Tafsir QS Az-Zumar 23: Keindahan Kalamullah yang Menghidupkan Hati

Ilustrasi Kitab Suci Al-Quran dan hati yang tersentuh Sebuah ilustrasi artistik yang menampilkan Al-Quran terbuka dengan cahaya keemasan yang memancar, simbol hidayah. Di bawahnya, dua siluet hati, satu berwarna gelap yang menunjukkan kegelisahan, dan yang lain berwarna terang dan tenang, menggambarkan transformasi spiritual dari rasa takut menjadi ketenangan melalui firman Allah.

Surah Az-Zumar adalah salah satu surah yang memiliki kedudukan istimewa dalam Al-Quran, di mana nama surah ini sendiri, "Az-Zumar," berarti "rombongan-rombongan." Surah Makkiyah ini, yang terdiri dari 75 ayat, sebagian besar fokus pada tauhid (keesaan Allah), kekuasaan-Nya, kebangkitan, dan hari pembalasan, serta perbandingan antara orang-orang beriman dan orang-orang kafir.

Di antara ayat-ayatnya yang agung, ayat ke-23 menonjol dengan kekayaan maknanya yang luar biasa, memberikan gambaran mendalam tentang sifat Al-Quran dan pengaruhnya terhadap jiwa manusia. Ayat ini adalah kunci untuk memahami mengapa Al-Quran disebut sebagai sebaik-baik perkataan dan bagaimana interaksi dengannya seharusnya membentuk karakter seorang mukmin.

Mari kita selami lebih dalam makna ayat ini, yang berbunyi:

ٱللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ ٱلْحَدِيثِ كِتَٰبًا مُّتَشَٰبِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهْدِى بِهِۦ مَن يَشَآءُ وَمَن يُضْلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنْ هَادٍ
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa (mutashabih) lagi berulang-ulang (mathaniya), gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia menunjuki siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
(QS. Az-Zumar: 23)

Konsep "Ahsan al-Hadith" (Sebaik-baik Perkataan)

Ayat ini dimulai dengan penegasan bahwa "Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (أَحْسَنَ ٱلْحَدِيثِ - ahsan al-hadith)." Frasa ini bukan sekadar pujian biasa, melainkan sebuah penegasan fundamental tentang superioritas Al-Quran di atas segala bentuk perkataan, baik dari manusia maupun jin.

Keunggulan Al-Quran sebagai "Ahsan al-Hadith"

Mengapa Al-Quran disebut sebagai sebaik-baik perkataan? Ada beberapa dimensi yang menjelaskan keunggulannya:

  1. Sumbernya yang Ilahi: Al-Quran adalah Kalamullah (Firman Allah), bukan ciptaan makhluk. Ini memberinya otoritas mutlak dan kesucian yang tak tertandingi. Tidak ada perkataan manusia, betapapun indahnya, yang bisa menyamai keagungan Firman Sang Pencipta alam semesta.
  2. Kebenaran Mutlak: Setiap ayat dalam Al-Quran mengandung kebenaran yang tidak bisa digoyahkan. Ia bebas dari kesalahan, kontradiksi, dan kekurangan, berbeda dengan perkataan manusia yang seringkali bias, terbatas, dan rentan terhadap kesalahan.
  3. Keindahan Bahasa dan Gaya: Al-Quran adalah mukjizat sastra yang abadi. Keindahan bahasa Arabnya, susunan kalimatnya, ritmenya, dan kedalaman maknanya tidak pernah bisa ditiru oleh siapa pun, bahkan oleh ahli bahasa Arab yang paling mahir sekalipun. Ini adalah salah satu aspek kemukjizatan (i'jaz) Al-Quran.
  4. Kandungan Komprehensif: Al-Quran mencakup petunjuk untuk segala aspek kehidupan manusia, mulai dari akidah, ibadah, muamalah, akhlak, hingga kisah-kisah umat terdahulu sebagai pelajaran. Ia adalah konstitusi lengkap bagi kehidupan individu dan masyarakat.
  5. Pengaruh Spiritual: Seperti yang akan kita bahas nanti, Al-Quran memiliki kekuatan transformatif yang mampu menggetarkan jiwa, menenangkan hati, dan membimbing manusia menuju kebaikan.
  6. Keabadian dan Kesucian: Al-Quran telah dijaga oleh Allah dari segala bentuk perubahan dan penyelewengan sejak diturunkan hingga akhir zaman, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hijr: 9: "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya."

