Pengantar: Mengapa Aswaja NU Penting?
Di tengah dinamika global dan tantangan kontemporer, pembahasan mengenai Islam moderat menjadi sangat relevan. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki peran sentral dalam menampilkan wajah Islam yang damai, toleran, dan seimbang. Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, adalah garda terdepan dalam mewujudkan visi ini melalui pijakan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) yang dianutnya.
Aswaja NU bukan sekadar label, melainkan sebuah manhaj (metodologi) beragama yang mengakar kuat pada tradisi keilmuan Islam klasik, namun tetap relevan dan adaptif terhadap perubahan zaman. Ia menawarkan sebuah model keberislaman yang menjaga keseimbangan antara teks (wahyu) dan konteks (realitas sosial), antara akal dan hati, serta antara individualitas dan komunalitas. Lebih dari itu, Aswaja NU telah menjadi fondasi bagi semangat kebangsaan, persatuan, dan kebhinekaan di Indonesia, menempatkan nilai-nilai keislaman selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Artikel ini akan menelusuri secara mendalam apa itu Aswaja NU, bagaimana ia terbentuk, prinsip-prinsip dasarnya, metodologi pemikirannya, serta kontribusinya yang tak terhingga bagi agama, bangsa, dan kemanusiaan. Kita akan membahas pilar-pilar akidah, syariah, dan akhlak yang menjadi ciri khasnya, serta menyoroti karakteristik penting seperti tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). Dengan memahami Aswaja NU, kita akan memahami salah satu corak Islam yang paling berpengaruh di dunia, sebuah corak yang menyerukan kedamaian, keadilan, dan kemaslahatan umat.
Ilustrasi Keseimbangan dan Keharmonisan.
Sejarah dan Latar Belakang Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama (NU) lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M (16 Rajab 1344 H) di Surabaya, Jawa Timur, sebagai respon atas berbagai tantangan yang dihadapi umat Islam Indonesia dan dunia pada awal abad ke-20. Kelahiran NU tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik global dan pemikiran keagamaan yang saat itu sedang bergejolak. Di satu sisi, dunia Islam sedang mengalami transisi besar pasca-runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah, di sisi lain, munculnya gerakan-gerakan pembaharuan keagamaan di Timur Tengah yang cenderung puritan dan literalistik, seperti Wahabisme, mulai mengancam tradisi keberagamaan yang telah lama mengakar di Nusantara.
Tantangan Global dan Lokal
Pada saat itu, Kekhalifahan Utsmaniyah di Turki, yang secara simbolis menjadi pusat persatuan umat Islam, telah runtuh pada tahun 1924. Peristiwa ini meninggalkan kekosongan kepemimpinan spiritual yang besar. Di Hijaz, muncul gerakan Wahabi yang berhasil menguasai Makkah dan Madinah, serta mulai menerapkan paham keagamaan yang sangat ketat, bahkan cenderung memberantas tradisi-tradisi keagamaan yang dianggap bid'ah, termasuk praktik-praktik ziarah kubur, tawasul, dan peringatan maulid Nabi yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik keagamaan Muslim Nusantara. Ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan ulama tradisionalis Indonesia yang melihat tradisi mereka terancam.
Di dalam negeri, kolonialisme Belanda masih mencengkeram erat. Pendidikan Islam tradisional yang diwakili oleh pesantren-pesantren, meskipun tetap hidup, namun seringkali kurang mendapatkan perhatian atau bahkan represi dari pemerintah kolonial. Sementara itu, muncul pula organisasi-organisasi pergerakan nasional yang lebih modern, yang sebagian besar tidak secara eksplisit mengadvokasi tradisi keagamaan Islam klasik. Ini menciptakan kebutuhan akan sebuah wadah yang dapat menyatukan ulama dan umat dalam mempertahankan tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah.
Peran Komite Hijaz
Salah satu pemicu utama berdirinya NU adalah dibentuknya Komite Hijaz. Ketika Raja Abdul Aziz bin Saud dari Nejd menguasai Makkah dan Madinah, ia berencana memberlakukan mazhab tunggal (Wahabi) dan menghancurkan makam-makam kuno, termasuk makam para imam mazhab dan sahabat Nabi, serta melarang praktik ziarah dan tawasul. Para ulama tradisionalis di Jawa merasa terancam dengan kebijakan ini, terutama terkait dengan kebebasan bermazhab yang selama ini mereka anut, yaitu Mazhab Syafi'i.
Oleh karena itu, pada tahun 1925, KH. Abdul Wahab Hasbullah mengusulkan untuk mengirim delegasi ke Hijaz guna menyampaikan aspirasi ulama Nusantara kepada Raja Abdul Aziz. Delegasi ini dikenal sebagai Komite Hijaz, yang kemudian diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah dan melibatkan tokoh-tokoh ulama lainnya. Komite ini bertujuan untuk memastikan kebebasan bermazhab di tanah suci dan agar tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah tetap dihormati. Namun, untuk mengirim delegasi ini, diperlukan sebuah organisasi yang formal dan diakui. Inilah yang menjadi momentum penting pendirian NU.
Lahirnya Nahdlatul Ulama
Setelah berkonsultasi dengan gurunya, KH. Hasyim Asy'ari, dan melakukan shalat istikharah, KH. Wahab Hasbullah mendapatkan restu untuk mendirikan sebuah organisasi. Pada tanggal 16 Rajab 1344 Hijriah atau 31 Januari 1926 Masehi, bertempat di kediaman KH. Abdul Wahab Hasbullah di Kertopaten, Surabaya, para ulama terkemuka berkumpul dan secara resmi mendirikan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama (Perkumpulan Kebangkitan Ulama). KH. Hasyim Asy'ari diangkat sebagai Rais Akbar (pemimpin tertinggi) pertama.
