Ahlussunnah wal Jama'ah (sering disingkat Aswaja) adalah sebuah terminologi yang merujuk pada mayoritas umat Islam di seluruh dunia, yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabi Muhammad ﷺ, serta memahami dan mengamalkannya sesuai dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan ulama salafus shalih. Konsep Aswaja bukanlah sebuah madzhab baru, melainkan sebuah manhaj (metodologi) beragama yang mengedepankan prinsip moderasi (tawassuth), toleransi (tasamuh), keseimbangan (tawazun), dan keadilan (i'tidal) dalam berislam.
Artikel ini akan menguraikan secara komprehensif tentang ajaran Aswaja, mulai dari landasan dasar, pilar-pilar akidah, syariah, dan akhlak, hingga metodologi khasnya, serta relevansinya di tengah tantangan zaman modern. Pemahaman yang mendalam tentang Aswaja diharapkan dapat membimbing umat Islam untuk menjalani kehidupan beragama yang seimbang, harmonis, dan membawa kemaslahatan bagi seluruh alam.
Ilustrasi timbangan yang seimbang, melambangkan prinsip tawazun (keseimbangan) dalam ajaran Aswaja, khususnya antara Akidah dan Syariah.
I. Pengertian dan Sejarah Singkat Ahlussunnah wal Jama'ah
A. Pengertian Terminologis Aswaja
Secara bahasa, Ahlussunnah wal Jama'ah terdiri dari tiga kata: "Ahl" berarti keluarga, golongan, atau penganut; "As-Sunnah" berarti segala sesuatu yang diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi'il), maupun ketetapan (taqrir), termasuk juga sunnah para Khulafaur Rasyidin; dan "Al-Jama'ah" berarti mayoritas umat Islam yang bersatu di atas kebenaran, mengikuti jejak para sahabat Nabi, atau umat Islam yang bersatu di bawah kepemimpinan yang sah.
Dengan demikian, Ahlussunnah wal Jama'ah dapat diartikan sebagai golongan umat Islam yang senantiasa mengikuti sunnah Nabi Muhammad ﷺ dan jejak para sahabatnya, serta berpegang teguh pada persatuan umat.
B. Latar Belakang Kemunculan dan Perkembangan
Konsep Aswaja mulai mengkristal sebagai sebuah identitas yang lebih jelas setelah periode sahabat dan tabi'in, khususnya ketika terjadi perpecahan dan perselisihan di kalangan umat Islam. Perselisihan ini meliputi berbagai isu, mulai dari masalah kepemimpinan (khilafah), status pelaku dosa besar, hingga masalah-masalah teologis tentang sifat-sifat Allah dan kebebasan kehendak manusia.
Pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, muncul berbagai aliran seperti Khawarij, Syi'ah, Murji'ah, Qadariyah, Jabariyah, dan Mu'tazilah. Masing-masing aliran memiliki pandangan yang berbeda dan seringkali ekstrem. Aswaja muncul sebagai jalan tengah yang berupaya menjaga kemurnian ajaran Islam dari ekstremisme dan penyimpangan. Ulama-ulama seperti Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi menjadi pelopor dalam merumuskan akidah Aswaja secara sistematis untuk membantah paham-paham yang menyimpang tersebut.
Dalam bidang fiqih (hukum Islam), Aswaja berpegang pada empat madzhab besar: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sedangkan dalam bidang akhlak dan tasawuf, Aswaja mengikuti jalur para sufi yang mu'tabar (diakui) yang selaras dengan syariat, seperti Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali.
II. Pilar-Pilar Utama Ajaran Aswaja
A. Akidah (Keyakinan)
Akidah Aswaja berpegang teguh pada prinsip-prinsip keimanan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta dirumuskan secara sistematis oleh para ulama kalam dari madzhab Asy'ariyah dan Maturidiyah.