Frasa "ahsan al-hadith" menantang setiap narasi, ideologi, atau filosofi lain yang diklaim sebagai panduan hidup. Al-Quran menegaskan posisinya sebagai sumber kebenaran tertinggi dan petunjuk paling sempurna bagi umat manusia.

Sifat "Mutashabihan Mathaniya" (Serupa lagi Berulang-ulang)

Ayat ini melanjutkan dengan menjelaskan dua sifat fundamental Al-Quran: "كِتَٰبًا مُّتَشَٰبِهًا مَّثَانِيَ" (kitaban mutashabihan mathaniya). Dua kata ini, "mutashabih" dan "mathaniya," membawa makna yang sangat kaya dan seringkali menjadi fokus dalam pembahasan tafsir.

Makna "Mutashabih" (Serupa/Konsisten)

Kata "mutashabih" (مُّتَشَٰبِهًا) di sini memiliki beberapa penafsiran:

  1. Konsistensi dan Keserupaan dalam Kebenaran: Seluruh bagian Al-Quran, dari awal hingga akhir, adalah konsisten dalam kebenaran, keadilan, dan hikmahnya. Tidak ada kontradiksi di dalamnya, dan setiap ayat membenarkan ayat lainnya. Jika ada ayat yang tampak bertentangan, itu hanyalah karena keterbatasan pemahaman manusia, dan ketika dikaji lebih dalam, akan ditemukan harmoni dan keselarasan yang sempurna. Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa mutashabih dalam konteks ini berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran serupa dalam kesempurnaan, keindahan, dan keagungan, tanpa ada bagian yang lebih lemah dari yang lain.
  2. Serupa dalam Mukjizat dan Retorika: Setiap bagian Al-Quran memiliki keindahan retorika dan mukjizat sastra yang serupa, yang tidak dapat ditiru oleh manusia. Kekuatan bahasanya, pilihan katanya, dan cara penyampaiannya konsisten dalam mencapai puncak keindahan dan ketepatan.
  3. Serupa dalam Petunjuk: Meskipun Al-Quran berbicara tentang berbagai topik—kisah-kisah nabi, hukum-hukum, janji surga, ancaman neraka—semua itu memiliki tujuan yang sama: membimbing manusia kepada tauhid dan ketaatan kepada Allah.
  4. Mirip satu sama lain: Ayat-ayat Al-Quran saling menyerupai dalam hal kebenaran dan keindahan maknanya. Tidak ada satu pun bagian dari Al-Quran yang batil atau kontradiktif. Semua ayatnya konsisten dalam menyampaikan risalah yang sama, yaitu tauhid dan petunjuk bagi manusia.

Konsep "mutashabih" di sini berbeda dengan "ayat mutashabihat" yang merujuk pada ayat-ayat yang maknanya tidak jelas dan hanya Allah yang mengetahui tafsirnya, sebagaimana disebutkan dalam QS. Ali Imran: 7. Dalam konteks Az-Zumar 23, "mutashabih" mengacu pada keselarasan dan konsistensi Al-Quran secara keseluruhan.

