Asyura: Makna, Sejarah, dan Perayaannya dalam Islam

Ilustrasi abstrak bulan Muharram dan hari Asyura, dengan bentuk lingkaran konsentris dan tulisan Muharram serta Hari Asyura.

Asyura, hari kesepuluh bulan Muharram dalam kalender Islam, adalah salah satu hari yang memiliki makna sejarah dan spiritual yang sangat dalam bagi umat Muslim di seluruh dunia. Hari ini diperingati dengan cara yang berbeda-beda oleh berbagai mazhab dan tradisi dalam Islam, mencerminkan kekayaan dan keragaman interpretasi serta pengalaman keagamaan. Bagi sebagian besar umat Muslim Sunni, Asyura adalah hari syukur dan puasa sunnah, mengenang penyelamatan Nabi Musa dari Firaun. Sementara itu, bagi umat Muslim Syiah, Asyura adalah hari berkabung yang sangat mendalam, memperingati tragedi syahidnya cucu Nabi Muhammad, Imam Husain bin Ali, di Karbala.

Perbedaan dalam peringatan ini tidak mengurangi signifikansi Asyura sebagai pengingat akan keimanan, ketabahan, keadilan, dan pengorbanan. Melalui berbagai ritual dan refleksi, Asyura mengajarkan umat Islam tentang pentingnya berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebenaran, bahkan di hadapan penindasan, serta tentang nilai-nilai solidaritas dan empati.

Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi berbagai dimensi Asyura, mulai dari asal-usul linguistik dan historisnya, peristiwa-peristiwa penting yang terkait dengannya dalam tradisi Islam, amalan-amalan yang dilakukan, perbedaan pandangan antara Sunni dan Syiah, hingga bagaimana hari ini dirayakan di berbagai belahan dunia. Dengan pemahaman yang komprehensif, kita dapat menghargai kekayaan makna yang terkandung dalam Asyura dan pelajaran abadi yang ditawarkannya bagi seluruh umat manusia.

Etimologi dan Makna Linguistik Asyura

Kata "Asyura" (عاشوراء) berasal dari bahasa Arab dan secara harfiah berarti "kesepuluh". Kata ini merupakan bentuk feminin dari "asyir" (عاشر), yang berarti "kesepuluh", atau mungkin berasal dari "asyarah" (عشرة) yang berarti "sepuluh". Dengan demikian, secara linguistik, Asyura merujuk pada hari kesepuluh dalam suatu urutan, dalam konteks ini, hari kesepuluh bulan Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah.

Pemilihan hari kesepuluh ini memiliki resonansi spiritual yang kuat dalam berbagai tradisi agama, terutama dalam Islam. Angka sepuluh sering kali melambangkan kelengkapan, kesempurnaan, atau puncak suatu peristiwa. Dalam konteks Asyura, ini menandai klimaks dari serangkaian peristiwa penting yang membentuk narasi historisnya.

Meskipun makna linguistiknya sederhana, konotasi keagamaan dan historis yang melekat pada kata "Asyura" telah menjadikannya salah satu istilah yang paling bermuatan dalam leksikon Islam. Lebih dari sekadar penanda tanggal, Asyura telah menjadi simbol ketahanan, kesyahidan, penebusan, dan syukur, tergantung pada perspektif dan tradisi Muslim yang memeringatinya.

Asyura dalam Sejarah Islam Awal: Kisah Para Nabi

Signifikansi Asyura sudah ada jauh sebelum kemunculan Islam. Hari ini telah memiliki makna sakral dalam tradisi Yahudi dan juga dalam masyarakat Arab pra-Islam. Kisah-kisah kenabian yang terkait dengan Asyura memberikan fondasi yang kaya untuk pemahamannya dalam Islam.

Nabi Musa dan Penyelamatan Bani Israil

Salah satu peristiwa terpenting yang dihubungkan dengan hari Asyura adalah penyelamatan Nabi Musa (Moses) dan Bani Israil dari penindasan Firaun. Kisah ini diceritakan secara luas dalam Al-Qur'an dan juga dalam Taurat. Menurut tradisi Islam, pada hari kesepuluh Muharram, Allah SWT membelah Laut Merah, memungkinkan Nabi Musa dan pengikutnya menyeberang dengan aman, sementara Firaun dan pasukannya tenggelam saat mencoba mengejar mereka.

“Dan sungguh telah Kami wahyukan kepada Musa (Nabi Musa): Pergilah di malam hari dengan hamba-hamba-Ku, dan buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut; engkau tidak perlu takut disusul (Firaun) dan tidak perlu khawatir (tenggelam).” (QS. Taha: 77)

Peristiwa ini adalah mukjizat besar yang menandai kebebasan Bani Israil dari perbudakan dan kemenangan kebenaran atas kezaliman. Dalam tradisi Yahudi, peristiwa ini diperingati sebagai Yom Kippur (Hari Penebusan), yang secara historis memiliki korelasi dengan hari Asyura dalam kalender Islam, meskipun penanggalannya berbeda karena perbedaan sistem kalender.