1. Madzhab Akidah: Asy'ariyah dan Maturidiyah
- Asy'ariyah: Dinamakan dari pendirinya, Abul Hasan Al-Asy'ari (w. 324 H/935 M). Beliau awalnya adalah seorang Mu'tazili, kemudian beralih dan mengembangkan teologi yang menengahi antara rasionalisme Mu'tazilah dan literalisme ekstrem. Asy'ariyah menegaskan bahwa Allah bersifat unik, tidak serupa dengan makhluk. Sifat-sifat Allah itu ada dan qadim (kekal) serta tidak sama dengan sifat makhluk. Mereka juga menekankan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki kasb (upaya) untuk memilih.
- Maturidiyah: Dinamakan dari pendirinya, Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333 H/944 M). Madzhab ini memiliki banyak kesamaan dengan Asy'ariyah, tetapi dengan beberapa perbedaan nuansa. Maturidiyah lebih memberikan porsi kepada akal dalam memahami kebenaran, meskipun tetap menempatkan wahyu di atas segalanya. Dalam masalah kehendak manusia, Maturidiyah berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas (ikhtiyar) yang sesungguhnya dan dapat menjadi penentu dalam perbuatan, meskipun tetap dalam cakupan kekuasaan Allah. Maturidiyah lebih dominan di wilayah Asia Tengah, anak benua India, dan Turki, sementara Asy'ariyah lebih tersebar luas di dunia Arab, Afrika Utara, dan Asia Tenggara.
Kedua madzhab ini dianggap sebagai representasi akidah Ahlussunnah wal Jama'ah karena pandangan mereka yang moderat, menjauhi antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan penolakan sifat-sifat Allah, serta menjaga keseimbangan antara takdir dan ikhtiar manusia. Keduanya sepakat dalam prinsip-prinsip dasar seperti keesaan Allah (tauhid), kenabian, hari akhir, dan takdir.
2. Pokok-Pokok Keimanan (Rukun Iman)
Aswaja meyakini enam rukun iman secara mutlak:
- Iman kepada Allah: Meyakini keesaan Allah, bahwa Dia adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemberi Rezeki. Meyakini sifat-sifat-Nya yang sempurna (wajib bagi Allah) dan mensucikan-Nya dari sifat-sifat kekurangan (mustahil bagi Allah), serta mustahil menyerupai makhluk-Nya (jaiz bagi Allah).
- Iman kepada Malaikat: Meyakini keberadaan malaikat sebagai makhluk Allah yang diciptakan dari cahaya, senantiasa taat, dan tidak pernah bermaksiat kepada-Nya.
- Iman kepada Kitab-kitab Allah: Meyakini semua kitab suci yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul, seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur'an, dengan keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah kitab terakhir yang membenarkan dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya.
- Iman kepada Rasul-rasul Allah: Meyakini semua nabi dan rasul yang diutus Allah untuk membimbing umat manusia, dengan Nabi Muhammad ﷺ sebagai penutup para nabi dan rasul.
- Iman kepada Hari Akhir: Meyakini adanya kehidupan setelah kematian, hari kebangkitan, hari perhitungan (hisab), surga, dan neraka.
- Iman kepada Qada dan Qadar: Meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, baik kebaikan maupun keburukan, telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam ilmu-Nya yang azali, namun manusia tetap diberi ikhtiar (pilihan) dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
B. Syariah (Hukum Islam)
Dalam bidang syariah, Aswaja merujuk pada empat madzhab fiqih yang muktabar (diakui kredibilitasnya), yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Keempat madzhab ini memiliki metodologi (manhaj) penggalian hukum yang sistematis dari sumber-sumber syariat.
1. Madzhab Fiqih Empat
- Madzhab Hanafi: Didirikan oleh Imam Abu Hanifah An-Nu'man (w. 150 H). Madzhab ini berkembang pesat di Irak, Asia Tengah, dan sebagian besar wilayah Kekaisaran Ottoman. Ciri khasnya adalah penggunaan ra'yu (penalaran akal), istihsan (preferensi hukum), dan qiyas (analogi) secara luas, serta membatasi penggunaan hadits ahad (hadits tunggal) jika bertentangan dengan qiyas yang kuat.