Makna "Mathaniya" (Berulang-ulang/Berpasangan/Dua Kali)

Kata "mathaniya" (مَّثَانِيَ) juga memiliki beberapa penafsiran yang saling melengkapi:

  1. Pengulangan Tema dan Kisah: Al-Quran seringkali mengulang kisah-kisah nabi, peringatan, janji-janji, ancaman, dan hukum-hukum dengan gaya dan konteks yang berbeda. Pengulangan ini memiliki hikmah besar:
    • Penekanan dan Penguatan: Untuk menguatkan pesan, agar tidak mudah dilupakan.
    • Variasi dalam Penyampaian: Setiap pengulangan seringkali datang dengan detail atau sudut pandang baru yang memperkaya pemahaman.
    • Memudahkan Penghafalan: Pengulangan membantu dalam proses hafalan.
    • Mendorong Tadabbur: Setiap kali seseorang membaca kisah yang sama, ia diharapkan merenunginya dari perspektif baru.
  2. Berpasangan (Pasangan Makna): Al-Quran menyajikan banyak konsep dalam bentuk pasangan:
    • Janji (surga) dan Ancaman (neraka).
    • Hukum (perintah) dan Larangan.
    • Kisah-kisah kebaikan (para nabi) dan keburukan (orang-orang zalim).
    • Tauhid (keesaan Allah) dan Syirik (kemusyrikan).
    • Dunia dan Akhirat.
    Penyajian berpasangan ini membantu pembaca memahami kontras dan pilihan yang dihadapi manusia, serta konsekuensi dari setiap pilihan.
  3. Dibaca Berulang-ulang: Al-Quran adalah kitab yang senantiasa dibaca berulang-ulang, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Setiap kali dibaca, ia memberikan inspirasi dan pemahaman baru. Ketenangan dan keberkahan yang didapat dari membacanya tidak pernah berkurang, bahkan bertambah.
  4. Ayat-ayatnya Berpasangan dalam Hukum dan Petunjuk: Sebagian ulama menafsirkan bahwa "mathaniya" berarti ayat-ayatnya datang berpasangan dalam makna, seperti ayat-ayat hukum yang diikuti dengan ayat-ayat ancaman, atau ayat-ayat rahmat yang diikuti dengan ayat-ayat azab. Ini menciptakan keseimbangan antara harapan (raja') dan rasa takut (khawf) dalam hati orang beriman.
  5. Mengulang Peringatan: Al-Quran terus-menerus mengulang-ulang peringatan tentang kebesaran Allah, keniscayaan hari kiamat, dan akibat dari kekafiran, agar manusia senantiasa ingat dan waspada.

Kombinasi "mutashabih" dan "mathaniya" menunjukkan bahwa Al-Quran adalah kitab yang sempurna dalam konsistensi maknanya, namun kaya akan pengulangan yang variatif untuk tujuan pendidikan, penekanan, dan inspirasi.

Pengaruh Al-Quran terhadap Jiwa Orang Beriman: Menggetar dan Menenangkan

Bagian ayat selanjutnya menggambarkan dampak psikologis dan spiritual Al-Quran pada mereka yang takut kepada Allah: "تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ" (taqsha'irru minhu juludulladhina yakhshauna Rabbahum thumma talinu juluduhum wa qulubuhum ila dhikrillah).

Artinya: "Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah."

Fenomena "Taqsha'irru Minhu Juluduhum" (Kulit Menggetar/Gemetar)

Kata "taqsha'irru" (تَقْشَعِرُّ) berarti merinding, menggigil, atau bulu kuduk berdiri. Ini adalah respons fisik terhadap emosi yang kuat, biasanya rasa takut atau kekaguman yang mendalam. Dalam konteks ayat ini, itu adalah ekspresi dari khashyah (rasa takut yang disertai pengagungan) kepada Allah.

Ketika orang-orang yang berilmu dan mengenal kebesaran Allah membaca atau mendengar ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang kekuasaan Allah, ancaman azab, dahsyatnya hari kiamat, atau detail-detail neraka, hati mereka dipenuhi rasa takut yang mendalam. Rasa takut ini bukan karena ketidakpastian, tetapi karena yakin akan kebenaran Firman Allah dan menyadari betapa kecilnya diri di hadapan keagungan-Nya. Tubuh mereka merespons dengan gemetar atau merinding, sebagai tanda kekhusyu'an dan penghayatan yang mendalam.

