Simbol kesederhanaan namun vital bagi kehidupan akuatik.
Dalam dunia akuakultur, keberhasilan budidaya ikan, udang, atau krustasea lainnya sangat bergantung pada kualitas pakan yang diberikan. Salah satu komponen pakan alami yang paling populer dan vital adalah artemia atau yang sering disamakan dengan kutu air. Meskipun namanya terdengar sederhana, perannya dalam tahap awal kehidupan biota air sangatlah krusial. Artemia, dengan nama ilmiah Artemia salina, adalah udang renik yang dikenal luas sebagai "food of champions" di dunia perikanan dan akuarium.
Artemia adalah anggota filum Arthropoda, kelas Crustacea, dan ordo Anostraca. Hewan ini umumnya ditemukan di habitat air payau hingga air asin dengan salinitas tinggi yang biasanya tidak dapat dihuni oleh predator alami. Siklus hidup artemia sangat menarik, dimulai dari telur yang dorman (disebut kista) yang dapat bertahan dalam kondisi ekstrem selama bertahun-tahun. Ketika kista terpapar pada kondisi lingkungan yang sesuai – seperti air dengan salinitas tertentu, suhu yang optimal, dan oksigen terlarut – mereka akan menetas menjadi nauplius (larva), yang merupakan bentuk awal artemia.
Nauplius artemia adalah sumber nutrisi yang luar biasa. Mereka kaya akan protein, asam lemak esensial (terutama EPA dan DHA), vitamin, dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh larva ikan dan udang untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Ukuran nauplius yang kecil juga sangat sesuai dengan bukaan mulut larva ikan dan udang yang baru menetas, menjadikannya pakan hidup yang ideal.
Nauplius Artemia, pakan hidup pilihan untuk larva ikan dan udang.
Seringkali, masyarakat awam menyamakan artemia dengan kutu air. Namun, dalam konteks akuakultur, kedua organisme ini memiliki perbedaan yang signifikan, meskipun keduanya termasuk dalam kategori pakan hidup.
Jadi, meskipun keduanya sering disebut "kutu air" dalam percakapan sehari-hari, artemia adalah spesies yang berbeda dengan habitat dan peran yang sedikit berbeda pula dalam rantai pakan akuakultur.
Pemanfaatan artemia dalam budidaya ikan dan udang menawarkan berbagai keuntungan:
Budidaya artemia secara komersial biasanya dilakukan dengan mengeringkan telur-telurnya menjadi kista. Kista ini kemudian dijual ke pembudidaya. Untuk menetas, kista artemia membutuhkan medium air dengan salinitas yang cukup tinggi (sekitar 1.015-1.025 g/mL atau 25-35 ppt), suhu optimal antara 25-30°C, pH sekitar 8-8.5, dan aerasi yang cukup. Proses penetasan biasanya memakan waktu 18-30 jam tergantung pada suhu dan kualitas kista.
Setelah menetas, nauplius yang dihasilkan siap untuk diberikan kepada larva ikan atau udang. Sisa-sisa cangkang kista dan artemia yang tidak termakan biasanya dapat dipisahkan menggunakan penyaringan atau gravitasi. Kualitas air selama pengetetan sangat penting untuk memastikan hasil tetasan yang optimal dan meminimalkan kontaminasi.
Kista artemia yang dikeringkan, siap untuk ditetaskan.
Artemia, atau yang sering disalahartikan sebagai kutu air, adalah komponen tak tergantikan dalam rantai pasokan pakan akuakultur modern. Nilai gizinya yang tinggi, kemudahan pengetetan, dan ukurannya yang pas untuk larva menjadikan artemia sebagai kunci keberhasilan dalam budidaya berbagai jenis ikan dan udang komersial. Memahami peran dan cara budidaya artemia akan memberikan keuntungan kompetitif bagi para pelaku industri perikanan.