- Madzhab Maliki: Didirikan oleh Imam Malik bin Anas (w. 179 H). Madzhab ini dominan di Hijaz (Madinah) dan kemudian menyebar ke Afrika Utara dan Andalusia (Spanyol Islam). Ciri khasnya adalah sangat berpegang pada amalan penduduk Madinah (amal ahlul Madinah) sebagai salah satu sumber hukum, selain Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma'.
- Madzhab Syafi'i: Didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i (w. 204 H). Madzhab ini adalah sintesis antara pendekatan rasional Hanafi dan pendekatan tradisional Maliki. Imam Syafi'i menyusun kaidah ushul fiqih secara sistematis dalam kitabnya "Ar-Risalah". Madzhab ini sangat dominan di Mesir, Yaman, Asia Tenggara (termasuk Indonesia dan Malaysia), dan sebagian Levant.
- Madzhab Hanbali: Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H). Madzhab ini sangat konservatif dan sangat mengutamakan nash (teks Al-Qur'an dan Hadits). Mereka membatasi penggunaan ra'yu dan ijma' hanya pada kasus-kasus tertentu yang sangat jelas. Madzhab ini dominan di Semenanjung Arab.
Aswaja tidak mewajibkan taklid buta pada satu madzhab, namun menganjurkan umat untuk mengikuti salah satu madzhab tersebut karena kemurnian sanad ilmunya dan kelengkapan metodologinya. Bagi orang awam, taklid kepada ulama yang kompeten dalam salah satu madzhab adalah hal yang dibolehkan dan bahkan dianjurkan. Bagi para ulama dan mujtahid, ijtihad diperbolehkan dengan tetap menghormati perbedaan pendapat di antara madzhab.
2. Prinsip Takhayyur dan Talqif
Dalam konteks Aswaja, terdapat prinsip takhayyur dan talfiq yang diakui dengan batasan-batasan syar'i:
- Takhayyur: Memilih pendapat dari madzhab lain yang dianggap lebih kuat dalilnya atau lebih sesuai dengan kondisi tertentu, tanpa menafikan madzhab yang biasa diikuti. Ini dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan untuk membandingkan dalil atau dengan bimbingan ulama.
- Talfiq: Menggabungkan beberapa madzhab dalam satu perbuatan ibadah atau muamalah. Meskipun secara umum dihindari karena dapat menyebabkan inkonsistensi, dalam kondisi darurat atau hajat yang mendesak, talfiq diperbolehkan dengan syarat tidak bertujuan mencari-cari kemudahan semata dan tidak mengantarkan pada hasil hukum yang jelas-jelas batil menurut semua madzhab.
C. Akhlak dan Tasawuf (Etika dan Spiritualisme)
Dalam bidang akhlak dan tasawuf, Aswaja menekankan pentingnya penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan pembentukan karakter mulia (akhlakul karimah) yang sesuai dengan teladan Nabi Muhammad ﷺ. Tasawuf dalam Aswaja adalah tasawuf yang moderat, yang tidak memisahkan diri dari syariat.
1. Tasawuf dalam Perspektif Aswaja
Tasawuf Aswaja adalah tasawuf yang Sunni, yang sanad keilmuannya tersambung kepada para sufi salafus shalih seperti Imam Junaid Al-Baghdadi, Imam Al-Qusyairi, dan Imam Al-Ghazali. Ini bukan tasawuf filosofis yang cenderung spekulatif dan kadang bertentangan dengan syariat, melainkan tasawuf amali yang berfokus pada:
- Zuhud: Tidak bergantung pada dunia, tetapi bukan berarti meninggalkan dunia. Dunia di tangan, bukan di hati.
- Wara': Sangat hati-hati dalam menjaga diri dari hal-hal syubhat (tidak jelas halal haramnya).
- Ikhlas: Melakukan segala ibadah dan perbuatan hanya karena Allah semata.
- Tawakkal: Berserah diri sepenuhnya kepada Allah setelah berusaha seoptimal mungkin.