Nama "Nahdlatul Ulama" sendiri memiliki makna yang mendalam: kebangkitan ulama. Ini mencerminkan semangat untuk membangkitkan kembali peran ulama dalam membimbing umat, melestarikan ajaran Islam yang autentik sesuai manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah, serta menghadapi tantangan modernisasi dan westernisasi tanpa kehilangan identitas keislaman. Tujuan utama NU saat itu adalah memelihara dan mengembangkan ajaran Islam berdasarkan Mazhab Ahlussunnah wal Jama'ah, serta mewujudkan kemaslahatan umat melalui berbagai bidang.
Para pendiri NU adalah ulama-ulama kharismatik yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren yang kuat dan jaringan keilmuan yang luas, termasuk:
- KH. Hasyim Asy'ari: Tokoh sentral, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, seorang faqih dan muhaddits terkemuka.
- KH. Wahab Hasbullah: Sosok organisatoris ulung, penggagas Komite Hijaz, dan penasihat utama dalam pendirian NU.
- KH. Bisri Syansuri: Pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang, seorang ahli fiqih yang disegani.
- KH. As'ad Syamsul Arifin: Tokoh kunci dari Situbondo yang memiliki peran penting dalam meyakinkan KH. Hasyim Asy'ari untuk mendirikan NU.
- Serta banyak ulama lainnya yang berkontribusi dalam perumusan dasar-dasar organisasi.
Manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Perspektif NU
Ahlussunnah wal Jama'ah (sering disingkat Aswaja) adalah manhaj atau metode beragama yang menjadi landasan teologis, yuridis, dan etis Nahdlatul Ulama. Secara etimologi, Ahlussunnah berarti orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, sedangkan wal Jama'ah berarti orang-orang yang mengikuti jejak mayoritas sahabat dan generasi salafus shalih dalam pemahaman dan pengamalan agama. Dalam konteks NU, Aswaja bukan sekadar klaim, melainkan manifestasi nyata dari komitmen terhadap tradisi keilmuan yang mapan, moderasi, dan inklusivitas.
Manhaj Aswaja NU berpijak pada tiga pilar utama: akidah (teologi), syariah (hukum Islam), dan akhlak (etika/tasawuf). Ketiga pilar ini saling terkait dan membentuk sistem keberagamaan yang utuh, seimbang, dan komprehensif. Berikut adalah penjelasan mendalam tentang ketiga pilar tersebut:
1. Pilar Akidah (Teologi): Memahami Hakikat Ketuhanan
Dalam bidang akidah, NU berpegang pada pemikiran dua imam besar teologi Islam: Imam Abul Hasan Al-Asy'ari (w. 324 H/936 M) dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi (w. 333 H/944 M). Keduanya merupakan penggagas aliran teologi Asy'ariyah dan Maturidiyah yang mendominasi mayoritas umat Islam di dunia, termasuk di Nusantara. Pemilihan kedua mazhab ini bukan tanpa alasan; keduanya menawarkan pendekatan rasionalistik dalam memahami akidah, yang mampu membentengi umat dari paham-paham menyimpang dan memberikan fondasi iman yang kokoh.
Imam Abul Hasan Al-Asy'ari dan Mazhab Asy'ariyah
Imam Al-Asy'ari awalnya adalah pengikut mazhab Mu'tazilah, sebuah aliran teologi rasionalis yang sangat menekankan peran akal dalam memahami teks agama. Namun, setelah melakukan kajian mendalam dan perenungan, ia berpindah dan merumuskan pandangan teologinya sendiri yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariyah. Mazhab ini berusaha menengahi antara kaum rasionalis ekstrem (Mu'tazilah) dan kaum tekstualis ekstrem (Hanabilah awal atau Ahlul Hadits yang menolak tafwidh). Ciri khas Asy'ariyah antara lain:
- Sifat-sifat Allah (Sifat Ma'ani): Asy'ariyah meyakini adanya tujuh sifat ma'ani (kekal dan inheren pada Dzat Allah) yang wajib diimani: Qudrat (kuasa), Iradat (berkehendak), Ilmu (mengetahui), Hayat (hidup), Sama' (mendengar), Bashar (melihat), dan Kalam (berbicara). Sifat-sifat ini berbeda dengan Dzat Allah, namun tidak terpisah dari-Nya.
- Sifat Khabariyah (Anthropomorfis): Untuk ayat-ayat dan hadits yang secara lahiriyah menyiratkan Allah memiliki anggota tubuh (seperti 'tangan', 'wajah', 'mata'), Asy'ariyah melakukan tafwidh (menyerahkan makna hakiki kepada Allah tanpa menafsirkan) atau ta'wil (menafsirkan secara majazi agar tidak bertentangan dengan kesucian Allah). Contohnya, 'tangan Allah' ditafsirkan sebagai 'kekuasaan Allah'. Ini berbeda dengan Mu'tazilah yang menolak sifat-sifat ini sama sekali, atau kaum Mujassimah/Musyabbihah yang menafsirkan secara literal dan menyamakan Allah dengan makhluk.
- Penciptaan Perbuatan Manusia (Kasb): Asy'ariyah mengajarkan bahwa segala perbuatan, baik dan buruk, adalah ciptaan Allah. Namun, manusia memiliki *kasb* (usaha atau kehendak) untuk 'melakukan' atau 'mendapatkan' perbuatan tersebut. Ini adalah upaya untuk menengahi antara fatalisme (jabariyah) yang mengatakan manusia tidak punya pilihan dan kebebasan mutlak (qadariyah) yang mengatakan manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Manusia bertanggung jawab atas kasb-nya.
- Melihat Allah di Akhirat (Ru'yatullah): Asy'ariyah meyakini bahwa orang mukmin akan dapat melihat Allah di akhirat, namun penglihatan itu tidak bisa disamakan dengan penglihatan makhluk dan tidak melibatkan arah atau wujud fisik.