Nabi Muhammad SAW, ketika berhijrah ke Madinah, menemukan bahwa umat Yahudi di sana berpuasa pada hari Asyura sebagai bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa. Beliau kemudian memerintahkan umat Muslim untuk juga berpuasa pada hari tersebut, dengan menyatakan bahwa umat Muslim memiliki hak yang lebih besar atas Musa daripada umat Yahudi. Ini adalah awal mula penetapan puasa Asyura dalam Islam.

Kisah Nabi Nuh dan Bahtera

Tradisi lain juga mengaitkan Asyura dengan Nabi Nuh (Noah) dan bahteranya. Dikatakan bahwa pada hari Asyura-lah bahtera Nabi Nuh mendarat dengan selamat di Gunung Judi setelah banjir besar yang melanda bumi. Peristiwa ini melambangkan dimulainya kembali kehidupan setelah bencana besar, sebuah tanda rahmat dan perlindungan Ilahi.

Dalam beberapa riwayat, disebutkan bahwa Nabi Nuh dan para pengikutnya berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk syukur kepada Allah atas keselamatan mereka. Kisah ini menambah lapisan makna Asyura sebagai hari syukur, keselamatan, dan pembaharuan.

Kisah Para Nabi Lain

Beberapa tradisi juga menyebutkan bahwa banyak peristiwa penting lainnya dalam sejarah kenabian terjadi pada hari Asyura, meskipun riwayat-riwayat ini tidak sekuat kisah Musa dan Nuh. Di antaranya adalah:

Meskipun keabsahan riwayat-riwayat ini beragam dan sebagian besar ulama menganggapnya lemah, mereka tetap berkontribusi pada persepsi umum bahwa Asyura adalah hari yang istimewa, penuh dengan berkah dan mukjizat ilahi.

Penetapan Puasa Asyura dalam Islam

Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah setelah hijrah, beliau mendapati bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Ketika ditanya tentang alasannya, mereka menjawab, "Ini adalah hari yang agung; pada hari ini Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Firaun dan kaumnya. Maka Musa berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur, dan kami pun berpuasa." (HR. Bukhari dan Muslim).

Mendengar hal ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian." Maka beliau memerintahkan umat Muslim untuk berpuasa pada hari Asyura. Pada awalnya, puasa Asyura ini hukumnya wajib. Namun, setelah turunnya perintah puasa Ramadhan, puasa Asyura menjadi sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), dan Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk tetap berpuasa pada hari tersebut.

Keutamaan Puasa Asyura

Puasa pada hari Asyura memiliki keutamaan yang besar. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Puasa hari Arafah (9 Zulhijah) menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Puasa hari Asyura (10 Muharram) menghapus dosa setahun yang lalu."

Ini menunjukkan betapa besar pahala yang dapat diperoleh dengan berpuasa pada hari Asyura. Namun, penting untuk diingat bahwa penghapusan dosa ini biasanya merujuk pada dosa-dosa kecil, sedangkan dosa-dosa besar memerlukan taubat yang sungguh-sungguh.

Puasa Tasu'a (9 Muharram) sebagai Pembeda

Menjelang akhir hayatnya, Nabi Muhammad SAW menyatakan keinginannya untuk berpuasa juga pada hari kesembilan Muharram (Tasu'a) sebagai bentuk pembeda dari umat Yahudi. Beliau bersabda, "Jika aku masih hidup sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Muharram)." (HR. Muslim).

Meskipun beliau wafat sebelum dapat melaksanakan niat ini, anjuran untuk berpuasa Tasu'a menjadi sunnah bagi umat Muslim. Dengan demikian, yang paling dianjurkan adalah berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram, atau setidaknya tanggal 10 Muharram saja. Hal ini menunjukkan pentingnya menjaga identitas Muslim dan membedakan diri dari tradisi agama lain, meskipun tetap menghormati akar historis dari puasa Asyura.

Tragedi Karbala dan Asyura dalam Tradisi Syiah

Sementara bagi umat Muslim Sunni, Asyura adalah hari syukur dan puasa sunnah, bagi umat Muslim Syiah, hari ini adalah puncak dari bulan duka dan ratapan yang sangat mendalam. Ini disebabkan oleh peristiwa tragis yang terjadi pada 10 Muharram 61 Hijriah (680 Masehi) di dataran Karbala, Irak, yaitu syahidnya Imam Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, beserta sebagian besar anggota keluarga dan pengikut setianya.