- Mahabbah: Cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tasawuf Aswaja juga mengajarkan pentingnya dzikir, muraqabah (merasa diawasi Allah), muhasabah (introspeksi diri), dan riyadhah (latihan spiritual) untuk mengendalikan hawa nafsu dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tujuan akhirnya adalah mencapai maqam ihsan, yaitu beribadah seolah-olah melihat Allah, atau setidaknya menyadari bahwa Allah melihat kita.
2. Akhlakul Karimah dan Akhlakul Mazmumah
Aswaja sangat menekankan pentingnya akhlakul karimah (akhlak terpuji) sebagai buah dari akidah yang benar dan syariah yang diamalkan. Akhlak terpuji meliputi:
- Sabar: Ketabahan dalam menghadapi ujian dan ketaatan.
- Syukur: Berterima kasih atas nikmat Allah.
- Jujur (Siddiq): Berkata benar dan menepati janji.
- Amanah: Dapat dipercaya dan menunaikan tanggung jawab.
- Tawadhu': Rendah hati dan tidak sombong.
- Qana'ah: Merasa cukup dengan rezeki yang diberikan Allah.
- Kasih Sayang (Rahmah): Berbelas kasih kepada sesama makhluk.
- Ukhuwah Islamiyah: Menjaga persaudaraan sesama Muslim.
- Husnul Khuluq: Berperilaku baik kepada semua orang, tanpa memandang agama atau latar belakang.
Sebaliknya, Aswaja memperingatkan dari akhlakul mazmumah (akhlak tercela) seperti sombong, dengki, riya', ujub, kikir, bohong, fitnah, dan ghibah, karena semua itu dapat merusak keimanan dan menjauhkan seseorang dari Allah.
Tiga pilar utama dalam ajaran Islam yang dipegang teguh oleh Aswaja: Akidah, Syariah, dan Akhlak.
III. Manhaj (Metodologi) Aswaja
Manhaj Aswaja adalah ciri khas yang membedakannya dari aliran atau kelompok lain dalam Islam. Ini adalah pendekatan holistik dalam memahami dan mengamalkan agama yang mengedepankan prinsip-prinsip moderasi dan kemaslahatan umat.
A. Tawassuth (Moderasi/Jalan Tengah)
Tawassuth berarti mengambil jalan tengah, tidak ekstrem kanan maupun ekstrem kiri, tidak berlebihan (ifrath) dan tidak pula meremehkan (tafrith). Dalam praktik beragama, tawassuth berarti menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan tekstualitas, antara duniawi dan ukhrawi, serta antara hak individu dan hak masyarakat. Aswaja menghindari pandangan yang terlalu liberal hingga mengabaikan nash, dan juga menghindari pandangan yang terlalu literalis hingga mengabaikan konteks dan tujuan syariat (maqashid syariah).
Contoh tawassuth: Aswaja tidak mengkafirkan sesama Muslim yang berbeda pandangan dalam masalah furu' (cabang), tidak berlebihan dalam ibadah hingga mengabaikan hak diri dan keluarga, dan tidak pula meremehkan syariat. Ia berusaha menempatkan sesuatu pada tempatnya secara adil dan proporsional.
B. Tasamuh (Toleransi)
Tasamuh adalah sikap menghargai perbedaan, baik di antara sesama Muslim maupun dengan pemeluk agama lain. Dalam internal umat Islam, tasamuh berarti mengakui adanya perbedaan pandangan (khilafiyah) dalam masalah-masalah fiqih atau interpretasi yang bersifat ijtihadiyah, tanpa saling menyalahkan atau mengkafirkan. Aswaja memahami bahwa perbedaan adalah rahmat yang memperkaya khazanah keilmuan Islam.
Terhadap non-Muslim, tasamuh berarti hidup berdampingan secara damai, menghargai keyakinan dan praktik ibadah mereka, serta tidak memaksakan agama. Aswaja menekankan pentingnya menjaga hubungan baik (hablum minannas) dengan seluruh manusia, sepanjang mereka tidak memusuhi Islam. Prinsip "bagimu agamamu, bagiku agamaku" (QS. Al-Kafirun: 6) menjadi dasar toleransi dalam interaksi sosial.