- Kalam Allah: Asy'ariyah membedakan antara Kalam Nafsi (firman Allah yang kekal, tidak berhuruf dan bersuara) dan Kalam Lafdzi (firman Allah yang berhuruf dan bersuara, yaitu Al-Qur'an yang kita baca). Al-Qur'an sebagai Kalam Nafsi adalah qadim (kekal), sedangkan sebagai Kalam Lafdzi adalah hadits (baru).
Imam Abu Manshur Al-Maturidi dan Mazhab Maturidiyah
Imam Al-Maturidi adalah ulama besar dari Samarkand yang memiliki pandangan teologi yang serupa dengan Al-Asy'ari, namun dengan beberapa perbedaan nuansa. Mazhab Maturidiyah lebih moderat dalam penggunaan akal dibandingkan Mu'tazilah, tetapi sedikit lebih mengedepankan akal dibandingkan Asy'ariyah dalam beberapa isu. Perbedaan utama mereka cenderung pada detail dan penekanan, bukan pada substansi pokok akidah. Beberapa ciri khas Maturidiyah:
- Peran Akal: Maturidiyah memberikan peran yang lebih besar kepada akal dalam mengetahui sebagian kebenaran dan kewajiban moral, bahkan sebelum datangnya wahyu. Akal dapat mengetahui bahwa berbuat baik itu baik dan berbuat buruk itu buruk, meskipun wahyu menguatkan dan merinci hal tersebut. Ini sedikit berbeda dengan Asy'ariyah yang lebih menekankan bahwa baik dan buruk adalah apa yang ditetapkan syariat.
- Penciptaan Perbuatan Manusia: Maturidiyah juga meyakini bahwa Allah adalah pencipta perbuatan, tetapi manusia memiliki kehendak bebas (ikhtiyar) yang riil dan merupakan 'pencipta' (khalik) perbuatannya dalam arti bahwa ia yang melakukannya secara langsung (mu'assir) setelah Allah memberinya daya. Ini sedikit lebih mendekati pandangan Qadariyah dibandingkan Asy'ariyah, namun tetap dalam kerangka keesaan Allah sebagai Pencipta hakiki.
- Sifat-sifat Allah: Secara umum, pandangan Maturidiyah tentang sifat-sifat Allah sangat mirip dengan Asy'ariyah, termasuk pandangan tentang sifat ma'ani dan penafsiran sifat khabariyah. Mereka juga menolak antropomorfisme (penyerupaan Allah dengan makhluk).
Meskipun ada perbedaan-perbedaan kecil, kedua mazhab ini (Asy'ariyah dan Maturidiyah) sepakat dalam pokok-pokok akidah yang krusial: keesaan Allah (tauhid), kenabian Muhammad SAW, kebangkitan setelah mati, hari kiamat, surga dan neraka, serta keyakinan terhadap malaikat, kitab-kitab suci, dan takdir. Keduanya sama-sama menolak radikalisme dalam pemahaman akidah dan menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan tekstualitas. Oleh karena itu, NU menerima kedua mazhab ini sebagai fondasi akidah yang kokoh dan moderat.
2. Pilar Syariah (Hukum Islam): Membangun Kehidupan Berlandaskan Fiqih
Dalam bidang syariah atau hukum Islam (fiqih), NU secara tradisional berpegang teguh pada Mazhab Syafi'i. Namun, NU juga mengakui dan menghormati tiga mazhab fiqih lainnya: Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Pendekatan ini menunjukkan sikap toleransi dan keterbukaan dalam berijtihad dan beristimbat hukum.
Mazhab Syafi'i dan Keempat Mazhab
Mazhab Syafi'i didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (w. 204 H/820 M). Imam Syafi'i dikenal sebagai ulama yang mampu mensintesiskan tradisi fiqih Ahlul Hadits (yang berpusat di Hijaz, sangat menekankan hadits) dan Ahlur Ra'yi (yang berpusat di Irak, lebih menekankan akal/rasio). Karyanya yang monumental, Ar-Risalah, dianggap sebagai karya pertama dalam disiplin ilmu Ushul Fiqih (metodologi perumusan hukum Islam).
Alasan mengapa NU secara dominan mengikuti Mazhab Syafi'i antara lain:
- Sejarah Transmisi Ilmu: Mazhab Syafi'i adalah mazhab yang paling dominan masuk ke Nusantara melalui para pedagang, ulama, dan penyebar Islam dari Timur Tengah sejak abad ke-13. Kitab-kitab fiqih Syafi'iyah menjadi kurikulum utama di pesantren-pesantren tradisional.
- Metodologi yang Jelas: Imam Syafi'i memiliki metodologi yang sangat rapi dan jelas dalam berijtihad, mulai dari Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' (konsensus ulama), hingga Qiyas (analogi). Ini memberikan kepastian hukum dan memudahkan proses pembelajaran bagi para santri dan ulama.
- Komprehensif dan Terstruktur: Mazhab Syafi'i memiliki pembahasan fiqih yang sangat detail dan mencakup hampir seluruh aspek kehidupan Muslim, mulai dari ibadah, muamalah (transaksi), munakahat (pernikahan), jinayat (pidana), hingga siyasah (politik).
Meskipun demikian, NU tidak bersikap absolut terhadap Mazhab Syafi'i. Dalam beberapa konteks, ketika dibutuhkan dan ada kemaslahatan yang lebih besar, NU tidak ragu untuk mengambil pendapat dari mazhab lain, bahkan di luar mazhab empat, melalui mekanisme talfiq (menggabungkan pendapat) atau intiqal mazhab (berpindah mazhab) dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah syar'i dan pertimbangan kemaslahatan. Ini menunjukkan fleksibilitas dan kedalaman pemahaman fiqih NU.