Latar Belakang Historis

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, kepemimpinan umat Islam menjadi isu sentral. Umat Syiah meyakini bahwa kepemimpinan (Imamah) harus diwariskan melalui garis keturunan Nabi, dimulai dari Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah az-Zahra (putri Nabi), dan kemudian kepada putra-putra mereka, Hasan dan Husain. Namun, setelah wafatnya Imam Hasan, kekuasaan umat Islam jatuh ke tangan Bani Umayyah, dengan Muawiyah I sebagai khalifah.

Ketika Muawiyah wafat, putranya, Yazid bin Muawiyah, mengambil alih kekhalifahan. Yazid dikenal sebagai penguasa yang cenderung lalim dan menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Ia menuntut bai'at (sumpah setia) dari Imam Husain, tetapi Imam Husain menolak, karena melihat Yazid tidak pantas memimpin umat Muslim dan khawatir akan penyimpangan agama di bawah kekuasaannya.

Perjalanan Menuju Karbala

Atas undangan dari masyarakat Kufah (Irak saat ini) yang berjanji akan mendukungnya sebagai pemimpin yang adil, Imam Husain memutuskan untuk pergi ke Kufah dari Mekah. Ia berangkat bersama keluarga dan sejumlah kecil pengikutnya. Namun, Yazid telah mengetahui rencana ini dan memerintahkan pasukannya untuk mencegat Imam Husain.

Pada 2 Muharram 61 H, rombongan Imam Husain dicegat dan dikepung oleh pasukan Yazid di sebuah dataran bernama Karbala. Pasukan Yazid memblokir akses mereka ke Sungai Eufrat, menyebabkan mereka menderita kehausan selama beberapa hari. Imam Husain dan pengikutnya diberi pilihan: berbai'at kepada Yazid atau mati.

Hari Asyura: Pertempuran dan Kesyahidan

Pada 10 Muharram, pagi hari, dengan jumlah yang sangat tidak seimbang (sekitar 72 orang melawan ribuan pasukan Yazid), Imam Husain dan para pengikutnya memutuskan untuk melawan. Mereka lebih memilih mati syahid dalam membela kebenaran daripada hidup di bawah kekuasaan zalim yang akan merusak Islam.

Pertempuran berlangsung sengit. Satu per satu, para sahabat dan kerabat Imam Husain gugur, termasuk putranya yang masih bayi, Ali Asghar, yang tewas karena panah saat digendong ayahnya. Setelah semua pengikutnya gugur, Imam Husain maju ke medan perang. Beliau bertempur dengan gagah berani namun akhirnya dikepung dan dibunuh secara kejam. Tubuhnya dimutilasi, kepalanya dipenggal, dan diarak ke Kufah dan Damaskus sebagai piala perang.

Keluarga Imam Husain yang selamat, termasuk para wanita dan anak-anak, disandera dan dibawa sebagai tawanan ke hadapan Yazid. Peristiwa Karbala adalah puncak kekejaman dan pengkhianatan, meninggalkan luka yang tak tersembuhkan dalam hati umat Syiah.

Makna Karbala bagi Syiah

Bagi umat Syiah, Karbala bukan hanya sebuah peristiwa sejarah, melainkan sebuah epik pengorbanan, perlawanan terhadap kezaliman, dan puncak kepahlawanan. Imam Husain dianggap sebagai "Sayyidus Syuhada" (Penghulu Para Syuhada), yang pengorbanannya menjadi teladan abadi tentang keberanian, keteguhan iman, dan komitmen terhadap keadilan.

Asyura menjadi hari untuk memperingati penderitaan Imam Husain dan keluarganya, meratapi ketidakadilan yang mereka alami, dan memperbaharui komitmen untuk mengikuti jejak mereka dalam menegakkan kebenaran. Hari ini adalah pengingat bahwa keadilan harus diperjuangkan, dan bahwa pengorbanan diri untuk prinsip-prinsip luhur tidak akan sia-sia.

Ritual Peringatan Asyura dalam Tradisi Syiah

Peringatan Asyura dalam tradisi Syiah sangat kaya dengan berbagai ritual yang bertujuan untuk menghidupkan kembali suasana duka dan mengenang pengorbanan Imam Husain. Ritual-ritual ini bervariasi di berbagai wilayah, tetapi umumnya melibatkan unsur-unsur berikut:

1. Majelis Azadari (Majelis Duka Cita)

Ini adalah pusat peringatan Asyura. Majelis-majelis ini diadakan di masjid, husainiyah (gedung pertemuan Syiah), atau rumah-rumah, dimulai dari hari pertama Muharram hingga Asyura atau bahkan lebih lama. Di majelis ini, para penceramah (zakir atau khatib) menyampaikan kisah-kisah Karbala, menyoroti keberanian Imam Husain, penderitaan keluarganya, dan kekejaman musuh-musuh mereka. Kisah-kisah ini seringkali dibacakan dengan nada yang menyentuh hati, memicu tangis dan ratapan dari para hadirin.