C. Tawazun (Keseimbangan)
Tawazun adalah sikap seimbang dalam segala aspek kehidupan. Ini mencakup keseimbangan antara akal dan wahyu, jasmani dan rohani, hak dan kewajiban, individu dan sosial, serta dunia dan akhirat. Aswaja tidak hanya fokus pada ritual ibadah saja, melainkan juga memperhatikan aspek muamalah (hubungan antar manusia) dan pembangunan masyarakat.
Misalnya, dalam hal ijtihad, tawazun berarti menyeimbangkan antara penggunaan nash dan akal sehat, antara taqlid (mengikuti) dan ijtihad (mencari solusi baru). Dalam kehidupan sehari-hari, tawazun berarti tidak mengabaikan pekerjaan duniawi demi ibadah semata, dan tidak pula terlalu terlena dengan duniawi hingga melupakan akhirat. Keduanya harus berjalan seiring dan saling melengkapi.
D. I'tidal (Keadilan/Tegak Lurus)
I'tidal berarti lurus dan adil dalam segala hal. Ini adalah sikap yang teguh dalam kebenaran dan keadilan, tidak berat sebelah atau memihak tanpa dasar. Dalam mengambil keputusan atau menilai suatu masalah, Aswaja senantiasa berpegang pada prinsip kebenaran dan keadilan yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, tanpa dipengaruhi oleh hawa nafsu atau kepentingan pribadi/golongan.
Keadilan ini berlaku tidak hanya dalam hubungan antar manusia, tetapi juga dalam hubungan manusia dengan Allah (adil dalam menunaikan hak-hak Allah) dan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri (adil dalam memenuhi hak-hak tubuh dan jiwa). Menegakkan keadilan adalah perintah ilahi yang fundamental dalam Islam.
E. Amar Ma'ruf Nahi Munkar (Menyeru Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran)
Prinsip ini adalah salah satu sendi utama dalam Islam dan Aswaja. Namun, Aswaja mengajarkan pelaksanaannya dengan hikmah (kebijaksanaan), mau'izhah hasanah (nasihat yang baik), dan mujadalah billati hiya ahsan (berdialog dengan cara yang paling baik). Perubahan kemungkaran tidak dilakukan dengan kekerasan, pemaksaan, atau menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Urutan pelaksanaannya adalah dengan tangan (kekuasaan, bagi yang berwenang), lisan (dakwah dan nasihat), dan hati (membenci kemungkaran). Mengubah kemungkaran dengan tangan oleh individu yang tidak memiliki wewenang dapat menimbulkan fitnah dan kekacauan, yang justru bertentangan dengan tujuan syariat.
F. Menjaga Persatuan Umat dan Menghormati Ulama
Aswaja sangat menekankan pentingnya menjaga persatuan umat Islam (ukhuwah Islamiyah) dan menghindari perpecahan. Perselisihan dalam masalah furu' tidak boleh menjadi alasan untuk saling membenci, mengkafirkan, apalagi berperang.
Selain itu, Aswaja juga mengajarkan untuk menghormati dan memuliakan ulama yang memiliki sanad keilmuan yang jelas dan akhlak yang mulia. Ulama dianggap sebagai pewaris para nabi yang menjaga dan menyampaikan ilmu agama. Mengikuti bimbingan ulama adalah salah satu cara untuk menjaga keotentikan ajaran Islam dan menghindari kesesatan.
Ilustrasi jalan lurus yang melambangkan metodologi (manhaj) Aswaja dengan pilar-pilar Tawassuth, Tasamuh, Tawazun, dan I'tidal.
IV. Ciri Khas dan Nilai-nilai Aswaja
A. Konservatisme yang Adaptif
Aswaja dikenal dengan sikap konservatif dalam menjaga kemurnian ajaran Islam yang bersumber dari generasi salafus shalih. Konservatisme ini bukan berarti menolak perubahan atau perkembangan, melainkan menjaga pokok-pokok ajaran (ushul) agar tidak menyimpang. Pada saat yang sama, Aswaja juga adaptif terhadap perkembangan zaman dalam masalah-masalah furu' dan muamalah, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariat.