Ushul Fiqih dan Kaidah Fiqih
Pendekatan NU dalam fiqih sangat ditekankan pada penguasaan Ushul Fiqih (metodologi perumusan hukum Islam) dan Kaidah Fiqih (prinsip-prinsip umum hukum Islam). Ushul Fiqih mengajarkan bagaimana cara seorang mujtahid mengambil hukum dari sumber-sumbernya yang primer (Al-Qur'an dan Sunnah) serta sekunder (Ijma' dan Qiyas). Ini mencakup pembahasan tentang:
- Al-Qur'an: Makna lafazh, umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, nasikh dan mansukh.
- As-Sunnah: Derajat hadits (shahih, hasan, dha'if), jenis-jenis sunnah (qauliyah, fi'liyah, taqririyah), serta metode pemahamannya.
- Ijma': Konsensus para ulama. NU sangat menghormati Ijma' Salaf.
- Qiyas: Analogi untuk kasus-kasus baru yang belum ada nash-nya secara langsung.
- Metode Ijtihad lainnya seperti Istihsan, Istishhab, Maslahah Mursalah, dan 'Urf (adat kebiasaan).
Dengan demikian, pendekatan fiqih NU adalah pendekatan yang mapan, terstruktur, namun tetap adaptif. Ia memberikan kerangka yang jelas bagi umat untuk beribadah dan bermuamalah, sekaligus membuka ruang bagi inovasi hukum yang sejalan dengan semangat Islam dan kemaslahatan umum.
3. Pilar Akhlak (Tasawuf): Membangun Pribadi Berkarakter Mulia
Dalam bidang akhlak dan tasawuf, NU merujuk pada pemikiran Imam Abul Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H/910 M) dan Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Keduanya adalah ulama sufi terkemuka yang menekankan pentingnya pensucian jiwa (tazkiyatun nafs), perbaikan moral, dan kedekatan dengan Allah.
Imam Al-Junaid Al-Baghdadi dan Tasawuf Akhlaki
Al-Junaid dikenal sebagai "Sayyid ath-Thaifah" (pemimpin kelompok sufi) dan mewakili mazhab tasawuf yang moderat, yang dikenal sebagai Tasawuf Akhlaki. Ia menekankan bahwa tasawuf sejati harus sejalan dengan syariat Islam. Baginya, tasawuf bukanlah meninggalkan dunia, melainkan membersihkan hati agar senantiasa terhubung dengan Allah di tengah-tengah kehidupan duniawi. Ajaran Al-Junaid meliputi:
- Komitmen terhadap Syariat: Tasawuf tanpa syariat adalah sesat. Setiap pengalaman spiritual harus diverifikasi dan divalidasi oleh Al-Qur'an dan Sunnah.
- Mujahadah dan Riyadhah: Melalui perjuangan melawan hawa nafsu (mujahadah) dan latihan spiritual (riyadhah) seperti dzikir, puasa, dan shalat malam, seorang sufi berusaha membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela (madzmumah) dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah).
- Fana' dan Baqa': Konsep fana' (melebur diri dalam kesadaran akan kebesaran Allah) dan baqa' (keberadaan diri yang lestari dalam Allah setelah melewati fana') dipahami secara hati-hati, tidak dalam arti menyatu dengan Allah secara fisik (hulul atau ittihad), melainkan menyatu dalam kehendak dan tujuan.
Imam Al-Ghazali dan Ihya' Ulumiddin
Imam Al-Ghazali, yang dijuluki "Hujjatul Islam" (Pembela Islam), adalah tokoh kunci dalam integrasi tasawuf ke dalam ortodoksi Islam. Setelah mengalami krisis spiritual dan meninggalkan karir akademisnya yang cemerlang, ia menekuni jalan tasawuf. Karyanya yang paling terkenal, Ihya' Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama), adalah ensiklopedia yang mengintegrasikan fiqih, akidah, dan tasawuf menjadi satu kesatuan yang harmonis. Kontribusi Al-Ghazali yang dipegang NU antara lain:
- Integrasi Syariat dan Hakikat: Al-Ghazali menegaskan bahwa syariat adalah jalan (thariqah) menuju hakikat (ma'rifatullah), dan hakikat tidak dapat dicapai tanpa syariat. Ini menolak pandangan sebagian sufi ekstrem yang menganggap syariat tidak lagi wajib bagi mereka yang telah mencapai "hakikat".
- Pentingnya Akhlak: Ia menekankan bahwa tujuan akhir dari ibadah dan perjalanan spiritual adalah perbaikan akhlak. Islam adalah agama moralitas, dan kesalehan sejati tercermin dalam perilaku sehari-hari yang baik terhadap sesama manusia dan makhluk lain.
- Penolakan Tasawuf Filsafati Ekstrem: Al-Ghazali mengkritik tasawuf filsafati yang cenderung spekulatif dan kadang bertentangan dengan akidah Ahlussunnah, namun ia tetap mempertahankan dan mengembangkan tasawuf yang berbasis Al-Qur'an dan Sunnah.
Dengan berpegang pada tasawuf akhlaki ala Al-Junaid dan Al-Ghazali, NU menekankan bahwa beragama tidak hanya soal ritual formal dan keyakinan intelektual, tetapi juga soal transformasi batin dan pembentukan karakter mulia. Tasawuf mengajarkan kerendahan hati (tawadhu'), kesabaran (shabr), syukur (syukur), ikhlas (ikhlas), kejujuran (shidiq), dan berbagai sifat terpuji lainnya, yang semuanya esensial dalam membangun masyarakat yang beradab dan penuh kasih sayang. Ini juga menjadi benteng terhadap formalisme agama yang kering dan ekstremisme yang mengabaikan dimensi spiritual dan etika Islam.