Para hadirin juga melantunkan elegi duka (marsiya) dan puisi-puisi tentang Karbala (noha), yang sering diiringi dengan memukul dada (matam) sebagai ekspresi kesedihan dan penyesalan karena tidak bisa berada di sisi Imam Husain.

2. Matam (Memukul Dada)

Matam adalah ritual memukul dada dengan tangan dalam irama tertentu, seringkali diiringi dengan lantunan noha atau marsiya. Ini adalah ekspresi fisik dari kesedihan yang mendalam dan empati terhadap penderitaan Imam Husain. Matam dapat dilakukan secara individu atau dalam kelompok besar, seringkali menghasilkan suara gemuruh yang menggema dan sangat emosional.

3. Zanjir Zani (Memukul Punggung dengan Rantai) dan Tatbir (Melukai Diri)

Di beberapa komunitas Syiah, terutama di Irak, Iran, Pakistan, dan India, terdapat ritual yang lebih ekstrem seperti zanjir zani, yaitu memukul punggung dengan rantai kecil. Tatbir (juga dikenal sebagai qama zani) melibatkan melukai kepala dengan pedang kecil atau pisau untuk mengeluarkan darah. Ritual-ritual ini dimaksudkan untuk menunjukkan solidaritas dengan penderitaan Imam Husain dan menumpahkan darah sebagai tanda pengorbanan.

Namun, penting untuk dicatat bahwa praktik-praktik ekstrem ini kontroversial di kalangan ulama Syiah sendiri. Banyak ulama dan otoritas keagamaan (marja' taqlid) telah mengeluarkan fatwa yang melarang tatbir dan praktik melukai diri lainnya, karena dianggap merusak citra Islam, membahayakan kesehatan, dan tidak sesuai dengan esensi ajaran Islam yang melarang melukai diri sendiri. Mereka mendorong bentuk ekspresi duka yang lebih moderat, seperti matam dan sumbangan darah.

4. Prosesi dan Pawai

Pada hari Asyura, sering diadakan prosesi besar-besaran di jalan-jalan, di mana ribuan orang berbaris, membawa bendera hitam (simbol duka), panji-panji, replika makam Imam Husain (ta'ziya), dan seringkali menampilkan adegan-adegan dari Karbala (syabih). Pawai ini diiringi dengan lantunan noha, matam, dan teriakan "Ya Husain!". Prosesi ini bertujuan untuk menyebarkan pesan Karbala kepada masyarakat luas dan menunjukkan kesetiaan kepada Imam Husain.

5. Pembacaan Ta'ziya (Drama Peringatan)

Ta'ziya adalah bentuk drama atau sandiwara religius yang menggambarkan peristiwa Karbala. Para aktor memerankan peran Imam Husain, keluarganya, dan para musuh, untuk secara visual menghidupkan kembali tragedi tersebut. Ini adalah bentuk seni pertunjukan yang sangat kuat dan seringkali sangat menyentuh emosi para penonton, terutama populer di Iran.

6. Nazar dan Tabarruk (Sedekah dan Pemberkahan)

Pada hari Asyura dan sepanjang bulan Muharram, banyak umat Syiah yang menjalankan nazar (janji untuk melakukan sesuatu jika doanya terkabul) berupa memberikan makanan atau minuman kepada orang-orang miskin dan para pelayat. Ini dilakukan sebagai bentuk sedekah (ihsan) dan untuk mendapatkan berkah (tabarruk) dari pengorbanan Imam Husain.

7. Ziarah ke Karbala

Bagi mereka yang mampu, ziarah ke makam Imam Husain di Karbala, Irak, adalah puncak dari peringatan Asyura. Jutaan peziarah dari seluruh dunia berkumpul di Karbala pada hari Asyura untuk melayat dan berdoa di makam suci tersebut, merasakan langsung energi spiritual dan duka yang mendalam di tempat tragedi itu terjadi.

Semua ritual ini bertujuan untuk menjaga ingatan akan Karbala tetap hidup, memperbaharui kesetiaan kepada Imam Husain, dan mengambil pelajaran dari pengorbanannya untuk menegakkan keadilan dan melawan kezaliman.

Amalan Sunnah pada Hari Asyura dalam Tradisi Sunni

Berbeda dengan fokus pada duka dan ratapan dalam tradisi Syiah, umat Muslim Sunni memperingati Asyura dengan amalan-amalan yang bersifat syukur, kebaikan, dan ibadah, sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Amalan utama adalah puasa, namun ada juga amalan lain yang dianjurkan.