Ini terlihat dari kemampuan ulama Aswaja untuk melakukan ijtihad kolektif (ijtihad jamai') dalam merespons isu-isu kontemporer, menggunakan kaidah-kaidah fiqih seperti "mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengadopsi hal baru yang lebih baik" (al-muhafadzatu 'ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).
B. Menghormati Sanad Ilmu dan Tradisi Keilmuan
Salah satu ciri khas Aswaja adalah sangat menghargai sanad ilmu, yaitu mata rantai periwayatan ilmu yang tersambung dari guru ke guru hingga Rasulullah ﷺ. Sanad ini menjamin keaslian dan otentisitas ajaran yang disampaikan.
Dalam akidah, fiqih, maupun tasawuf, ulama Aswaja selalu mengacu pada kitab-kitab induk (kutub al-turats) yang ditulis oleh para ulama terdahulu yang memiliki otoritas keilmuan dan sanad yang jelas. Ini berbeda dengan pendekatan sebagian kelompok yang cenderung menolak tradisi keilmuan masa lalu dan hanya mengandalkan pemahaman pribadi terhadap nash.
C. Kepatuhan pada Ulil Amri (Pemerintah yang Sah)
Aswaja mengajarkan untuk patuh kepada pemerintah yang sah (ulil amri), selama perintah mereka tidak bertentangan dengan syariat Allah. Pemberontakan atau kudeta terhadap pemerintah yang sah dianggap sebagai tindakan yang dapat menimbulkan kekacauan (fitnah) dan kerusakan yang lebih besar. Namun, kepatuhan ini tidak berarti taklid buta. Ulama memiliki peran untuk memberikan nasihat dan mengingatkan pemerintah dengan cara yang bijaksana (bil-hikmah).
D. Menjaga Tradisi Salafus Shalih
Aswaja memahami "kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah" bukan dengan pemahaman baru yang terputus dari ulama terdahulu, melainkan dengan merujuk pada pemahaman salafus shalih (para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in) serta ulama-ulama mujtahid setelah mereka. Mereka adalah generasi terbaik yang secara langsung menyaksikan turunnya wahyu dan mengamalkan ajaran Nabi ﷺ.
Oleh karena itu, praktik-praktik keagamaan seperti tahlilan, ziarah kubur, maulidan, dan lain-lain yang memiliki dasar dalam syariat dan telah menjadi tradisi di kalangan umat Islam selama berabad-abad, diterima dalam Aswaja sebagai bagian dari tradisi Islam, selama tidak melanggar batasan syariat.
V. Relevansi Aswaja di Era Modern
A. Menjawab Tantangan Ekstremisme dan Radikalisme
Di tengah maraknya ideologi ekstrem dan radikal yang mengatasnamakan Islam, ajaran Aswaja menjadi benteng pertahanan yang kuat. Prinsip tawassuth, tasamuh, dan tawazun dalam Aswaja secara inheren menolak segala bentuk kekerasan, intoleransi, dan pemaksaan dalam beragama. Aswaja mengajarkan pentingnya dialog, musyawarah, dan menjaga persatuan, alih-alih saling mengkafirkan dan memecah belah umat.
Penolakan terhadap takfir (pengkafiran) sembarangan, penghormatan terhadap perbedaan madzhab, serta penekanan pada akhlakul karimah, adalah antidot yang efektif terhadap narasi radikalisme yang seringkali memonopoli kebenaran dan menghalalkan kekerasan.
B. Menghadapi Liberalisme dan Sekularisme
Aswaja juga menawarkan jalan tengah dalam menghadapi arus liberalisme dan sekularisme yang mencoba memisahkan agama dari kehidupan atau mereduksi agama menjadi sekadar urusan pribadi. Dengan berpegang pada sumber-sumber otentik Islam dan tradisi keilmuan yang kuat, Aswaja mampu memberikan jawaban atas isu-isu modern tanpa harus mengkompromikan prinsip-prinsip dasar agama.
