Ilustrasi yang menggambarkan konsep keterbukaan dan ketaatan dalam pandangan.
Konsep aurat merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran Islam yang mengatur batasan fisik seorang Muslimah maupun Muslimin. Dalam pembahasan mengenai aurat, salah satu tokoh ulama terkemuka yang sering dirujuk adalah Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Beliau dikenal dengan kedalaman ilmunya dan cara penyampaiannya yang nuansatif, yang seringkali melampaui pemahaman tekstual semata.
Secara etimologis, aurat berasal dari kata Arab "‘awar" yang berarti aib, cela, atau sesuatu yang buruk. Dalam konteks syariat Islam, aurat merujuk pada bagian tubuh yang wajib ditutupi dan tidak boleh dilihat oleh selain mahramnya. Definisi dan batasan aurat ini memiliki perbedaan antara laki-laki dan perempuan, serta dalam kondisi tertentu seperti saat shalat, di hadapan mahram, atau di hadapan non-mahram.
Prof. Quraish Shihab, dalam berbagai tafsir dan tulisannya, sering menekankan bahwa batasan aurat perempuan di hadapan laki-laki yang bukan mahram adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Pandangan ini merujuk pada interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan kewajiban menutup aurat. Beliau menjelaskan bahwa tujuan utama dari perintah menutup aurat adalah untuk menjaga kehormatan, martabat, serta mencegah fitnah dan menjaga kemurnian pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Namun, penting untuk dicatat bahwa Quraish Shihab juga tidak mengesampingkan faktor konteks dan tujuan syariat. Beliau kerap mengingatkan bahwa di balik setiap perintah agama, terdapat hikmah dan maslahat (kebaikan) yang ingin dicapai. Oleh karena itu, pemahaman tentang aurat tidak boleh berhenti pada sekadar batasan fisik, tetapi juga harus mencakup kesadaran spiritual dan etika pergaulan.
Salah satu keunikan dalam pandangan Quraish Shihab adalah penekanannya pada nuansa. Beliau seringkali membedakan antara kewajiban menutup aurat dalam situasi formal seperti di depan umum dengan situasi informal atau dalam keadaan darurat. Misalnya, dalam kondisi terpaksa di mana seorang perempuan harus membuka sebagian auratnya untuk menyelamatkan diri atau orang lain, hal tersebut dapat diizinkan berdasarkan kaidah fiqih "darurat membolehkan yang terlarang".
Selain itu, beliau juga kerap mengaitkan kewajiban menutup aurat dengan prinsip menjaga pandangan (menundukkan pandangan). Sebagaimana perempuan diperintahkan untuk menjaga auratnya, laki-laki juga diperintahkan untuk menundukkan pandangannya agar tidak melihat aurat perempuan. Ini menunjukkan bahwa kewajiban menjaga kesucian dan kehormatan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya dibebankan pada satu pihak.
Mengenai batasan aurat di hadapan mahram, Quraish Shihab mengutip pandangan jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan mahram adalah kerabat yang haram dinikahi selamanya. Batasan aurat di hadapan mahram umumnya lebih longgar, yaitu antara pusar hingga lutut, meskipun tetap ada anjuran untuk berpakaian sopan dan tidak mempertontonkan bagian tubuh yang dianggap menimbulkan fitnah.
Beliau juga memberikan penegasan bahwa wanita juga memiliki batasan aurat di hadapan wanita lain, yang umumnya dianalogikan dengan batasan aurat laki-laki, yaitu antara pusar hingga lutut. Namun, dalam beberapa kondisi, seperti di salon atau pemandian umum, adab dan norma kesopanan tetap perlu dijaga.
Quraish Shihab selalu menggarisbawahi hikmah atau kebijaksanaan di balik setiap ajaran agama. Dalam konteks aurat, hikmah yang sering disampaikannya antara lain:
Pada intinya, pandangan Prof. Quraish Shihab mengenai aurat menawarkan pemahaman yang komprehensif, menggabungkan aspek syariat yang jelas dengan pemahaman mendalam tentang tujuan dan hikmah di baliknya. Beliau mendorong umat Islam untuk tidak hanya sekadar mengikuti aturan secara lahiriah, tetapi juga memahami esensi dan tujuan dari setiap perintah agama demi mencapai kemaslahatan dunia akhirat.