1. Puasa Tasu'a dan Asyura (9 dan 10 Muharram)

Ini adalah amalan utama dan yang paling ditekankan. Seperti yang telah dijelaskan, puasa Asyura disyariatkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa. Kemudian beliau menganjurkan untuk menambahkan puasa pada 9 Muharram (Tasu'a) untuk membedakan diri dari Yahudi.

Keutamaan puasa ini sangat besar, sebagaimana disebutkan dalam hadis: "Puasa hari Asyura (10 Muharram) menghapus dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim). Ini adalah kesempatan emas bagi umat Muslim untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa kecil dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

2. Memperluas Rezeki Keluarga

Ada beberapa riwayat yang menganjurkan umat Muslim untuk melonggarkan dan memperluas rezeki keluarga pada hari Asyura, dengan harapan Allah akan meluaskan rezeki mereka sepanjang tahun. Meskipun ada perdebatan tentang kekuatan sanad hadis-hadis ini di kalangan ulama, praktik ini banyak diamalkan dan dianggap sebagai tradisi baik.

Misalnya, dengan membeli makanan atau barang-barang yang lebih baik dari biasanya untuk keluarga, bersedekah lebih banyak, atau menjamu tamu. Intinya adalah menunjukkan kedermawanan dan rasa syukur.

3. Bersedekah

Sedekah adalah amalan mulia kapan saja, tetapi bersedekah pada hari-hari yang diberkahi seperti Asyura memiliki nilai lebih. Memberi makan orang miskin, membantu yang membutuhkan, atau memberikan sumbangan kepada lembaga amal adalah cara yang baik untuk mengoptimalkan berkah hari Asyura.

4. Membaca Al-Qur'an dan Berdzikir

Tidak ada dzikir atau doa khusus yang disunnahkan secara spesifik untuk hari Asyura yang sahih dari Nabi Muhammad SAW. Namun, membaca Al-Qur'an, berdzikir, beristighfar, dan berdoa secara umum adalah amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam kapan saja, dan tentu saja sangat baik dilakukan pada hari yang istimewa ini.

5. Amalan Kebaikan Lainnya

Selain puasa dan sedekah, berbagai amalan kebaikan lain juga dianjurkan, seperti:

Penting untuk dicatat bahwa amalan-amalan seperti mandi khusus, bercelak, atau memakai wewangian khusus yang dikaitkan dengan Asyura dalam beberapa tradisi tidak memiliki dasar yang kuat dalam sunnah Nabi Muhammad SAW yang sahih. Para ulama menekankan bahwa fokus utama harus pada puasa dan amalan kebaikan yang jelas dasar syariatnya.

Dengan melakukan amalan-amalan ini, umat Muslim Sunni berharap dapat meraih pahala yang besar, menghapus dosa, dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, sambil mengenang sejarah kenabian yang kaya makna.

Perbedaan Pandangan dan Praktik Asyura antara Sunni dan Syiah

Perbedaan dalam peringatan Asyura antara Muslim Sunni dan Syiah adalah salah satu kontras paling mencolok dalam praktik keagamaan kedua mazhab besar Islam ini. Meskipun keduanya menghormati hari tersebut, fokus dan ritualnya sangat berlainan, mencerminkan perbedaan teologis dan historis yang mendalam.

Fokus Utama

Amalan dan Ritual

Interpretasi Sejarah dan Teologis

Meskipun ada perbedaan yang signifikan, baik Sunni maupun Syiah mengakui pentingnya Asyura. Perbedaannya terletak pada fokus interpretasi dan cara peringatannya. Bagi kedua mazhab, Asyura adalah hari refleksi dan komitmen terhadap nilai-nilai Islam, meskipun dengan penekanan yang berbeda.

Perayaan Asyura di Berbagai Negara

Asyura diperingati di berbagai belahan dunia Muslim dengan cara yang mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi lokal, serta dominasi mazhab Islam di wilayah tersebut. Meskipun esensinya sama—baik sebagai hari syukur atau duka—manifestasi perayaannya sangat beragam.

1. Irak dan Iran

Di Irak (tempat Karbala berada) dan Iran (negara mayoritas Syiah), peringatan Asyura adalah salah satu peristiwa keagamaan terpenting dalam setahun. Jutaan peziarah, baik lokal maupun internasional, membanjiri Karbala, Najaf, dan kota-kota suci lainnya di Irak. Di Iran, seluruh negara berduka. Kota-kota dipenuhi dengan bendera hitam dan spanduk duka. Majelis Azadari, matam, dan prosesi besar-besaran adalah hal yang umum. Beberapa komunitas masih melakukan tatbir dan zanjir zani, meskipun ada fatwa dari ulama yang melarang praktik melukai diri.