Karakteristik dan Manhaj Gerakan Nahdlatul Ulama
Selain berpegang pada pilar akidah, syariah, dan akhlak, Nahdlatul Ulama memiliki karakteristik dan manhaj gerakan yang khas, yang membedakannya dari organisasi Islam lainnya. Manhaj ini adalah manifestasi dari penerapan nilai-nilai Aswaja dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lima karakteristik utama yang sering disebut sebagai Khittah Nahdliyah atau prinsip dasar gerakan NU adalah:
1. Tawassuth dan I'tidal (Moderat dan Berimbang)
Tawassuth berarti jalan tengah atau moderasi, tidak ekstrem ke kanan atau ke kiri. I'tidal berarti tegak lurus, adil, atau berimbang. Kedua prinsip ini adalah jantung dari manhaj Aswaja NU. NU senantiasa menghindari sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dalam beragama, baik dalam bentuk liberalisme yang kebablasan maupun literalisme dan puritanisme yang kaku. Moderasi ini terwujud dalam:
- Memahami Teks Agama: NU tidak terpaku pada tafsir literal semata, tetapi juga mempertimbangkan konteks sejarah, sosial, dan tujuan syariat (maqashid syariah). Ini memungkinkan interpretasi yang relevan untuk zaman modern tanpa mengorbankan prinsip dasar Islam.
- Sikap terhadap Perbedaan: NU sangat menghargai perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam masalah furu' (cabang) fiqih, yang dianggap sebagai rahmat. Ini tercermin dalam pengakuan terhadap empat mazhab dan tidak memaksakan satu pandangan tertentu.
- Menolak Ekstremisme: NU secara tegas menolak segala bentuk ekstremisme, radikalisme, dan terorisme atas nama agama. Moderasi adalah benteng dari kekerasan dan intoleransi.
- Keseimbangan dalam Segala Hal: Baik dalam pemikiran, sikap, maupun tindakan, NU selalu berupaya mencapai keseimbangan. Keseimbangan antara akal dan wahyu, hak individu dan hak komunal, duniawi dan ukhrawi, serta tradisi dan modernitas.
Prinsip tawassuth dan i'tidal ini sangat relevan di era modern yang penuh gejolak. Ia mendorong umat untuk berpikir kritis, namun tetap berpijak pada nilai-nilai keislaman yang universal, serta membuka diri terhadap dialog dan kerja sama antarumat beragama dan berbudaya.
2. Tasamuh (Toleransi)
Tasamuh berarti toleransi atau lapang dada. NU memegang teguh prinsip toleransi, baik antarumat Islam (intern umat beragama) maupun antarumat beragama (ekstern umat beragama). Toleransi dalam NU tidak berarti menyamakan semua agama atau mencampuradukkan akidah, melainkan menghormati hak setiap individu untuk meyakini dan menjalankan agamanya tanpa paksaan atau intimidasi.
- Saling Menghargai: NU mengajarkan untuk menghargai perbedaan pandangan dalam masalah keagamaan yang bersifat furu'iyah di kalangan Muslim, serta menghormati keyakinan dan praktik keagamaan penganut agama lain.
- Hidup Berdampingan: Toleransi mendorong terciptanya masyarakat yang harmonis, di mana setiap warga negara, apapun latar belakang agama atau etnisnya, dapat hidup berdampingan secara damai dan saling membantu untuk kebaikan bersama.
- Tidak Memaksakan Kehendak: NU tidak pernah memaksakan pandangan atau ajaran agamanya kepada pihak lain, sejalan dengan prinsip Al-Qur'an "Tidak ada paksaan dalam agama" (QS. Al-Baqarah: 256).
Prinsip tasamuh ini menjadi salah satu pilar kekuatan Indonesia sebagai negara majemuk. NU telah lama mempraktikkannya dalam berbagai bentuk, mulai dari dialog antariman hingga kerja sama sosial dengan berbagai elemen masyarakat tanpa memandang latar belakang agama.
3. Tawazun (Keseimbangan)
Tawazun berarti keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. NU berupaya untuk menyeimbangkan berbagai dimensi dalam Islam, baik dimensi individual maupun sosial, duniawi maupun ukhrawi, tekstual maupun kontekstual.
- Keseimbangan Hak dan Kewajiban: Seorang Muslim harus menyeimbangkan hak-haknya dengan kewajiban-kewajibannya, baik terhadap Allah, sesama manusia, maupun lingkungan.
- Keseimbangan Dunia dan Akhirat: NU menolak paham asketisme ekstrem yang meninggalkan dunia secara total, tetapi juga menolak materialisme yang melupakan akhirat. Keseimbangan antara bekerja keras untuk dunia dan beribadah untuk akhirat adalah kunci.
- Keseimbangan Tradisi dan Inovasi: NU menghormati tradisi (turats) dan warisan keilmuan ulama salaf, namun juga tidak menutup diri terhadap inovasi (ijtihad) yang membawa kemaslahatan dan kemajuan. Prinsip "Al-Muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah" (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik) adalah cerminan dari tawazun ini.
Tawazun memungkinkan NU untuk menjadi organisasi yang dinamis, relevan, dan adaptif tanpa kehilangan identitas keislaman yang otentik. Ini adalah kunci untuk menghadapi tantangan globalisasi dan modernisasi.
4. Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Menyeru Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran)
Amar Ma'ruf Nahi Munkar adalah kewajiban fundamental dalam Islam. NU menjalankan prinsip ini dengan pendekatan yang bijaksana (hikmah), mau'izhah hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah billati hiya ahsan (diskusi yang terbaik), bukan dengan kekerasan atau pemaksaan.
- Pendekatan Berbasis Hikmah: NU mengedepankan pendekatan dakwah yang persuasif, edukatif, dan simpatik, sesuai dengan konteks dan kondisi objek dakwah.
- Prioritas Kemaslahatan: Dalam melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, NU selalu mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih besar dan mencegah timbulnya kerusakan yang lebih parah.
- Melalui Jalur Hukum dan Konstitusi: Dalam konteks negara modern, amar ma'ruf nahi munkar juga dilakukan melalui jalur-jalur konstitusional dan hukum yang berlaku, seperti advokasi kebijakan publik atau edukasi masyarakat.
Prinsip ini menjaga moralitas masyarakat dan mendorong tegaknya keadilan, namun dengan cara-cara yang beradab dan sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin.