Ini adalah tanda iman yang kuat, bukan kelemahan. Sebaliknya, orang-orang munafik atau yang hatinya keras tidak merasakan getaran ini. Hati mereka mati terhadap peringatan Al-Quran.

Fenomena "Thumma Talinu Juluduhum wa Qulubuhum Ila Dhikrillah" (Kemudian Kulit dan Hati Mereka Menjadi Tenang Menuju Mengingat Allah)

Setelah fase gemetar karena rasa takut, ayat ini menjelaskan fase berikutnya: "kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah." Kata "talinu" (تَلِينُ) berarti melunak, menjadi lembut, atau tenang.

Transisi dari ketakutan yang menggetarkan menuju ketenangan ini adalah salah satu mukjizat spiritual Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa rasa takut yang sehat (khashyah) bukanlah rasa takut yang melumpuhkan, melainkan rasa takut yang membimbing menuju kedekatan dengan Allah. Setelah merenungkan peringatan-peringatan Allah yang menakutkan, hati orang beriman kemudian beralih kepada aspek rahmat, ampunan, dan janji-janji Allah yang menenangkan.

Ketenangan ini terjadi "ila dhikrillah" (إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ) – menuju zikir kepada Allah. Zikir di sini bisa berarti:

  1. Mengingat Allah Secara Umum: Setelah merasakan kebesaran dan kekuatan-Nya, mereka mengingat kasih sayang dan rahmat-Nya, sehingga hati mereka menjadi tenang.
  2. Mengingat Firman Allah (Al-Quran): Al-Quran itu sendiri adalah zikir. Maka, setelah digetarkan oleh peringatan, mereka menemukan ketenangan dalam janji-janji dan petunjuk-petunjuk Al-Quran lainnya.
  3. Mengingat Asma'ul Husna: Mengingat nama-nama Allah yang indah seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahim (Maha Penyayang), Al-Ghafur (Maha Pengampun), dan lainnya, membawa ketenangan.
  4. Doa dan Istighfar: Rasa takut mendorong mereka untuk beristighfar dan berdoa memohon perlindungan dan ampunan, yang pada gilirannya membawa ketenangan.

Proses ini, dari getaran takut hingga ketenangan hati, adalah siklus spiritual yang sehat. Ini menunjukkan bahwa Al-Quran tidak hanya memberikan peringatan, tetapi juga menawarkan solusi dan kedamaian melalui zikir dan ketaatan kepada Allah. Ini adalah karakteristik hati yang hidup, yang mampu merespons Firman Allah dengan emosi yang jujur dan transformatif.

Signifikansi Respon Fisik dan Hati

Penyebutan "kulit" dan "hati" secara spesifik dalam ayat ini sangatlah signifikan:

Transisi ini adalah gambaran sempurna tentang bagaimana iman sejati bekerja. Rasa takut akan azab Allah mendorong seseorang untuk taubat dan memperbaiki diri, sementara harapan akan rahmat-Nya memberikan kekuatan dan ketenangan untuk terus beribadah dan mengingat-Nya.

Al-Quran sebagai Hidayah Allah

Ayat ini menutup dengan penegasan tentang peran sentral Al-Quran sebagai petunjuk ilahi: "ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهْدِى بِهِۦ مَن يَشَآءُ وَمَن يُضْلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنْ هَادٍ" (Dhalika hudallahi yahdi bihi man yashaa'u wa man yudlilillahu fa ma lahu min had).

Artinya: "Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia menunjuki siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya."