Pembacaan ta'ziya (drama panggung Karbala) adalah bentuk seni yang sangat populer di Iran, menarik banyak penonton dan memicu emosi yang mendalam.

2. Pakistan dan India

Komunitas Syiah di Pakistan dan India sangat besar dan aktif. Peringatan Asyura di sini juga sangat kental dengan prosesi duka, matam, noha, dan marsiya. Kota-kota seperti Lucknow di India dan Karachi, Lahore di Pakistan menyaksikan pawai duka yang megah. Penggunaan zanjir zani dan tatbir juga lazim di beberapa kelompok, meskipun juga memicu perdebatan. Bubur Asyura (disebut juga Haleem di beberapa daerah) juga dibagikan secara luas sebagai bagian dari nazar dan sedekah.

3. Lebanon

Di Lebanon, terutama di daerah yang didominasi Syiah seperti Beirut selatan dan Lembah Bekaa, Asyura diperingati dengan prosesi massal yang terorganisir, majelis duka, dan demonstrasi kesetiaan kepada Imam Husain. Hizbullah, organisasi politik dan militer Syiah di Lebanon, memainkan peran besar dalam mengatur dan memimpin acara-acara ini, seringkali dengan pesan politik yang kuat terkait perlawanan terhadap penindasan.

4. Indonesia

Indonesia, sebagai negara mayoritas Muslim Sunni dengan tradisi keagamaan yang kaya, memiliki cara unik dalam memperingati Asyura. Puasa 9 dan 10 Muharram adalah amalan yang umum dilakukan. Selain itu, ada tradisi khas seperti membuat dan membagikan "Bubur Asyura". Bubur ini biasanya terbuat dari berbagai jenis biji-bijian dan kacang-kacangan, dimasak dengan santan, dan dibagikan kepada tetangga, keluarga, dan fakir miskin sebagai bentuk sedekah dan syukur.

Di beberapa daerah, seperti di Pariaman, Sumatera Barat, ada tradisi "Tabuik", sebuah prosesi yang terinspirasi oleh peringatan Asyura yang dibawa oleh imigran India dan Persia. Meskipun sekarang telah menjadi festival budaya yang lebih luas, akar sejarahnya berasal dari Karbala.

5. Malaysia, Singapura, dan Brunei

Di negara-negara ini, Asyura diperingati oleh mayoritas Muslim Sunni dengan puasa sunnah dan sedekah, mirip dengan Indonesia. Bubur Asyura juga merupakan tradisi yang umum ditemukan, meskipun dengan variasi lokal dalam resepnya.

6. Mesir, Maroko, dan Negara-negara Afrika Utara

Di Mesir dan negara-negara Maghribi, Asyura diperingati dengan puasa, sedekah, dan suasana syukur. Anak-anak sering mendapatkan hadiah atau uang saku. Di beberapa daerah, ada tradisi khusus seperti mengunjungi makam, memberikan persembahan makanan, atau mengadakan acara-acara hiburan yang lebih ringan untuk anak-anak, meskipun kritik sering muncul terhadap praktik-praktik yang tidak sesuai syariat.

7. Afrika Sub-Sahara

Di negara-negara seperti Nigeria dan Ghana, Asyura dirayakan oleh komunitas Muslim dengan campuran tradisi Islam dan lokal. Puasa dan doa adalah amalan umum. Di beberapa wilayah, ada juga prosesi duka oleh komunitas Syiah yang lebih kecil, tetapi mayoritas Sunni fokus pada aspek syukur.

8. Negara Barat (Diaspora Muslim)

Di negara-negara Barat, komunitas Muslim, baik Sunni maupun Syiah, berupaya mempertahankan tradisi Asyura mereka. Komunitas Sunni berpuasa dan mengadakan pengajian. Komunitas Syiah menyelenggarakan majelis duka cita di pusat-pusat Islam dan kadang-kadang mengadakan pawai kecil, beradaptasi dengan konteks masyarakat non-Muslim di mana mereka tinggal.

Keragaman perayaan ini menunjukkan bagaimana Asyura telah terintegrasi dalam berbagai budaya Muslim, sementara esensi spiritual dan historisnya tetap menjadi benang merah yang menghubungkan mereka.

Makna Spiritual dan Pelajaran dari Asyura

Terlepas dari perbedaan dalam cara peringatan, Asyura menyimpan makna spiritual dan pelajaran universal yang dapat diambil oleh seluruh umat manusia, tidak hanya umat Muslim.