5. I'tikaf (Inovatif dan Progresif)
I'tikaf dalam konteks NU berarti memiliki semangat inovasi, kemajuan, dan keterbukaan terhadap perubahan positif. NU tidak jumud atau beku dalam tradisi, melainkan senantiasa berupaya mengembangkan diri dan merespons tantangan zaman dengan solusi-solusi yang Islami dan relevan.
- Pengembangan Pendidikan: NU terus mengembangkan sistem pendidikan pesantren dan madrasah, serta mendirikan universitas-universitas modern yang mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum.
- Inovasi Sosial dan Ekonomi: NU aktif dalam pengembangan ekonomi kerakyatan, koperasi, dan program-program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan umat.
- Adaptasi Teknologi: NU juga memanfaatkan teknologi informasi dan media sosial sebagai sarana dakwah dan penyebaran nilai-nilai Aswaja.
Dengan semangat i'tikaf, NU memastikan bahwa ajaran Aswaja tidak hanya lestari, tetapi juga berkembang dan memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan peradaban.
Islam Nusantara: Identitas dan Kontribusi Aswaja NU
Konsep Islam Nusantara adalah salah satu terminologi penting yang dipopulerkan oleh Nahdlatul Ulama untuk menggambarkan karakteristik Islam yang berkembang di kepulauan Nusantara. Ia bukan mazhab baru, melainkan sebuah epistemologi dan pendekatan dalam berislam yang menekankan pada kontekstualisasi ajaran Islam dengan budaya lokal, menghargai kearifan lokal, dan mempromosikan nilai-nilai moderasi serta toleransi. Islam Nusantara adalah cerminan dari manhaj Aswaja NU yang telah mengakar kuat selama berabad-abad di Indonesia.
Definisi dan Karakteristik Islam Nusantara
Islam Nusantara dapat dipahami sebagai Islam yang didekati, diadaptasi, dan diserap ke dalam realitas budaya Indonesia. Ia adalah Islam yang telah melalui proses akulturasi dan pribumisasi tanpa kehilangan substansi ajarannya. Beberapa karakteristik penting dari Islam Nusantara antara lain:
- Ramah Budaya: Islam Nusantara sangat menghargai budaya lokal dan menjadikannya sebagai media dakwah. Proses Islamisasi di Nusantara dilakukan secara damai melalui pendekatan budaya, bukan dengan kekerasan. Wali Songo adalah contoh nyata para ulama yang berhasil mengislamkan masyarakat Jawa dengan tetap melestarikan seni dan tradisi lokal.
- Moderat dan Toleran: Sejalan dengan prinsip Aswaja, Islam Nusantara sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi (tawassuth) dan toleransi (tasamuh). Ini adalah Islam yang terbuka, inklusif, dan mampu hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan, baik agama, suku, maupun ras.
- Nasionalis dan Kebangsaan: Islam Nusantara memiliki komitmen kuat terhadap negara bangsa (nation-state) dan ideologi Pancasila. Kiai-kiai NU adalah pelopor dalam merumuskan hubungan Islam dan negara di Indonesia, dengan kesimpulan bahwa Pancasila dan NKRI adalah bentuk final yang Islami.
- Berpegang pada Tradisi Keilmuan Klasik: Meskipun beradaptasi dengan budaya lokal, Islam Nusantara tetap kokoh berpegang pada tradisi keilmuan Islam klasik yang bersumber dari Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', Qiyas, serta pemikiran ulama-ulama Aswaja di bidang akidah (Asy'ariyah/Maturidiyah), fiqih (empat mazhab, terutama Syafi'i), dan tasawuf (Al-Ghazali/Al-Junaid).
- Mengedepankan Kemaslahatan Umum: Islam Nusantara selalu mengedepankan prinsip kemaslahatan umum (maslahah 'ammah) dalam setiap pengambilan kebijakan atau fatwa. Ini sejalan dengan tujuan syariat (maqashid syariah) untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Islam Nusantara Bukan Mazhab Baru
Penting untuk ditekankan bahwa Islam Nusantara bukanlah mazhab baru yang berdiri sendiri, apalagi bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Ia adalah sebuah pendekatan metodologis dalam memahami dan mengamalkan Islam, yang berangkat dari konteks sosiologis, antropologis, dan historis di Nusantara, dengan tetap berpegang pada kerangka Aswaja yang telah mapan. Ia adalah cara NU dan umat Islam Indonesia mewujudkan Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam) di bumi pertiwi.
Islam Nusantara menegaskan bahwa Islam adalah agama universal yang dapat tumbuh dan berkembang di mana saja, dengan tetap menghormati kekhasan lokal. Ia adalah antitesis terhadap upaya-upaya homogenisasi Islam yang seringkali menyingkirkan budaya lokal dan memaksakan satu corak Islam tertentu yang belum tentu sesuai dengan konteks Indonesia.
Simbol NU di atas peta nusantara, merepresentasikan Islam Nusantara.
Kontribusi Islam Nusantara melalui NU
Melalui konsep Islam Nusantara, NU telah memberikan kontribusi besar bagi Indonesia dan dunia:
- Menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa: Islam Nusantara menjadi perekat yang menyatukan beragam elemen bangsa Indonesia di bawah payung Pancasila, mencegah perpecahan atas nama agama.
- Benteng Anti-Radikalisme: Dengan moderasi dan toleransinya, Islam Nusantara menjadi garda terdepan dalam melawan ideologi radikal dan ekstremisme yang mengancam kedamaian.
- Pengembangan Budaya dan Kearifan Lokal: NU aktif melestarikan dan mengembangkan seni, tradisi, dan kearifan lokal yang Islami, memperkaya khazanah budaya bangsa.
- Diplomasi Islam Moderat: NU turut serta dalam mempromosikan Islam yang ramah, damai, dan toleran ke kancah internasional, menunjukkan wajah Islam yang sesungguhnya.