Makna "Dhalika Hudallahi Yahdi Bihi Man Yashaa'u" (Itulah Petunjuk Allah, Dengan Kitab Itu Dia Menunjuki Siapa yang Dia Kehendaki)

Frasa ini mengaitkan dampak transformatif Al-Quran yang dijelaskan sebelumnya dengan kehendak Allah. Al-Quran adalah petunjuk, tetapi hanya mereka yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuklah yang akan mengambil manfaat penuh darinya. Kehendak Allah (masyi'ah) di sini tidak berarti tanpa sebab atau sewenang-wenang. Sebaliknya, kehendak Allah untuk memberikan hidayah didasarkan pada:

  1. Keinginan Manusia untuk Mencari Hidayah: Allah hanya akan menunjuki mereka yang memiliki niat tulus untuk mencari kebenaran dan membuka hati mereka terhadap petunjuk. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ankabut: 69: "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami."
  2. Upaya dan Kesungguhan: Hidayah adalah anugerah, tetapi anugerah ini diberikan kepada mereka yang berupaya dan sungguh-sungguh mendekat kepada-Nya. Mereka yang merenungi Al-Quran, mencoba memahaminya, dan mengamalkan ajaran-ajarannya, akan lebih mungkin mendapatkan hidayah.
  3. Ketaatan dan Ketakwaan: Hidayah seringkali diberikan kepada mereka yang bertakwa dan menaati perintah Allah.

Dengan demikian, kehendak Allah untuk menunjuki seseorang adalah respons terhadap kecenderungan dan upaya positif dari individu tersebut. Al-Quran adalah alat hidayah yang sempurna, namun penerimaan hidayah itu bergantung pada kesiapan hati dan kehendak Allah.

Makna "Wa Man Yudlilillahu Fa Ma Lahu Min Had" (Dan Barangsiapa Dibiarkan Sesat oleh Allah, Maka Tidak Ada Seorang pun yang Dapat Memberi Petunjuk Kepadanya)

Bagian ini adalah peringatan yang keras. Bagi mereka yang Allah biarkan sesat, tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk. "Dibiarkan sesat" di sini juga bukan tanpa sebab. Allah membiarkan sesat mereka yang:

  1. Menolak Kebenaran Setelah Datangnya Bukti: Mereka yang dengan sengaja menutup mata dan hati terhadap tanda-tanda kebesaran Allah dan ajaran Al-Quran, meskipun bukti-bukti telah jelas.
  2. Membangkang dan Berbuat Zhalim: Kezhaliman, kesombongan, dan dosa-dosa yang disengaja dapat mengeraskan hati dan menjauhkan seseorang dari hidayah.
  3. Memilih Kesesatan: Manusia diberikan kebebasan memilih. Jika seseorang memilih jalan kesesatan secara konsisten, Allah tidak akan memaksakan hidayah kepadanya.

Ayat ini menegaskan bahwa hidayah sepenuhnya di tangan Allah, dan Al-Quran adalah sarana utama-Nya untuk menunjuki. Pentingnya adalah bagaimana manusia merespons sarana hidayah tersebut.

Kontekstualisasi Az-Zumar 23 dalam Surah Az-Zumar

Ayat ke-23 ini datang setelah serangkaian ayat yang menegaskan keesaan Allah, mengajak manusia untuk menyembah-Nya semata, dan memperingatkan tentang azab bagi orang-orang musyrik. Ayat ini berfungsi sebagai penekanan pada sumber petunjuk yang benar di tengah-tengah kekacauan keyakinan dan praktik syirik yang dikritik oleh surah ini.

Dengan demikian, Az-Zumar 23 tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan jantung dari pesan surah ini: bahwa petunjuk sejati datang dari Al-Quran, yang diturunkan oleh Allah, dan hanya orang-orang yang membuka hati mereka untuknya yang akan menemukan jalan lurus.

Pelajaran dan Hikmah dari QS Az-Zumar 23

Ayat yang ringkas ini sarat dengan pelajaran dan hikmah yang mendalam bagi kehidupan seorang Muslim:

