai bidang. Ia menata sistem pemerintahan, hukum, dan militer. Kebudayaan Jawa juga mengalami perkembangan pesat, dengan adanya penetapan kalender Jawa Islam yang menggabungkan unsur-unsur Hindu-Buddha dan Islam. Upaya ini menunjukkan kebijaksanaan Sultan Agung dalam mengintegrasikan warisan budaya lama dengan nilai-nilai Islam yang baru, menciptakan identitas Mataram yang unik dan kuat.
Meskipun mencapai masa keemasan, Mataram Islam tidak luput dari tantangan. Pergolakan internal seringkali menjadi ancaman serius bagi stabilitas kerajaan. Perebutan kekuasaan, intrik politik, dan pemberontakan menjadi bagian dari sejarah Mataram. Salah satu peristiwa paling signifikan adalah Perjanjian Giyanti yang mengakhiri masa kejayaan Mataram sebagai satu kesatuan yang utuh, memecahnya menjadi dua kerajaan besar: Kesultanan Yogyakarta dan Praja Mangkunegaran.
Pengaruh kekuatan asing, terutama VOC Belanda, juga semakin terasa seiring berjalannya waktu. VOC berhasil memanfaatkan perpecahan internal Mataram untuk menguasai wilayah dan sumber daya. Meskipun demikian, semangat perlawanan dan keberanian para tokoh Mataram dalam menghadapi penjajah tetap menjadi catatan penting dalam sejarah peradaban Indonesia.
Babad Mataram Islam adalah jendela penting untuk memahami bagaimana Islam bertransformasi menjadi kekuatan dominan di Jawa, membentuk struktur sosial, politik, dan budaya yang bertahan lama. Kisah para raja, strategi perang, sistem pemerintahan, serta perkembangan seni dan sastra yang tercatat dalam babad ini memberikan gambaran kaya tentang kehidupan di kerajaan Mataram.
Peninggalan Mataram Islam tidak hanya berupa situs bersejarah seperti keraton dan makam raja, tetapi juga nilai-nilai filosofis dan spiritual yang terus hidup dalam masyarakat Jawa. Mempelajari babad ini berarti kita sedang menelusuri akar peradaban Indonesia, merenungkan perjuangan para pendahulu, dan memahami dinamika sejarah yang membentuk bangsa ini hingga kini. Keunikan Mataram Islam terletak pada kemampuannya memadukan kekuatan politik, spiritualitas Islam, dan kearifan lokal, menciptakan warisan yang tak ternilai harganya.