Islam Nusantara, sebagai representasi Aswaja NU yang khas, adalah warisan berharga yang terus relevan dan dibutuhkan di era global ini. Ia adalah jembatan antara identitas lokal dan nilai-nilai universal Islam, sekaligus menjadi model keberagamaan yang inspiratif bagi dunia.
Kontribusi Nahdlatul Ulama dalam Berbagai Bidang
Sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki rekam jejak panjang dan kontribusi yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Kontribusi ini tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan, tetapi juga merambah ke sektor pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, hingga politik dan kebangsaan. Semua gerak langkah NU didasari oleh semangat khidmat (pengabdian) kepada umat dan bangsa, serta berpijak pada manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah.
1. Bidang Pendidikan: Membangun Generasi Unggul
Pendidikan adalah salah satu pilar utama perjuangan NU sejak awal berdirinya. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan khas NU, telah menjadi tulang punggung dalam mencetak ulama, cendekiawan, dan pemimpin bangsa. Kontribusi NU di bidang pendidikan meliputi:
- Pesantren: NU adalah pelindung dan pengembang ribuan pesantren di seluruh Indonesia. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga membentuk karakter santri yang berakhlak mulia, mandiri, dan cinta tanah air. Kurikulum pesantren yang mengintegrasikan ilmu-ilmu klasik (kitab kuning) dengan ilmu modern menjadikan lulusannya memiliki wawasan yang luas.
- Madrasah dan Sekolah: Selain pesantren, NU juga memiliki jaringan madrasah (dari Ibtidaiyah hingga Aliyah) dan sekolah-sekolah umum. Institusi-institusi ini menyediakan pendidikan formal dengan sentuhan nilai-nilai keislaman Aswaja, menjangkau jutaan siswa dari berbagai lapisan masyarakat.
- Perguruan Tinggi: NU telah mendirikan puluhan universitas dan institut agama maupun umum di berbagai daerah, seperti UNU (Universitas Nahdlatul Ulama), UIN (Universitas Islam Negeri, yang banyak pendirinya adalah tokoh NU), dan lain-lain. Perguruan tinggi NU berkontribusi dalam riset, pengembangan ilmu pengetahuan, dan pencetakan SDM unggul.
- Pendidikan Non-Formal: NU juga aktif dalam pendidikan non-formal melalui majelis taklim, kursus-kursus keterampilan, dan pelatihan-pelatihan bagi masyarakat.
Melalui pendidikan, NU tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keislaman moderat, kebangsaan, dan kemandirian, yang esensial bagi pembangunan karakter bangsa.
2. Bidang Sosial dan Kesehatan: Pelayanan untuk Umat
Semangat khidmat NU juga sangat terasa dalam bidang sosial dan kesehatan. Dengan prinsip tolong-menolong dan kepedulian sosial, NU aktif dalam:
- Lembaga Sosial: NU memiliki lembaga-lembaga sosial seperti LAZISNU (Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah NU) yang mengelola dana zakat, infaq, dan sedekah untuk membantu kaum dhuafa, fakir miskin, yatim piatu, dan korban bencana.
- Pelayanan Kesehatan: NU mendirikan banyak rumah sakit, klinik, dan balai pengobatan di berbagai daerah melalui jaringan RSNU (Rumah Sakit Nahdlatul Ulama). Ini adalah wujud nyata kepedulian NU terhadap kesehatan masyarakat, terutama bagi mereka yang kurang mampu.
- Penanggulangan Bencana: Melalui badan otonom seperti LPBI NU (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim NU), NU aktif dalam upaya mitigasi, respons darurat, dan rehabilitasi pasca-bencana.
- Pemberdayaan Perempuan dan Anak: Melalui Fatayat NU dan Muslimat NU, organisasi-organisasi perempuan NU aktif dalam program pemberdayaan perempuan, pendidikan anak, penanganan isu kekerasan dalam rumah tangga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga.
Kontribusi sosial NU menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan sesama manusia dan lingkungan.
3. Bidang Ekonomi: Menguatkan Kemandirian Umat
Meskipun sering dikenal dengan pesantren dan masjidnya, NU juga memiliki kepedulian besar terhadap kemandirian ekonomi umat. Beberapa upaya NU di bidang ekonomi meliputi:
- Pengembangan Koperasi: NU mendorong pembentukan dan pengembangan koperasi sebagai salah satu pilar ekonomi kerakyatan, yang berbasis pada prinsip kebersamaan dan keadilan.
- UMKM: Melalui lembaga-lembaga ekonomi, NU memberikan pendampingan dan pelatihan bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk meningkatkan daya saing dan kesejahteraan mereka.
- Bank Mikro dan BMT: NU mendukung inisiatif keuangan syariah seperti Bank Mikro dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) untuk memberikan akses permodalan bagi usaha-usaha kecil dan menengah, serta mendorong praktik ekonomi yang adil dan transparan.
- Jaringan Ekonomi Pesantren: Banyak pesantren NU yang mengembangkan unit usaha mandiri, mulai dari pertanian, peternakan, hingga industri kecil, yang tidak hanya menjadi sumber pendapatan tetapi juga media pendidikan kewirausahaan bagi santri.
Upaya-upaya ini menunjukkan komitmen NU dalam mewujudkan keadilan ekonomi dan meningkatkan taraf hidup umat melalui jalur yang halal dan berkah.
4. Bidang Politik dan Kebangsaan: Menjaga Pilar Negara
Peran NU dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara sangatlah fundamental. Sejak awal kemerdekaan, NU selalu berada di garis depan dalam mempertahankan Pancasila dan NKRI.
- Resolusi Jihad: Pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan Resolusi Jihad, menyerukan kepada umat Islam untuk melawan penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia. Ini adalah salah satu momen paling heroik yang menunjukkan komitmen NU terhadap kemerdekaan.