  1. Keagungan Al-Quran: Kita harus meyakini sepenuhnya bahwa Al-Quran adalah Firman Allah yang paling agung, paling benar, paling indah, dan paling sempurna. Keyakinan ini harus mendorong kita untuk memberikan penghormatan tertinggi kepada Al-Quran.
  2. Perlunya Merenungi Al-Quran (Tadabbur): Al-Quran bukan sekadar bacaan ritual, melainkan sebuah kitab petunjuk yang harus direnungi maknanya. Pengaruh "menggetarkan" dan "menenangkan" hanya akan terjadi jika kita berusaha memahami apa yang kita baca atau dengar.
  3. Khashyah (Rasa Takut yang Disertai Pengagungan): Rasa takut kepada Allah (khashyah) adalah tanda iman yang sejati. Rasa takut ini harus memotivasi kita untuk menghindari maksiat dan mendekat kepada-Nya, bukan membuat putus asa.
  4. Ketenangan Hati Melalui Zikrullah: Setelah merasakan getaran karena peringatan, kita harus mencari ketenangan dalam mengingat Allah dan rahmat-Nya. Keseimbangan antara khawf (takut) dan raja' (harapan) adalah kunci kesehatan spiritual.
  5. Hidayah Adalah Anugerah Allah: Kita harus senantiasa memohon hidayah kepada Allah dan menyadari bahwa hidayah bukanlah hak, melainkan anugerah yang harus terus-menerus dicari dan dipertahankan melalui usaha dan doa.
  6. Pentingnya Ketaatan: Mereka yang dibiarkan sesat oleh Allah adalah mereka yang memilih jalan kesesatan. Ini menekankan pentingnya ketaatan dan menjauhi maksiat agar hati tetap terbuka untuk menerima hidayah.
  7. Konsistensi dan Pengulangan dalam Pendidikan: Sifat "mutashabihan mathaniya" mengajarkan kita tentang pentingnya konsistensi dalam prinsip dan pengulangan dalam pendidikan. Pesan-pesan penting harus terus-menerus ditekankan dan disajikan dari berbagai sudut pandang agar meresap ke dalam jiwa.
  8. Relevansi Abadi Al-Quran: Meskipun diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu, Al-Quran tetap relevan dan powerful. Sifatnya yang "mutashabih" dan "mathaniya" memastikan bahwa setiap generasi dapat menemukan petunjuk dan inspirasi baru darinya.

Analisis Mendalam Mengenai Konsep Hidayah dan Kehendak Allah

Bagian terakhir dari ayat Az-Zumar 23, "ذَٰلِكَ هُدَى ٱللَّهِ يَهْدِى بِهِۦ مَن يَشَآءُ وَمَن يُضْلِلِ ٱللَّهُ فَمَا لَهُۥ مِنْ هَادٍ" (Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia menunjuki siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya), memerlukan pembahasan yang lebih mendalam mengenai konsep hidayah dan kehendak (masyi'ah) Allah dalam Islam.

Dua Jenis Hidayah dalam Al-Quran

Para ulama membedakan antara dua jenis hidayah:

  1. Hidayatul Irsyad wal Bayan (Petunjuk berupa Bimbingan dan Penjelasan): Ini adalah hidayah yang Allah berikan kepada seluruh manusia melalui para nabi, rasul, kitab suci (termasuk Al-Quran), dan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini adalah petunjuk jalan yang benar, yaitu Islam. Setiap orang memiliki akses terhadap hidayah ini jika mereka mau mencari dan merenung. Contoh: Allah berfirman dalam QS. Al-Insan: 3, "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir."
  2. Hidayatul Taufiq wal Ilham (Petunjuk berupa Taufik dan Ilham): Ini adalah kemampuan untuk menerima petunjuk, mengamalkannya, dan tetap istiqamah di jalan yang benar. Hidayah ini sepenuhnya berada di tangan Allah, dan Dia memberikannya hanya kepada siapa yang Dia kehendaki. Contoh: Allah berfirman dalam QS. Al-Qashash: 56, "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya."

Dalam konteks Az-Zumar 23, ketika dikatakan "Dia menunjuki siapa yang Dia kehendaki," yang dimaksud adalah hidayatul taufiq wal ilham. Allah tidak secara sewenang-wenang memilih siapa yang akan diberi hidayah dan siapa yang tidak. Sebaliknya, kehendak Allah ini terkait erat dengan kehendak dan usaha hamba-Nya sendiri.