Keseimbangan antara akal dan wahyu memungkinkan Aswaja untuk menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga mengingatkan agar tidak terjebak pada pandangan materialistis semata yang mengabaikan dimensi spiritual dan etika.
C. Peran dalam Menjaga Kedamaian dan Harmoni Global
Nilai-nilai moderasi dan toleransi yang diusung Aswaja sangat relevan untuk menciptakan kedamaian dan harmoni, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga global. Di negara-negara dengan keragaman etnis dan agama, seperti Indonesia, prinsip tasamuh Aswaja menjadi fondasi penting bagi koeksistensi damai dan persatuan.
Melalui pendekatan dakwah yang santun, dialog antaragama, dan kontribusi pada pembangunan masyarakat, Aswaja berperan aktif dalam membangun peradaban yang beradab dan damai, sesuai dengan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).
D. Tantangan Globalisasi dan Digitalisasi
Di era globalisasi dan digitalisasi, informasi, baik yang benar maupun salah, menyebar dengan sangat cepat. Aswaja menghadapi tantangan bagaimana menyampaikan ajaran yang komprehensif dan moderat ini kepada generasi muda yang terpapar berbagai ideologi melalui internet.
Strategi Aswaja adalah dengan memperkuat pendidikan keagamaan berbasis pesantren dan madrasah, memanfaatkan media digital untuk dakwah yang efektif dan menarik, serta membekali umat dengan literasi keagamaan yang memadai agar tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang menyesatkan atau ideologi ekstrem.
Pentingnya sanad keilmuan dan otoritas ulama menjadi semakin krusial di era ini, di mana setiap orang bisa mengklaim diri sebagai ahli agama tanpa dasar yang kuat. Aswaja mendorong umat untuk merujuk kepada ulama yang memiliki kapasitas dan sanad ilmu yang jelas untuk mendapatkan pemahaman agama yang benar dan utuh.
VI. Praktik Aswaja di Indonesia: Sebuah Implementasi Nyata
Di Indonesia, ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah telah mengakar kuat dan menjadi corak utama Islam. Dua organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, meskipun memiliki perbedaan metodologi dalam beberapa aspek, pada dasarnya sama-sama berada di bawah payung besar Aswaja dalam hal akidah dan prinsip-prinsip dasar.
A. Nahdlatul Ulama (NU) dan Tradisi Aswaja
Nahdlatul Ulama secara eksplisit menyatakan diri sebagai pengamal ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah, mengikuti madzhab Asy'ariyah/Maturidiyah dalam akidah, empat madzhab fiqih (terutama Syafi'i) dalam syariah, dan Imam Junaid Al-Baghdadi serta Al-Ghazali dalam tasawuf.
Ciri khas NU yang kental dengan Aswaja tercermin dalam:
- Penghargaan Tinggi terhadap Tradisi: NU menjaga tradisi keagamaan yang sudah berjalan di masyarakat, seperti tahlilan, ziarah kubur, maulidan, dan istighotsah, selama tidak bertentangan dengan syariat. Ini adalah bentuk implementasi prinsip "al-muhafadzah 'ala al-qadim al-shalih".
- Pentingnya Sanad dan Ulama: NU sangat menekankan pentingnya sanad keilmuan dan peran kiai/ulama sebagai pewaris nabi. Pendidikan pesantren menjadi tulang punggung dalam melestarikan tradisi keilmuan ini.
- Sikap Moderat dan Toleran: NU dikenal dengan sikap moderatnya, menolak ekstremisme, dan sangat toleran terhadap perbedaan, baik antar umat Islam maupun dengan pemeluk agama lain. Konsep Islam Nusantara yang digaungkan NU adalah perwujudan dari prinsip tawassuth, tasamuh, dan tawazun.
- Kepatuhan kepada Ulil Amri: NU secara konsisten mendukung pemerintah yang sah dan berpartisipasi aktif dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila.
