Novel "Siti Nurbaya" karya Marah Rusli merupakan salah satu karya sastra Indonesia yang paling legendaris. Kisahnya yang pilu tentang cinta terhalang antara Siti Nurbaya dan Samsul Bahri, serta konflik antara adat dan modernitas, telah memukau pembaca lintas generasi. Memahami alur cerita novel ini memberikan wawasan mendalam tentang perjuangan individu dalam menghadapi tekanan sosial dan ekonomi pada masanya.
Cerita berawal di Padang, Sumatera Barat, di mana Siti Nurbaya, seorang gadis cantik dan berpendidikan dari keluarga terpandang, tumbuh bersama sahabat masa kecilnya, Samsul Bahri. Ayah Siti, Datok Meringgih, adalah seorang saudagar kaya namun memiliki sifat tamak dan seringkali melakukan kecurangan dalam bisnisnya. Di sisi lain, ayah Samsul Bahri adalah seorang bangsawan yang dihormati.
Hubungan Siti dan Samsul berkembang menjadi cinta yang mendalam. Mereka saling mencintai dan bercita-cita untuk membangun rumah tangga bersama. Namun, kebahagiaan mereka mulai terusik oleh masalah keuangan yang melanda ayah Samsul Bahri. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Datok Meringgih untuk keuntungan pribadinya.
Suatu ketika, Datok Meringgih menjebak ayah Samsul Bahri dalam sebuah urusan utang piutang yang rumit. Dengan liciknya, Datok Meringgih sengaja membuat ayah Samsul Bahri terjerat utang dalam jumlah besar. Karena tidak mampu membayar, ayah Samsul Bahri berada dalam posisi terdesak. Di sinilah Datok Meringgih mengajukan syarat yang mengerikan: ia akan menghapus utang tersebut asalkan Siti Nurbaya dinikahkan dengan anak saudagar kaya lainnya yang bernama Datuk Maringgih. Pilihan ini sungguh brutal, karena pernikahan tersebut akan memisahkan Siti dari cinta sejatinya, Samsul Bahri, dan memaksanya menjadi istri dari pria yang sama sekali tidak ia cintai, demi menyelamatkan kehormatan dan ekonomi keluarganya.
Meskipun hati Siti hancur dan ia menolak keras, tekanan dari keluarga dan masyarakat, serta keputusasaan ayahnya, memaksanya untuk menerima takdir yang pahit. Samsul Bahri, yang mengetahui rencana pernikahan ini, sangat terpukul. Ia merasa tidak berdaya menyaksikan cintanya direnggut oleh keserakahan dan intrik.
Siti Nurbaya akhirnya dinikahkan dengan Datuk Maringgih. Kehidupan pernikahannya sangat tidak bahagia. Ia diperlakukan dengan buruk oleh suaminya dan tidak mendapatkan kebahagiaan yang ia dambakan. Sementara itu, Samsul Bahri, yang tidak dapat melupakan Siti, memutuskan untuk pergi merantau ke Betawi (Jakarta) untuk mencari penghidupan baru dan melupakan kesedihannya. Di Betawi, ia bekerja keras dan bertekad untuk menjadi orang yang sukses agar kelak dapat kembali dan merebut kembali Siti.
Selama di Betawi, Samsul Bahri bertemu dengan berbagai macam orang dan mengalami berbagai cobaan. Ia juga bertemu dengan Cornelis, seorang Belanda yang baik hati, yang memberinya kesempatan untuk mengembangkan diri. Perjuangan Samsul Bahri di perantauan adalah simbol dari upaya generasi muda untuk melepaskan diri dari belenggu tradisi yang mengekang dan mencari jati diri serta kemandirian.
Suatu ketika, Samsul Bahri berhasil mencapai kesuksesan dan kembali ke Padang dengan niat untuk menemui Siti. Namun, nasib berkata lain. Ketika ia sampai di Padang, ia mengetahui bahwa Siti Nurbaya telah jatuh sakit parah akibat penderitaan dan perlakuan buruk dari Datuk Maringgih. Di saat-saat terakhirnya, Siti dan Samsul Bahri sempat bertemu, namun pertemuan itu hanya menambah kepedihan.
Dalam sebuah adegan yang sangat mengharukan dan tragis, Siti Nurbaya menghembuskan napas terakhirnya di pelukan Samsul Bahri. Kematian Siti menjadi puncak dari penderitaan yang ia alami. Tragedi ini bukan hanya kematian seorang gadis, tetapi juga simbol kematian harapan dan kehancuran cinta akibat kekuatan yang menindas.
Setelah kematian Siti, Samsul Bahri yang diliputi duka mendalam, tidak tinggal diam. Didorong oleh rasa cinta dan kehilangan yang mendalam, serta didukung oleh ayahnya dan beberapa tokoh masyarakat yang muak dengan kelicikan Datok Meringgih, Samsul Bahri memutuskan untuk menuntut keadilan. Ia melaporkan segala perbuatan buruk Datok Meringgih kepada pihak berwajib.
Melalui proses hukum, Datok Meringgih akhirnya dijatuhi hukuman. Meskipun keadilan terwujud, hal itu tidak dapat mengembalikan Siti Nurbaya. Akhir cerita ini memberikan pesan kuat tentang pentingnya keadilan, namun juga mengingatkan bahwa tidak semua kerugian dapat diperbaiki, terutama ketika menyangkut hilangnya nyawa dan kehancuran hati.
"Siti Nurbaya" tetap relevan hingga kini karena mengangkat tema universal tentang cinta, pengorbanan, perjuangan melawan ketidakadilan, dan dampak negatif dari tradisi yang kaku serta keserakahan manusia. Novel ini terus menjadi pengingat pentingnya keberanian untuk bersuara dan memperjuangkan hak-hak individu di tengah tekanan sosial.