Hubungan Antara Kehendak Allah dan Kehendak Manusia

Konsep "man yashaa'u" (siapa yang Dia kehendaki) seringkali disalahpahami sebagai fatalisme murni. Namun, dalam ajaran Islam, kehendak Allah dan kehendak manusia saling terkait:

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah memberi hidayah kepada siapa yang berhak menerimanya, yang mencari kebenaran dan siap tunduk kepadanya. Dan Dia membiarkan sesat siapa yang berhak disesatkan, yang menolak kebenaran dan memilih kesesatan.

Tidak Ada Petunjuk bagi yang Dibiarkan Sesat

Frasa "Wa man yudlilillahu fa ma lahu min had" (Dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya) adalah konsekuensi logis. Jika Allah, melalui hikmah dan keadilan-Nya, telah menetapkan seseorang untuk dibiarkan dalam kesesatan karena pilihan dan perbuatannya sendiri, maka tidak ada kekuatan lain di alam semesta yang dapat memberinya petunjuk. Ini menekankan bahwa hidayah adalah karunia ilahi yang paling berharga, dan hanya Allah yang mampu memberikannya.

Ayat ini berfungsi sebagai peringatan keras bagi kita semua untuk selalu menjaga hati agar tetap terbuka terhadap petunjuk, senantiasa memohon hidayah, dan menghindari perbuatan yang dapat mengunci hati dari kebenaran.

Keterkaitan Az-Zumar 23 dengan Konsep Tadabbur Al-Quran

Pesan inti Az-Zumar 23 tentang bagaimana Al-Quran menggetarkan dan menenangkan hati sangat erat kaitannya dengan konsep tadabbur Al-Quran, yaitu merenungi, memahami, dan menghayati makna-makna Al-Quran.

Tadabbur sebagai Kunci Pengalaman Al-Quran

Allah berfirman dalam QS. An-Nisa: 82, "Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Quran? Sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan di dalamnya pertentangan yang banyak." Dan dalam QS. Muhammad: 24, "Maka apakah mereka tidak merenungi Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci?"

Ayat-ayat ini secara jelas memerintahkan kita untuk melakukan tadabbur. Pengalaman yang dijelaskan dalam Az-Zumar 23 – kulit menggetar lalu hati tenang – adalah buah dari tadabbur yang efektif. Tanpa merenungi, Al-Quran hanya akan menjadi lantunan suara tanpa dampak spiritual yang mendalam.

Langkah-langkah Menuju Tadabbur yang Produktif:

  1. Baca dengan Tajwid yang Benar: Membaca Al-Quran dengan baik dan benar adalah fondasi awal.
  2. Memahami Makna Bahasa: Mengerti arti kata-kata dan kalimat Arabnya sangat membantu. Menggunakan terjemahan yang kredibel atau kamus.
  3. Mempelajari Tafsir: Membaca penjelasan para ulama (mufassirin) mengenai konteks, asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), dan makna-makna yang lebih dalam.
  4. Merasakan Emosi Ayat: Ketika membaca ayat tentang surga, rasakan harapannya. Ketika membaca tentang neraka, rasakan takutnya. Ketika membaca tentang kekuasaan Allah, rasakan keagungan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan "menggetarkan kulit" dan "menenangkan hati."
  5. Mengaitkan dengan Kehidupan Pribadi: Renungkan bagaimana ajaran ayat tersebut relevan dengan kehidupan, tantangan, dan perilaku kita sehari-hari. Apa yang bisa kita pelajari dan terapkan?
  6. Berdoa untuk Pemahaman: Memohon kepada Allah agar diberikan pemahaman yang benar dan hati yang terbuka.

Tanpa tadabbur, Al-Quran bisa menjadi sekadar buku yang dibaca, bukan sumber kekuatan dan transformasi jiwa. Az-Zumar 23 adalah deskripsi sempurna tentang hasil akhir dari tadabbur yang tulus dan mendalam.