B. Muhammadiyah dan Corak Aswaja
Meskipun Muhammadiyah tidak secara eksplisit menggunakan label "Aswaja" dalam statuta resminya, secara substansial Muhammadiyah menganut akidah Ahlussunnah wal Jama'ah. Dalam bidang akidah, Muhammadiyah berpegang pada ajaran tauhid yang murni, menjauhkan dari syirik, bid'ah, dan khurafat, yang sejalan dengan esensi akidah Asy'ariyah/Maturidiyah dalam membersihkan akidah dari hal-hal yang tidak sesuai.
Dalam bidang fiqih, Muhammadiyah dikenal dengan gerakan pemurnian ajaran Islam (tajdid) dan semangat kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah secara langsung, serta melakukan ijtihad. Namun, ijtihad yang dilakukan Muhammadiyah tetap dalam koridor metodologi ushul fiqih yang diakui oleh Aswaja, dan tidak serta merta menolak hasil ijtihad ulama terdahulu.
Beberapa poin yang menunjukkan corak Aswaja dalam Muhammadiyah:
- Pembersihan Akidah: Fokus pada pemurnian tauhid dan pemberantasan praktik yang dianggap syirik atau bid'ah yang tidak memiliki dasar kuat dalam Al-Qur'an dan Sunnah, sesuai dengan semangat mujtahid Aswaja dalam melawan penyimpangan.
- Ijtihad dan Kembali kepada Sumber Utama: Mendorong ijtihad untuk menjawab tantangan zaman dan mengembalikan pemahaman kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang merupakan inti dari prinsip Aswaja untuk berpegang teguh pada kedua sumber utama ini.
- Gerakan Sosial dan Pendidikan: Muhammadiyah sangat aktif dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial, yang merupakan perwujudan dari tawazun antara ibadah mahdhah dan muamalah, serta implementasi amar ma'ruf nahi munkar dalam bentuk pembangunan masyarakat.
- Sikap Moderat dan Anti-Kekerasan: Muhammadiyah secara tegas menolak ekstremisme dan radikalisme, serta menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan kebangsaan.
Dengan demikian, baik NU maupun Muhammadiyah, meskipun memiliki perbedaan dalam rincian fiqih atau pendekatan dakwah, keduanya secara substansial mewakili ajaran Aswaja di Indonesia dengan corak dan penekanan masing-masing. Mereka adalah representasi nyata dari jalan tengah Islam yang moderat, toleran, dan seimbang di tengah masyarakat plural.
Ilustrasi komunitas Muslim yang beragam namun bersatu, mencerminkan prinsip ukhuwah Islamiyah dan toleransi dalam Aswaja.
Kesimpulan
Ahlussunnah wal Jama'ah adalah manhaj beragama yang kokoh, berlandaskan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dengan pemahaman yang moderat, toleran, seimbang, dan adil. Melalui pilar akidah (Asy'ariyah/Maturidiyah), syariah (empat madzhab fiqih), dan akhlak (tasawuf Sunni), Aswaja membimbing umat Islam untuk menjalani kehidupan yang holistik, spiritual, dan sosial.
Prinsip-prinsip tawassuth, tasamuh, tawazun, dan i'tidal, menjadikan Aswaja sebagai solusi relevan di tengah berbagai tantangan zaman, mulai dari ekstremisme, liberalisme, hingga perpecahan sosial. Di Indonesia, ajaran Aswaja telah terbukti menjadi perekat persatuan dan fondasi bagi terciptanya masyarakat yang damai dan harmonis.
Memahami dan mengamalkan ajaran Aswaja berarti kembali kepada esensi Islam yang rahmatan lil alamin, membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh alam semesta, bukan hanya bagi umat Islam itu sendiri. Dengan berpegang teguh pada manhaj ini, umat Islam dapat menjadi teladan dalam moderasi, toleransi, dan keadilan, serta berkontribusi nyata dalam membangun peradaban yang madani.
Sebagai penutup, marilah kita senantiasa menghidupkan semangat Aswaja dalam diri dan komunitas kita, memperdalam ilmu agama dari sumber yang otentik dan ulama yang terpercaya, serta mengamalkan ajaran Islam dengan penuh hikmah dan kasih sayang, demi terciptanya kedamaian dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.