1. Ketabahan dan Kesabaran dalam Ujian

Kisah Nabi Musa dan Bani Israil mengajarkan ketabahan dalam menghadapi penindasan Firaun, dan kesabaran dalam menunggu pertolongan Allah. Demikian pula, keteguhan Imam Husain dan pengikutnya di Karbala, yang memilih mati syahid daripada menyerah pada kezaliman, adalah lambang kesabaran ekstrem dan ketabahan iman. Ini mengingatkan kita bahwa kebenaran patut diperjuangkan, bahkan jika harus menghadapi kesulitan yang luar biasa.

2. Perlawanan terhadap Tirani dan Kezaliman

Peristiwa Karbala adalah manifestasi agung dari perlawanan terhadap tirani dan ketidakadilan. Imam Husain menolak berbai'at kepada penguasa yang zalim, demi menjaga kemurnian ajaran Islam. Pelajaran ini relevan sepanjang masa: bahwa individu dan masyarakat memiliki tanggung jawab moral untuk menentang penindasan, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan, dan untuk berdiri teguh demi keadilan.

3. Pentingnya Syukur

Bagi umat Sunni, Asyura adalah hari untuk bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya, terutama penyelamatan para Nabi. Ini mengajarkan kita untuk selalu menghargai berkat yang kita terima dan mengungkapkan rasa terima kasih kita melalui ibadah dan kebaikan.

4. Pengorbanan dan Ikhlas

Baik Nabi Musa yang mempertaruhkan segalanya untuk kaumnya, maupun Imam Husain yang mengorbankan nyawa, keluarga, dan pengikutnya demi prinsip-prinsip ilahi, keduanya menunjukkan puncak pengorbanan. Ini adalah pelajaran tentang keikhlasan dalam berkorban demi tujuan yang lebih besar dari diri sendiri, demi kebenaran, dan demi Allah SWT.

5. Solidaritas dan Empati

Ritual duka dalam tradisi Syiah menumbuhkan rasa solidaritas yang kuat di antara mereka dan empati mendalam terhadap penderitaan Ahlul Bait. Ini adalah pengingat akan pentingnya saling mendukung, merasakan penderitaan sesama, dan berdiri bersama dalam menghadapi kesulitan.

6. Pembaharuan Komitmen Spiritual

Asyura, dengan segala kisahnya, mengajak umat Muslim untuk melakukan introspeksi dan memperbaharui komitmen mereka terhadap ajaran Islam. Baik melalui puasa, doa, sedekah, atau mengenang tragedi, hari ini adalah kesempatan untuk merenungkan nilai-nilai keimanan, moralitas, dan tanggung jawab sosial.

7. Persatuan dan Persaudaraan

Meskipun ada perbedaan dalam peringatan, Asyura pada dasarnya adalah hari yang menyatukan umat Muslim dalam refleksi spiritual. Jika umat Muslim dapat saling memahami dan menghormati cara masing-masing dalam memperingati hari ini, Asyura dapat menjadi jembatan untuk memperkuat persatuan dan persaudaraan, daripada menjadi sumber perpecahan.

Secara keseluruhan, Asyura adalah hari yang multi-dimensi, menawarkan kekayaan pelajaran tentang iman, etika, sejarah, dan perjuangan kemanusiaan yang abadi. Ini adalah pengingat bahwa kebenaran dan keadilan harus selalu dijunjung tinggi, meskipun harganya mahal.

Kontroversi dan Miskonsepsi Seputar Asyura

Seperti banyak hari peringatan keagamaan lainnya, Asyura juga tidak luput dari kontroversi dan miskonsepsi, baik di dalam maupun di luar komunitas Muslim. Pemahaman yang akurat penting untuk menghindari kesalahpahaman.

1. Praktik Ekstrem dalam Berkabung

Salah satu kontroversi terbesar adalah seputar praktik tatbir (melukai kepala) dan zanjir zani (memukul punggung dengan rantai) dalam tradisi Syiah. Kritikus, termasuk banyak ulama Syiah sendiri, berpendapat bahwa praktik-praktik ini adalah bid'ah (inovasi dalam agama yang tidak memiliki dasar) dan haram karena membahayakan diri sendiri, merusak citra Islam, dan tidak sejalan dengan semangat Islam yang moderat dan rasional.

Para pendukungnya berargumen bahwa ini adalah ekspresi cinta dan duka yang tulus, meskipun banyak yang kini menganjurkan penggantian dengan donor darah sebagai bentuk pengorbanan yang lebih konstruktif dan bermanfaat.

2. Klaim tentang Mandi, Bercelak, atau Doa Khusus yang Tidak Berdasar

Dalam tradisi Sunni, ada beberapa riwayat lemah atau palsu yang mengaitkan amalan-amalan tertentu dengan Asyura, seperti mandi khusus, bercelak mata, memakai wewangian, mengenakan pakaian baru, atau membaca doa-doa tertentu yang diklaim memiliki keutamaan besar. Para ulama hadis dan fiqh telah mengklarifikasi bahwa amalan-amalan ini tidak memiliki dasar yang sahih dalam sunnah Nabi Muhammad SAW dan sebaiknya dihindari untuk tidak jatuh pada bid'ah.