Al-Quran Sebagai Penyeimbang Khawf (Takut) dan Raja' (Harapan)

Ayat Az-Zumar 23 memberikan gambaran yang sangat indah tentang bagaimana Al-Quran berperan sebagai penyeimbang antara rasa takut (khawf) dan harapan (raja') dalam hati seorang mukmin. Ini adalah dua pilar penting dalam spiritualitas Islam.

Khawf (Rasa Takut)

Bagian "تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ" (gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya) merepresentasikan khawf. Ini bukan rasa takut yang biasa, melainkan khashyah, yaitu rasa takut yang muncul dari pengenalan mendalam terhadap kebesaran dan kekuasaan Allah, serta kesadaran akan dosa-dosa dan tanggung jawab di hadapan-Nya. Rasa takut ini mendorong kepada:

Rasa takut ini sehat dan produktif, tidak melumpuhkan, karena disertai dengan pengagungan kepada Allah.

Raja' (Harapan)

Bagian "ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ" (kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka ketika mengingat Allah) merepresentasikan raja'. Setelah merasakan getaran takut dari peringatan azab atau kebesaran Allah, hati berbalik kepada harapan akan rahmat, ampunan, dan janji-janji Allah. Harapan ini muncul dari zikrullah, yaitu mengingat segala kebaikan, kemurahan, dan kasih sayang-Nya. Raja' mendorong kepada:

Keseimbangan yang Dinamis

Keseimbangan antara khawf dan raja' adalah esensi dari ibadah yang benar. Terlalu banyak khawf tanpa raja' dapat menyebabkan keputusasaan dari rahmat Allah. Terlalu banyak raja' tanpa khawf dapat menyebabkan rasa aman yang palsu dan keberanian untuk bermaksiat.

Al-Quran, dengan sifatnya yang "mutashabihan mathaniya"—mengulang-ulang peringatan dan janji, ancaman dan rahmat—secara alami membangun keseimbangan ini dalam hati pembacanya. Ia menakut-nakuti agar kita waspada, dan menenangkan agar kita tidak putus asa. Inilah keindahan Al-Quran yang menghidupkan hati dan membimbing jiwa.

Penutup

QS. Az-Zumar ayat 23 adalah permata Al-Quran yang menggambarkan esensi dan dampak Firman Allah. Ia bukan hanya sebuah deskripsi, melainkan sebuah undangan untuk setiap individu agar berinteraksi dengan Kitab Suci ini secara mendalam.

Melalui ayat ini, kita belajar bahwa Al-Quran adalah "ahsan al-hadith" – perkataan terbaik yang tak tertandingi, sumber kebenaran, keindahan, dan hikmah yang tak ada habisnya. Sifatnya yang "mutashabihan mathaniya" menjamin konsistensi abadi sekaligus kekayaan pengulangan yang variatif, memastikan pesan-pesannya selalu segar dan relevan bagi setiap generasi.

Namun, nilai sejati Al-Quran terletak pada transformasinya terhadap jiwa. Ia adalah pembeda antara hati yang mati dan hati yang hidup. Bagi mereka yang memiliki khashyah (rasa takut yang disertai pengagungan) kepada Allah, Al-Quran mampu menggetarkan kulit mereka dengan peringatan dan kebesaran-Nya, kemudian melunakkan dan menenangkan hati mereka dengan mengingat rahmat dan janji-janji-Nya.

Akhirnya, ayat ini menegaskan bahwa seluruh proses ini adalah bagian dari hidayah Allah. Al-Quran adalah petunjuk, tetapi hanya Allah-lah yang menganugerahkan taufik kepada siapa yang Dia kehendaki untuk mengambil manfaat darinya. Hidayah bukanlah paksaan, melainkan anugerah yang diberikan kepada mereka yang berupaya mencarinya dengan tulus dan membuka hati mereka terhadap kebenaran.

Maka, marilah kita jadikan Al-Quran sebagai teman sejati dalam hidup kita, merenungi ayat-ayatnya, membiarkan ia menggetarkan dan menenangkan hati kita, serta menjadi mercusuar yang membimbing kita di jalan yang lurus menuju keridaan Allah SWT.

🏠 Homepage