- Penerimaan Pancasila: NU adalah salah satu organisasi Islam pertama yang secara tegas menerima Pancasila sebagai dasar negara pada tahun 1984. NU merumuskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan sejalan dengan nilai-nilai Islam.
- Hubbul Wathan Minal Iman: Slogan "Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman" yang dipopulerkan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari menjadi semangat yang mengikat umat NU untuk mencintai dan membela negara.
- Kontribusi dalam Perumusan Konstitusi: Tokoh-tokoh NU, seperti KH. Wahid Hasyim, memiliki peran penting dalam perumusan dasar negara dan UUD 1945.
- Peran dalam Demokrasi: NU senantiasa mendukung proses demokrasi di Indonesia dan mendorong partisipasi aktif warganya dalam pembangunan politik yang bersih dan berintegritas.
NU tidak hanya berdakwah dari mimbar, tetapi juga berjuang di ranah politik dan kebangsaan untuk memastikan Indonesia tetap menjadi negara yang adil, makmur, dan berdaulat.
Secara keseluruhan, kontribusi NU mencerminkan komitmen terhadap Islam yang holistik, di mana ibadah tidak terpisah dari urusan sosial, ekonomi, dan politik. Ini adalah Islam yang tidak hanya mementingkan keselamatan individu, tetapi juga kemaslahatan umat dan bangsa secara keseluruhan.
Ilustrasi warisan keilmuan Islam klasik.
Tantangan dan Harapan Masa Depan Aswaja NU
Meskipun telah memberikan kontribusi besar dan mengakar kuat di Indonesia, Aswaja NU tidak terlepas dari berbagai tantangan di era kontemporer. Tantangan-tantangan ini menuntut NU untuk terus beradaptasi, berinovasi, dan memperkuat basisnya agar tetap relevan dan mampu membimbing umat di masa depan. Di sisi lain, ada harapan besar bagi NU untuk terus menjadi mercusuar Islam moderat di dunia.
Tantangan Kontemporer
- Arus Ideologi Transnasional: Globalisasi informasi telah mempermudah masuknya berbagai ideologi keagamaan dari luar, baik yang radikal (literalistik, puritan, anti-tradisi) maupun yang liberal (sekuler, relativis). Ideologi-ideologi ini seringkali bertentangan dengan manhaj Aswaja dan dapat mengikis tradisi keislaman yang telah mapan di Nusantara.
- Literasi Keagamaan Digital: Generasi muda saat ini sangat akrab dengan media sosial dan informasi digital. Tantangannya adalah bagaimana NU dapat menyampaikan ajaran Aswaja secara efektif dan menarik di platform-platform digital, melawan narasi-narasi ekstrem atau dangkal yang seringkali mendominasi ruang online.
- Masalah Kesenjangan Ekonomi dan Sosial: Meskipun NU memiliki program ekonomi, kesenjangan ekonomi dan sosial di Indonesia masih menjadi masalah. NU diharapkan dapat lebih masif dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan umat, terutama di pedesaan.
- Regenerasi Ulama dan Kader: Proses regenerasi ulama dan kader yang mumpuni, yang memiliki kedalaman ilmu agama (kitab kuning) dan wawasan modern, adalah krusial. Tanpa regenerasi yang kuat, estafet kepemimpinan dan transmisi ilmu bisa terhambat.
- Perubahan Sosial dan Moral: Modernisasi dan globalisasi membawa perubahan sosial dan moral yang cepat. NU dihadapkan pada tugas untuk memberikan panduan etis dan spiritual bagi umat dalam menghadapi isu-isu baru seperti etika digital, bioteknologi, atau tantangan moral lainnya, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai Aswaja.
- Ekologi dan Perubahan Iklim: Isu lingkungan dan perubahan iklim global menjadi tantangan serius. NU, dengan ajaran Islam yang mengedepankan keseimbangan alam, diharapkan dapat berperan lebih aktif dalam mengampanyekan kesadaran lingkungan dan praktik-praktik berkelanjutan.
Harapan Masa Depan
Di balik tantangan, ada harapan besar bagi Aswaja NU untuk terus menjadi kekuatan positif di Indonesia dan dunia:
- Pusat Kajian Islam Moderat Dunia: Dengan kekayaan tradisi keilmuan dan pengalaman praktis dalam menjaga harmoni di tengah keberagaman, NU memiliki potensi untuk menjadi rujukan global bagi studi dan praktik Islam moderat.
- Motor Penggerak Pembangunan Karakter Bangsa: Melalui jaringan pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi, NU diharapkan terus menjadi motor utama dalam membangun karakter bangsa yang religius, nasionalis, dan berakhlak mulia.
- Pionir Resolusi Konflik: Dengan prinsip tawassuth dan tasamuh, NU dapat menjadi pionir dalam mediasi dan resolusi konflik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, menyebarkan pesan perdamaian dan keadilan.
- Penguatan Ekonomi Umat: Harapan besar terletak pada pengembangan ekonomi umat berbasis pesantren dan UMKM yang lebih masif, untuk menciptakan kemandirian dan keadilan ekonomi yang lebih merata.
- Dakwah Digital yang Efektif: NU diharapkan mampu mengembangkan strategi dakwah digital yang inovatif dan relevan, menjangkau generasi milenial dan Gen Z, serta memberikan narasi Islam yang sejuk di ruang siber.
- Penjaga Pluralisme dan Kebinekaan: Di tengah gelombang intoleransi yang kadang muncul, NU diharapkan tetap menjadi benteng terakhir penjaga pluralisme dan kebinekaan Indonesia, memastikan bahwa semua elemen bangsa dapat hidup berdampingan dengan damai.
Aswaja NU adalah warisan berharga yang relevansinya tidak pernah lekang oleh waktu. Dengan semangat keikhlasan, pengabdian, dan keberanian untuk beradaptasi, NU akan terus berkhidmat untuk agama, bangsa, dan kemanusiaan, mewujudkan Islam yang rahmatan lil 'alamin di bumi Nusantara dan seluruh dunia.