Fokus utama bagi Sunni harus tetap pada puasa Tasu'a dan Asyura serta amalan kebaikan umum yang disyariatkan.

3. Kesalahpahaman tentang Hubungan Asyura dan Yom Kippur

Ada miskonsepsi bahwa Asyura dan Yom Kippur (Hari Penebusan dosa Yahudi) adalah hari yang sama atau saling menjiplak. Meskipun ada korelasi historis di mana Nabi Muhammad SAW menemukan Yahudi berpuasa pada hari yang kira-kira bertepatan dengan Asyura, penanggalan kalender Islam dan Yahudi berbeda. Selain itu, makna dan fokus kedua hari tersebut juga berbeda. Bagi Muslim, puasa Asyura adalah bagian dari syariat Islam yang ditetapkan oleh Nabi, bukan hanya meniru Yahudi.

4. Penggunaan Asyura untuk Tujuan Politik

Baik peringatan Asyura bagi Sunni maupun Syiah kadang-kadang digunakan untuk tujuan politik, baik untuk menggalang dukungan, memobilisasi massa, atau bahkan menyebarkan narasi tertentu. Hal ini bisa mengaburkan esensi spiritual dan keagamaan dari hari tersebut.

5. Perpecahan antara Mazhab

Sayangnya, perbedaan dalam peringatan Asyura kadang-kadang diperparah menjadi sumber perpecahan dan konflik antara Sunni dan Syiah. Kesalahpahaman dan kurangnya toleransi dapat menyebabkan permusuhan, padahal inti dari Asyura, dalam kedua tradisi, adalah tentang nilai-nilai keadilan, pengorbanan, dan iman.

Penting bagi umat Muslim untuk memahami akar historis dan teologis dari kedua tradisi peringatan ini, menghormati perbedaan, dan mencari titik-titik persamaan dalam nilai-nilai yang dijunjung tinggi, demi persatuan umat.

Kesimpulan

Asyura, hari kesepuluh bulan Muharram, adalah sebuah hari yang sarat dengan makna dan sejarah yang mendalam dalam tradisi Islam. Dari penyelamatan Nabi Musa dari penindasan Firaun, kisah Nabi Nuh dan bahteranya, hingga tragedi pilu kesyahidan Imam Husain bin Ali di Karbala, Asyura mewakili berbagai dimensi keimanan, ketabahan, syukur, dan pengorbanan.

Bagi umat Muslim Sunni, Asyura adalah hari syukur yang diperingati dengan puasa sunnah, khususnya puasa Tasu'a (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram), sebagai bentuk penghargaan atas nikmat Allah dan untuk menghapus dosa. Amalan sedekah dan kebaikan lainnya juga dianjurkan, memperkuat nilai-nilai kedermawanan dan solidaritas sosial.

Sementara itu, bagi umat Muslim Syiah, Asyura adalah puncak dari bulan duka dan ratapan, sebuah hari yang mengenang pengorbanan heroik Imam Husain dan keluarganya dalam menegakkan kebenaran melawan kezaliman. Melalui majelis duka, matam, dan prosesi yang emosional, umat Syiah memperbaharui komitmen mereka terhadap keadilan dan perlawanan terhadap penindasan.

Perayaan Asyura di berbagai negara menunjukkan keragaman budaya dan interpretasi dalam dunia Islam, dari bubur Asyura di Indonesia dan Malaysia, hingga prosesi megah di Irak dan Iran. Meskipun cara peringatannya berbeda, esensi Asyura sebagai hari refleksi, pengorbanan, dan pembaharuan spiritual tetap menjadi benang merah yang universal.

Pelajaran yang dapat diambil dari Asyura sangat relevan sepanjang masa: ketabahan dalam menghadapi ujian, keberanian untuk melawan kezaliman, pentingnya syukur, dan keikhlasan dalam berkorban demi prinsip-prinsip luhur. Asyura mengajarkan kita bahwa kebenaran dan keadilan harus selalu dijunjung tinggi, meskipun jalannya penuh tantangan dan pengorbanan.

Dalam memahami Asyura, penting untuk menghargai kekayaan interpretasi dan praktik dalam Islam, serta mencari titik-titik persamaan yang dapat memperkuat persatuan dan persaudaraan umat. Dengan demikian, Asyura tidak hanya menjadi hari peringatan sejarah, tetapi juga sumber inspirasi abadi bagi umat manusia untuk berpegang teguh pada nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kemanusiaan.

🏠 Homepage